Jika orang tua dengan posisi penting dalam pemerintahan atau masyarakat, tidak mampu menunjukkan sikap adil saat anak melanggar norma, maka sistem pendidikan akan terus diliputi ketimpangan moral. Anak justru belajar bahwa "asal punya koneksi", maka perbuatan buruk pun bisa dimaklumi.
Perilaku seperti ini akan memperkuat entitlement syndrome, di mana anak merasa berhak mendapatkan perlakuan istimewa meskipun tidak berperilaku baik. Sikap ini berbahaya dalam jangka panjang karena membentuk narcissistic tendencies dan melemahkan kemampuan empati dan tanggung jawab sosial.
Di sinilah pentingnya membangun budaya kolaboratif antara sekolah dan keluarga. Orang tua, terutama yang berkuasa, harus berani mengatakan, "Anakku salah dan harus bertanggung jawab," bukan "Aku akan pastikan kamu tidak tersentuh hukum."
Referensi Kasus:
Kasus Guru Madrasah di Demak, Jawa Tengah (MSN News):
"Maafkan Wali Murid, Momen Haru Zuhdi, Guru Madin Didenda Rp12,5 Juta, Peluk Siswa & Bujuk Sekolah Lagi"
Penutup: Bangun Benteng Moral Sejak dari Rumah
Setiap anak adalah tanggung jawab orang tua---bukan hanya ketika mereka patuh, tetapi juga ketika mereka melanggar. Sekolah adalah tempat belajar, bukan hanya akademik, tetapi juga etika dan karakter.
Pendidikan sejati membutuhkan kolaborasi, bukan dominasi. Butuh kejujuran, bukan perlindungan buta. Dan yang paling penting, anak perlu belajar dari kesalahan, bukan ditutupi dari konsekuensinya.
Saat orang tua menempatkan nilai di atas gengsi, dan guru tetap diberikan tempat terhormat dalam proses pendidikan, maka kita sedang membangun bangsa yang berkarakter---dimulai dari kelas yang penuh hormat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI