“Bu, Besok Jangan Ada Sekolah Lagi, Ya…”
Kalimat itu meluncur dari mulut seorang anak SD di kampung saya. Wajahnya letih, pundaknya lunglai, dan matanya hampir tak bersinar. Padahal usianya baru delapan tahun.
Ibunya terdiam. Di satu sisi, ia ingin anaknya rajin sekolah. Tapi di sisi lain, hatinya perih mendengar sang buah hati sudah muak dengan dunia belajar yang mestinya menyenangkan.
Saya sendiri tertegun mendengar itu. Bukankah sekolah seharusnya jadi tempat anak tumbuh bahagia, bukan malah tempat yang membuat mereka ingin menyerah?
Beban yang Tak Kasatmata
Kalau kita jujur, banyak anak Indonesia pulang sekolah bukan dengan tawa, melainkan dengan PR menumpuk. Belum lagi kursus tambahan, les sore, bahkan les daring malam.
Kadang saya berpikir: ini anak-anak atau karyawan kantoran? Bedanya, anak-anak ini tidak digaji, malah sering dimarahi kalau nilainya turun.
Inilah wajah pendidikan kita: sekolah yang sering kali lebih sibuk memberi beban ketimbang memberi ruang. Akibatnya, banyak anak kehilangan rasa ingin tahu alami. Mereka belajar bukan karena penasaran, tapi karena takut.
Ki Hajar Dewantara Sudah Mengingatkan: Pendidikan Itu Menuntun, Bukan Menyeret
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita, sudah berpesan: “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Kata kuncinya jelas: menuntun, bukan menyeret. Pendidikan bermutu seharusnya menuntun anak sesuai kodrat dan potensinya. Bukan menyeret mereka dalam standar yang seragam, kaku, dan menekan.
Sayangnya, banyak sekolah masih menilai keberhasilan dari satu hal: angka di rapor. Seolah masa depan anak bisa ditentukan oleh beberapa digit di kertas.
Sekolah yang Membebaskan: Seperti Apa?
Bayangkan sebuah sekolah di mana anak-anak datang dengan wajah ceria, bukan tegang. Guru menyambut dengan senyum, bukan setumpuk soal. Belajar terasa seperti petualangan, bukan kewajiban.