Mohon tunggu...
Eko Budi Wibowo
Eko Budi Wibowo Mohon Tunggu... Menulis jejak, merawat harapan, berbagi solusi.

Penulis independen yang lahir dari dunia infrastruktur, telekomunikasi, dan energi, namun percaya bahwa pembangunan tidak hanya soal beton dan kabel, melainkan juga tentang manusia, pendidikan, dan budaya. Menulis di Kompasiana sebagai ruang refleksi dan percakapan—menggabungkan analisis, cerita, dan harapan—untuk Indonesia yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan berdaulat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Yang Membebaskan, Bukan Membebani

25 Agustus 2025   06:00 Diperbarui: 24 Agustus 2025   18:55 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bu, Besok Jangan Ada Sekolah Lagi, Ya…”

Kalimat itu meluncur dari mulut seorang anak SD di kampung saya. Wajahnya letih, pundaknya lunglai, dan matanya hampir tak bersinar. Padahal usianya baru delapan tahun.

Ibunya terdiam. Di satu sisi, ia ingin anaknya rajin sekolah. Tapi di sisi lain, hatinya perih mendengar sang buah hati sudah muak dengan dunia belajar yang mestinya menyenangkan.

Saya sendiri tertegun mendengar itu. Bukankah sekolah seharusnya jadi tempat anak tumbuh bahagia, bukan malah tempat yang membuat mereka ingin menyerah?

Beban yang Tak Kasatmata

Kalau kita jujur, banyak anak Indonesia pulang sekolah bukan dengan tawa, melainkan dengan PR menumpuk. Belum lagi kursus tambahan, les sore, bahkan les daring malam.

Kadang saya berpikir: ini anak-anak atau karyawan kantoran? Bedanya, anak-anak ini tidak digaji, malah sering dimarahi kalau nilainya turun.

Inilah wajah pendidikan kita: sekolah yang sering kali lebih sibuk memberi beban ketimbang memberi ruang. Akibatnya, banyak anak kehilangan rasa ingin tahu alami. Mereka belajar bukan karena penasaran, tapi karena takut.

Ki Hajar Dewantara Sudah Mengingatkan: Pendidikan Itu Menuntun, Bukan Menyeret

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita, sudah berpesan: “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”

Kata kuncinya jelas: menuntun, bukan menyeret. Pendidikan bermutu seharusnya menuntun anak sesuai kodrat dan potensinya. Bukan menyeret mereka dalam standar yang seragam, kaku, dan menekan.

Sayangnya, banyak sekolah masih menilai keberhasilan dari satu hal: angka di rapor. Seolah masa depan anak bisa ditentukan oleh beberapa digit di kertas.


Sekolah yang Membebaskan: Seperti Apa?

Bayangkan sebuah sekolah di mana anak-anak datang dengan wajah ceria, bukan tegang. Guru menyambut dengan senyum, bukan setumpuk soal. Belajar terasa seperti petualangan, bukan kewajiban.

Sekolah yang membebaskan adalah sekolah yang:

  1. Ramah Anak. Anak merasa aman, didengarkan, dan tidak takut salah.

  2. Menghargai Proses. Nilai tetap penting, tapi usaha dan karakter jauh lebih utama.

  3. Ruang Kreatif. Anak bisa bereksperimen, berdiskusi, membuat karya, bukan sekadar menghafal.

  4. Seimbang. Ada ruang untuk belajar ilmu, olahraga, seni, bahkan sekadar tertawa bersama teman.

  5. Berpusat pada Murid. Kurikulum fleksibel, memberi ruang anak mengekspresikan minat dan potensi.

Sekolah seperti ini bukan hanya mencetak murid pintar, tapi manusia utuh yang bahagia, percaya diri, dan siap menghadapi hidup.

Saat Sekolah Jadi Beban: Kisah Nyata yang Menyayat

Saya teringat seorang teman guru di pelosok. Ia bercerita tentang muridnya yang cerdas, tapi sering tidur di kelas. Bukan karena malas, melainkan karena malam harinya ia harus membantu orang tua mencari nafkah.

Namun apa yang dilakukan sistem? Tetap memberinya PR bertumpuk, tetap menilainya rendah, tetap mencapnya “kurang berprestasi.”

Bukankah itu "ironi"? Anak yang seharusnya dituntun malah diberi beban tambahan. Di sinilah kita harus berani berkata: pendidikan seperti ini bukan pendidikan bermutu.

Tugas Kita Bersama

Kalau bicara sekolah yang membebaskan, bukan berarti kita menolak disiplin atau ujian. Tentu anak tetap butuh struktur.

Tapi pendidikan bermutu tidak boleh melupakan sisi manusiawi: bahwa anak adalah individu dengan mimpi, bukan mesin nilai.

Dan ini bukan hanya tugas sekolah.

  • Orang tua perlu berhenti menekan anak hanya dengan angka. Lebih penting mendukung mereka dengan cinta dan telinga yang mau mendengar.

  • Guru perlu berani jadi inspirator, bukan sekadar pengajar.

  • Masyarakat bisa ikut serta dengan gerakan literasi, komunitas belajar, atau sekadar peduli pada anak sekitar.

  • Negara punya kewajiban memastikan akses pendidikan yang adil, tanpa diskriminasi kota-desa, kaya-miskin.

Merdeka Belajar, Merdeka Hidup

Saya percaya, pendidikan bermutu itu sederhana: ketika anak merasa merdeka. Merdeka untuk bertanya, merdeka untuk bermimpi, merdeka untuk gagal dan bangkit lagi.

Suatu hari nanti, kita ingin mendengar anak berkata: “Sekolah itu menyenangkan. Di sana aku belajar bukan hanya rumus, tapi juga bagaimana menjadi manusia.”

Dan pada hari itu, barulah kita bisa bilang: sekolah benar-benar menjadi ruang yang membebaskan, bukan membebani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun