"Karena kamu sudah membuatku cemburu, kamu harus menemaniku makan siang ya" rayunya.
"Nggak ah"
"Ayolah..."
"Oke, sekali ini saja"
"Iya sekali ini saja, tapi kalau kamu ke Surabaya lagi, kita nge-date lagi ya"
Sejak saat itu Wawan sering mengirimiku pesan. Dirinya memanggilku 'kesayangan'. Aku merasa muda lagi. Tiap kali dirinya mengirimkan pesan aku tersenyum dan hatiku berbunga-bunga. Pun saat suamiku ada di dekatku aku masih juga bisa berbalas pesan dengannya. Luar biasa, bukan?
Hingga akhirnya suatu ketika suamiku demam, entah mengapa hatiku tetiba tersentuh. Bisik hatiku mengatakan bahwa Wawan memanglah lelaki yang suka memanjakanku. Tapi Wawan memang jauh berbeda dengan suamiku. Suamiku itu orangnya lempeng, tidak pernah terpengaruh dengan dunia luar. Bukan pula orang yang romantis, bahkan sampai punya dua anak dirinya tidak pernah memanggilku sayang. Posisi pekerjaan juga suamiku bergaji jauh lebih tinggi daripada Wawan. Bahkan ketika aku menikah dengan suamiku dirinya sudah menyiapkan rumah berserta isinya lengkap, dan tidak ada kreditan. Suamiku lahir dari keluarga terhormat dan terpelajar, buktinya Bapaknya saja pendidikannya sudah S2, padahal usian ya hampir tujuh puluh tahun.
Dan kasus Alina yang muncul akhirnya menyadarkanku bahwa meskipun indah, selingkuh tetaplah membuat banyak orang terluka. Kalau kita mampu bersikap dewasa, kita tidak akan mementingkan kebahagiaan diri kita sendiri, melainkan ada hal lain yang harus kita jaga. Ada banyak hati yang perasaaannya perlu kita lindungi.
===
"Terus bagaimana Wawan?" tanya Rena katika aku menceritakan perselingkuhanku sebulan yang lalu dengan seorang Wawan.
"Entahlah, sempat dirinya juga galau di status facebooknya. Tapi sekarang sudah tidak menghubungi aku lagi" jawabku, "Kalau memang belum pernah berselingkuh pasti akan berpikir itu adalah hal yang kotor, tapi kalau sudah pernah mencoba pasti akan merasa sensasi yang menyenangkan"