Malam itu saya pulang dengan kepala penuh tugas. Badan capek, niatnya cuma mau istirahat sebentar sambil scroll sosmed. Tapi tiba-tiba muncul kabar yang bikin dada sesak, seorang pengemudi ojol berusia 21 tahun, bernama Affan Kurniawan, meninggal setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat aksi di sekitar DPR RI. Saya menatap layar cukup lama, tak percaya. Bukan karena sulit menerima fakta, tapi karena saya tak habis pikir bagaimana mungkin, di sebuah negara yang mengaku demokratis, rakyat kecil bisa begitu mudah meregang nyawa di tangan aparat apalagi dalam keadaan menyuarakan hak berdemokrasi.
Affan bukan provokator, bukan kriminal. Bayangkan dia cuma orang biasa yang mungkin tadi pagi masih berharap bisa pulang bawa rezeki dan ditengah kesibukan masih menyempatkan menyuarakan suara rakyat demi negara tercinta ini. Tapi nyawanya malah hilang di jalanan, digilas roda baja negara. Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan; ia adalah potret buram bagaimana kekerasan dilegalkan atas nama “menjaga keamanan”.
Yang bikin tambah perih, semua ini terjadi karena polisi katanya sedang bertugas menjaga 'keamanan' di DPR. Iya, mereka seolah-olah melindungi para wakil rakyat yang sedang menikmati gaji besarnya sambil duduk manisdi hotel 3 juta/perhari, eh maksud saya 'kost'. Sementara kami di luar rakyat biasa, mahasiswa, buruh, berpanas-panasan dari pagi, menggigil di malam hari, suara habis buat teriak. Apa yang kami dapat? Apakah keadilan turun? Apakah kebenaran akhirnya muncul? Atau setidaknya suara kami didengar? Tidak. Yang kami terima justru rasa sakit, kabar duka, dan tindakan brutal aparat yang kadang lebih mirip anjing penjaga lumbung tikus: sibuk menjaga pemilik kuasa, tapi membiarkan rakyat digilas tanpa belas kasih.
pendapat di muka umum. Perkapolri No. 7 Tahun 2012 juga menegaskan penanganan demo harus persuasif, proporsional, humanis. Tidak ada satu pun pasal yang menyuruh aparat menabrak rakyat dengan rantis. Tapi faktanya, semua itu seakan hilang tak berarti. Hukum yang katanya melindungi rakyat, mendadak tak punya suara. Yang terdengar justru deru mesin rantis, teriakan panik, dan kabar duka. Dan di titik itu, saya cuma bisa bertanya dalam hati: kenapa nyawa rakyat selalu jadi yang paling murah di negeri ini?
Tragedi ini bukan luka pertama. Dari Trisakti sampai Semanggi, kita sudah terlalu sering melihat darah rakyat tumpah di jalanan. Bedanya cuma nama korban, tapi caranya selalu sama: negara memilih diam, aparat memilih keras, dan rakyat lagi-lagi yang jadi tumbal. Rasanya menyakitkan melihat sejarah yang mestinya jadi pelajaran, malah terus diulang seolah nyawa rakyat tidak pernah benar-benar dihargai.
Saya menulis ini dengan hati yang campur aduk marah, sedih, juga takut . Marah karena nyawa rakyat seolah tak ada harganya. Sedih karena satu lagi anak bangsa pulang tinggal nama. Takut, karena besok bisa saja giliran kita, entah mahasiswa, buruh, atau siapa pun yang berdiri di jalan menyuarakan suara hati. Dan kalau pola ini terus dibiarkan, kita mau berharap pada siapa lagi? Hukum? Kadang hukum pun ikut bungkam. Negara? Nyatanya negara malah menghadapkan senjata pada rakyatnya. Jadi pertanyaan yang bikin dada sesak itu muncul lagi: untuk siapa sebenarnya negara ini berdiri untuk kita, atau hanya untuk kursi empuk para penguasa?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI