Mohon tunggu...
Efraim Mangaluk
Efraim Mangaluk Mohon Tunggu... Dosen - Wadah Berkisah Tentang Kita di Timur

Dosen Humaniora Universitas Ottow Geissler Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Pandemi dan Geliat Pendidikan di Pedalaman Papua

10 November 2021   13:24 Diperbarui: 10 November 2021   13:32 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengalaman Pak Robi dan Ibu Nelly dapat merepresentasikan kondisi guru dan murid di pedalaman Papua yang sama sekali tidak memiliki akses terhadap jaringan internet, jaringan telepon, listrik, siaran radio dan televisi. Sehingga dalam situasi tersebut sangat mustahil dilakukannya pembelajaran online oleh guru dan peserta didik.

Belajar Dari Rumah VS Belajar Di Rumah

Sungguh sebuah ironi jika kita hanya berpikir era baru sistem belajar digital melulu bermuara pada transformasi pendidikan yang mandiri. Memang benar bahwa perjalanan pendidikan di Indonesia berkiblat pada arus yang sama. Sama-sama bergerak maju menuju pembaharuan dan transformasi seperti yang sudah dilakukan sekolah-sekolah di kota besar.

Istilah "Belajar dari rumah" dan "Belajar di Rumah" harus dibedakan. Kedua istilah tersebut menggambarkan kondisi pembelajaran di pedalaman Papua selama masa pandemi. Bagi peserta didik di pedalaman Papua, kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama sekali berbeda. Mereka lebih cenderung merepresentasikan situasi belajar mereka dengan istilah "belajar di rumah". Jika dipahami, "belajar di rumah" berarti mereka belajar sendiri tanpa ada konektivitas yang dapat menghubungkan mereka dengan guru ketika sedang belajar. Ketiadaan alat penghubung yang real time seperti Zoom, Whatsapp, bahkan pesan instan dan telepon yang memaksa mereka harus "Belajar (sendiri) di rumah (tanpa guru)" semakin mempertegas makna istilah tersebut.

Berbeda halnya dengan istilah "Belajar dari rumah". Istilah "belajar dari rumah" mengandung makna "Melakukan pembelajaran dari rumah masing-masing". Artinya proses pembelajaran tetap dilakukan seperti biasa, hanya saja prosesnya terjadi di rumah. Ada hubungan yang terus terjalin. Guru tetap melaksanakan tanggung jawabnya mengajar, dan peserta didik juga melakukan hal yang sama, pada waktu yang sama (realtime). Tentulah penghubung tersebut tidak lain merupakan seperangkat teknologi digital yang dapat mengakomodir guru dan peserta didik dapat belajar bersama, di waktu yang sama, namun di tempat yang berbeda (terpisah). Sehingga menjadi sangat berbeda maknanya dengan situasi peserta didik di pedalaman yang hanya dapat sekedar "belajar di rumah".

Umumnya pelajaran yang diterima seseorang harus terus di review (diingat-ulang) kembali dan terus diasah agar pelajaran tersebut tidak hilang atau terlupakan. Kesenjangan pembelajaran yang terjadi hingga berbulan-bulan di pedalaman Papua tentu mempengaruhi memori peserta didik tentang pelajaran apa yang sudah mereka terima sebelumnya. Boleh jadi sebagian atau seluruh materi pembelajaran yang sempat diterima menjadi terlupakan. Ada situasi tertentu dimana proses pembelajaran yang tertunda di tengah jalan menyulitkan peserta didik untuk mengingat kembali dan menyambung-hubungkan pelajaran sebelumnya.

Seolah mendapatkan "teguran kritis" oleh seorang Ki Hadjar Dewantara dari pesannya puluhan tahun silam. Sebuah pesan yang seakan-akan menerobos ruang dan waktu. Pesan yang secara tidak langsung mengkritik anggapan bahwa belajar di sekolah adalah sebuah keniscayaan yang mutlak sifatnya. Bagi Ki Hadjar, setiap orang harus menyadari bahwa suatu saat kelak peserta didik tidak hanya harus belajar di sekolah. Rumah akan menjadi salah satu tempat paling strategis untuk melalui sebuah proses, proses menjadi cerdas.

Kini, "pesan lusuh" yang mungkin sudah sempat terabaikan itu, seketika menjadi hidup! Hidup diantara bayang-bayang murid sekolah di pedalaman Papua, ketika mereka tertunduk membaca sebuah buku di bawah cahaya lampu minyak sederhana yang redup. Hidup diantara hembusan nafas mereka yang terdengar jelas di tengah kesenyapan desa mereka, dikala mereka menulis catatan-catatan kecilnya. Ki Hadjar menjadi pahlawan sekaligus menjadi seorang ayah bagi mereka.

Semangat seorang Ki Hadjar Dewantara, sebenarnya tidak lain merupakan semangat Pancasila yang tidak berhenti memaksa para elit bangsa ini untuk melunasi cita-cita bangsa dengan memberikan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Setiap orang (dewasa), harus dapat menjadi guru. Setiap orang tua harus siap menjadi guru bagi anak-anaknya di rumah. Mereka harus bisa mentransfer ilmu dan nilai-nilai kepada anak-anak mereka, seberapa pun adanya. Orang tua harus selalu siap sedia mencerdaskan anak-anak mereka dari segi pengetahuan dan nilai-nilai. Sehingga pada akhirnya, setiap peserta didik di seantero Indonesia, baik itu yang "belajar dari rumah" atau yang "belajar di rumah" tetap sama-sama dapat menikmati pendidikan yang layak. Pendidikan untuk menjadi cerdas.

Catatan Akhir

Dalam catatan akhir ini saya menuliskan lirik sebuah lagu daerah suku Dani yang sering kami lantunkan puluhan tahun silam ketika saya dan beberapa teman yang merupakan putra asli lembah Baliem menyusuri jalan setapak menuju Sekolah Dasar Inpres Mulele kabupaten Jayawijaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun