Mohon tunggu...
ECOFINSC UNDIP
ECOFINSC UNDIP Mohon Tunggu... Kelompok Study Finance FEB UNDIP

ECOFINSC FEB UNDIP adalah organisasi mahasiswa berbentuk kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian mengenai permasalahan perekonomian maupun keuangan di lingkup nasional maupun internasional. Lebih lanjut mengenai ECOFINSC dapat di akses melalui https://linktr.ee/Ecofinscfebundip

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jatuhnya Kepercayaan di Pasar Modal Indonesia: Kajian Penurunan IHSG Kuartal I 2025

9 Juni 2025   15:14 Diperbarui: 9 Juni 2025   15:14 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Bisnis.com

Faktor Geopolitik dan Eksternal

Di tengah fondasi ekonomi domestik yang melemah sejak awal tahun 2025, tekanan dari luar negeri turut mempercepat arus keluar modal dan memperdalam koreksi di pasar saham. Lingkungan global berada dalam kondisi yang jauh dari stabil. Dua konflik besar yang berlangsung secara bersamaan, meningkatnya hambatan perdagangan internasional, ketidakpastian arah suku bunga global, serta ketiadaan narasi ekonomi yang jelas dari Indonesia di mata investor asing, menjadikan kuartal pertama tahun ini sebagai periode pelarian modal dari negara-negara berkembang. Indonesia menjadi salah satu yang paling terkena dampaknya.

1. Konflik di Ukraina dan Gaza

Perang antara Rusia dan Ukraina terus berlangsung tanpa tanda-tanda akan segera berakhir. Meskipun dampaknya tidak lagi terasa setiap hari seperti pada awal invasi, ketegangan ini tetap memicu volatilitas harga energi, mengganggu logistik global, dan memperburuk ketidakpastian geopolitik. Investor global semakin enggan menempatkan dana di negara-negara yang dinilai rawan terdampak konflik, khususnya negara yang masih mengimpor energi atau sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah. Indonesia termasuk dalam kategori tersebut.

Kondisi semakin memburuk pada Maret 2025 saat Israel kembali melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza, mengakhiri dua bulan gencatan senjata. Eskalasi ini kembali memunculkan kekhawatiran akan krisis energi global dan meningkatkan sikap menghindari risiko di pasar keuangan internasional. Ketika dua konflik besar berlangsung secara bersamaan, investor tidak lagi membutuhkan alasan teknis untuk menarik dananya dari pasar negara berkembang. Aliran modal pun meninggalkan Asia Tenggara secara luas, termasuk Indonesia.

2. Perang Dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok

Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, konflik dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali mencuat. Pemerintah Amerika menerapkan tarif baru terhadap berbagai produk teknologi dan komponen manufaktur dari Tiongkok sebagai bagian dari kebijakan dagang proteksionis. Meskipun Indonesia bukan sasaran langsung dari kebijakan tersebut, dampaknya tetap terasa melalui penurunan permintaan dari Tiongkok dan gangguan terhadap rantai pasok regional di Asia.

Sebagai pengekspor utama nikel, batubara, dan minyak kelapa sawit, sekaligus bagian dari jaringan pasokan regional, posisi Indonesia menjadi lebih rentan. Pelaku pasar menyadari bahwa lonjakan ekspor yang terjadi pada periode 2022 hingga 2023 tidak akan terulang. Akibatnya, ekspektasi terhadap kinerja sektor komoditas menurun dan salah satu daya tarik utama pasar Indonesia bagi investor asing ikut memudar.

3. Suku Bunga Global yang Tidak Sesuai Harapan

Tahun ini dimulai dengan optimisme bahwa bank sentral Amerika Serikat akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Namun kenyataan berbicara lain. Inflasi inti di Amerika tetap tinggi dan data ketenagakerjaan menunjukkan ketahanan yang kuat. Proyeksi pemangkasan suku bunga sebanyak tiga kali kemudian dikoreksi menjadi satu kali, bahkan ditunda hingga paruh kedua tahun. Hal ini mempertahankan imbal hasil obligasi Amerika di level tinggi dan memperkecil selisih dengan suku bunga di negara-negara berkembang, sehingga dana global kembali mengalir ke Amerika Serikat.

Bagi Indonesia, dampaknya langsung terasa dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan menurunnya minat terhadap aset dalam mata uang rupiah. Meskipun Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,75 persen pada Januari, kebijakan ini belum cukup untuk menarik kembali minat investor global. Dalam kondisi penuh ketidakpastian, investor lebih memilih aset dalam dolar Amerika yang dianggap lebih aman dari risiko politik dan gejolak ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun