Pendidikan merupakan alat kebijakan publik terbaik sebagai upaya peningkatan pengetahuan dan skill di era revolusi industri 4.0. Meskipun saat ini sistem pendidikan telah banyak mengalami trasformasi berbasis teknologi digital, realita yang terjadi sebagian besar wilayah Papua belum dapat mencicipi fasilitas teknologi pendidikan yang sudah lama tersedia di kota-kota besar.
Puncaknya ketika pandemi Covid-19 turut melanda bumi Cenderawasih. Pembatasan sosial yang menyebabkan semua sekolah ditutup berakibat pada terhentinya kegiatan belajar mengajar selama kurang lebih 3 bulan. Padahal Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia Timur yang mayoritas belum mendapatkan layanan pendidikan yang optimal.
Persoalan yang semakin nampak ketika seluruh peserta didik di Papua seolah "dipaksa" untuk melakukan pemanfaatan media berbasis teknologi komunikasi untuk dapat mengakses pembelajaran secara daring. Faktanya hampir sebagian besar peserta didik di Papua tidak memiliki akses terhadap perangkat komunikasi digital (gawai, komputer) dan 72,6 % daerah tidak memiliki jaringan internet untuk menunjang pembelajaran daring yang direkomendasikan oleh pemerintah.
Salah satu kerumitan yang muncul di tengah masa pandemi adalah keharusan untuk tetap menjalankan proses belajar mengajar ketika sekolah-sekolah ditutup. Para peserta didik didorong untuk tetap giat belajar meskipun dalam situasi yang serba terbatas. Pembelajaran konvensional yang berlangsung di dalam kelas merupakan satu-satunya mekanisme pembelajaran yang mayoritas digunakan di Papua.
Dapat dibayangkan ketika secara tiba-tiba pemerintah menutup sekolah dan mewajibkan peserta didik untuk belajar dari rumah. Sementara para guru dan tenaga pengajar seolah "dipaksa" untuk memanfaatkan teknologi digital yang selama ini tidak pernah digunakan hanya untuk memenuhi sebuah tuntutan "Belajar dan mengajar dari rumah". Dunia pendidikan di Papua seolah guncang akibat perubahan mekanisme belajar yang serba mendadak ini.
Menteri Nadiem Makarim dalam berbagai arahannya terkait persoalan pendidikan di wilayah timur Indonesia menghimbau agar ada sinergisitas antara pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah harus sigap dalam melihat kebutuhan utama peserta didik khususnya selama masa tanggap darurat COVID-19.
Pembelajaran online seolah-olah hanya menjadi pilihan utama yang dapat mendukung proses pembelajaran jarak jauh. Pilihan untuk belajar secara online tanpa disadari menjadi sebuah keharusan yang cenderung di setting sedemikian rupa tanpa mempertimbangkan seperti apa potret kehidupan di pedalaman Papua.
Tidak Ada Listrik, Tidak Ada Signal
Dalam sebuah wawancara melalui telepon dengan Pak Robi, seorang guru SD Inpres Guna, Distrik Gelokbeam, Kabupaten Lanny Jaya, mengutarakan pengalamannya ketika pemerintah daerah mewajibkan seluruh peserta didik di pelosok Indonesia tidak terkecuali di pedalaman Papua harus menghentikan sementara proses belajar mengajar di sekolah.
Dalam wawancara dengan Pak Robi ditemukan informasi bagaimana murid-murid Sekolah Dasar Inpres Guna, sama sekali tidak memiliki akses internet, jaringan telepon, listrik, siaran radio dan televisi. Situasi tersebut membuat aktivitas belajar jarak jauh akibat pandemi menjadi lumpuh total. Situasi tersebut kemudian diperparah dengan jarak tempat tinggal setiap murid yang umumnya berada jauh dari sekolah.
Nelly Irawati, seorang guru SMA Negeri II Mbua, Distrik Mbua Kabupaten Nduga, menceritakan pengalamannya yang sama. Bagaimana murid-murid sekolah di daerah itu mengalami kondisi keterbatasan yang persis dialami Pak Robi.
Pengalaman Pak Robi dan Ibu Nelly dapat merepresentasikan kondisi guru dan murid di pedalaman Papua yang sama sekali tidak memiliki akses terhadap jaringan internet, jaringan telepon, listrik, siaran radio dan televisi. Sehingga dalam situasi tersebut sangat mustahil dilakukannya pembelajaran online oleh guru dan peserta didik.
Belajar Dari Rumah VS Belajar Di Rumah
Sungguh sebuah ironi jika kita hanya berpikir era baru sistem belajar digital melulu bermuara pada transformasi pendidikan yang mandiri. Memang benar bahwa perjalanan pendidikan di Indonesia berkiblat pada arus yang sama. Sama-sama bergerak maju menuju pembaharuan dan transformasi seperti yang sudah dilakukan sekolah-sekolah di kota besar.
Istilah "Belajar dari rumah" dan "Belajar di Rumah" harus dibedakan. Kedua istilah tersebut menggambarkan kondisi pembelajaran di pedalaman Papua selama masa pandemi. Bagi peserta didik di pedalaman Papua, kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama sekali berbeda. Mereka lebih cenderung merepresentasikan situasi belajar mereka dengan istilah "belajar di rumah". Jika dipahami, "belajar di rumah" berarti mereka belajar sendiri tanpa ada konektivitas yang dapat menghubungkan mereka dengan guru ketika sedang belajar. Ketiadaan alat penghubung yang real time seperti Zoom, Whatsapp, bahkan pesan instan dan telepon yang memaksa mereka harus "Belajar (sendiri) di rumah (tanpa guru)" semakin mempertegas makna istilah tersebut.
Berbeda halnya dengan istilah "Belajar dari rumah". Istilah "belajar dari rumah" mengandung makna "Melakukan pembelajaran dari rumah masing-masing". Artinya proses pembelajaran tetap dilakukan seperti biasa, hanya saja prosesnya terjadi di rumah. Ada hubungan yang terus terjalin. Guru tetap melaksanakan tanggung jawabnya mengajar, dan peserta didik juga melakukan hal yang sama, pada waktu yang sama (realtime). Tentulah penghubung tersebut tidak lain merupakan seperangkat teknologi digital yang dapat mengakomodir guru dan peserta didik dapat belajar bersama, di waktu yang sama, namun di tempat yang berbeda (terpisah). Sehingga menjadi sangat berbeda maknanya dengan situasi peserta didik di pedalaman yang hanya dapat sekedar "belajar di rumah".
Umumnya pelajaran yang diterima seseorang harus terus di review (diingat-ulang) kembali dan terus diasah agar pelajaran tersebut tidak hilang atau terlupakan. Kesenjangan pembelajaran yang terjadi hingga berbulan-bulan di pedalaman Papua tentu mempengaruhi memori peserta didik tentang pelajaran apa yang sudah mereka terima sebelumnya. Boleh jadi sebagian atau seluruh materi pembelajaran yang sempat diterima menjadi terlupakan. Ada situasi tertentu dimana proses pembelajaran yang tertunda di tengah jalan menyulitkan peserta didik untuk mengingat kembali dan menyambung-hubungkan pelajaran sebelumnya.
Seolah mendapatkan "teguran kritis" oleh seorang Ki Hadjar Dewantara dari pesannya puluhan tahun silam. Sebuah pesan yang seakan-akan menerobos ruang dan waktu. Pesan yang secara tidak langsung mengkritik anggapan bahwa belajar di sekolah adalah sebuah keniscayaan yang mutlak sifatnya. Bagi Ki Hadjar, setiap orang harus menyadari bahwa suatu saat kelak peserta didik tidak hanya harus belajar di sekolah. Rumah akan menjadi salah satu tempat paling strategis untuk melalui sebuah proses, proses menjadi cerdas.
Kini, "pesan lusuh" yang mungkin sudah sempat terabaikan itu, seketika menjadi hidup! Hidup diantara bayang-bayang murid sekolah di pedalaman Papua, ketika mereka tertunduk membaca sebuah buku di bawah cahaya lampu minyak sederhana yang redup. Hidup diantara hembusan nafas mereka yang terdengar jelas di tengah kesenyapan desa mereka, dikala mereka menulis catatan-catatan kecilnya. Ki Hadjar menjadi pahlawan sekaligus menjadi seorang ayah bagi mereka.
Semangat seorang Ki Hadjar Dewantara, sebenarnya tidak lain merupakan semangat Pancasila yang tidak berhenti memaksa para elit bangsa ini untuk melunasi cita-cita bangsa dengan memberikan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Setiap orang (dewasa), harus dapat menjadi guru. Setiap orang tua harus siap menjadi guru bagi anak-anaknya di rumah. Mereka harus bisa mentransfer ilmu dan nilai-nilai kepada anak-anak mereka, seberapa pun adanya. Orang tua harus selalu siap sedia mencerdaskan anak-anak mereka dari segi pengetahuan dan nilai-nilai. Sehingga pada akhirnya, setiap peserta didik di seantero Indonesia, baik itu yang "belajar dari rumah" atau yang "belajar di rumah" tetap sama-sama dapat menikmati pendidikan yang layak. Pendidikan untuk menjadi cerdas.
Catatan Akhir
Dalam catatan akhir ini saya menuliskan lirik sebuah lagu daerah suku Dani yang sering kami lantunkan puluhan tahun silam ketika saya dan beberapa teman yang merupakan putra asli lembah Baliem menyusuri jalan setapak menuju Sekolah Dasar Inpres Mulele kabupaten Jayawijaya.
Naosa Nopase Hipiri Abue
Nithe Sekolah Welagosik
Hipiri Abue
Naosa Nopase Hipiri Abue
Nithe Sekolah Welagosik
Hipiri Abue
Bapak dan Ibu, Saya Bawa Hipere (ubi jalar)
Saya Pergi Ke Sekolah
Cukup Bawa Hipere)
Makna syair lagu tersebut menjelaskan sebuah nilai kesederhanaan. Lagu yang mungkin sudah tercipta sekian lamanya dalam tradisi hidup masyarakat Dani memberi gambaran tentang anak-anak lembah Baliem yang bersemangat pergi ke sekolah. Semangat kesederhanaan yang terpatri dalam setiap hembusan kata-kata yang dinyanyikan dalam lagu tersebut, memberi pesan penting bahwa pendidikan adalah yang utama di tengah-tengah keterbatasan peserta didik di pedalaman. Dengan sepotong ubi jalar sebagai bekal mereka ke sekolah berkilo-kilometer jauhnya, sudahlah cukup. Mungkin itulah makna perjuangan untuk mendapatkan pendidikan bagi peserta didik di pedalaman Papua dalam segala keterbatasan dan kesederhanaan yang mereka miliki. Perjuangan tanpa batas.
Hidup pendidikan di tanah Papua!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI