Saat Kekuasaan Menghalangi Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, guru bukan sekadar pengajar---mereka adalah pemandu karakter, penjaga disiplin, dan perpanjangan tangan orang tua dalam membentuk kepribadian anak. Namun, tidak jarang muncul kasus di mana orang tua yang memiliki kekuasaan justru menghambat proses pendidikan dengan membela anak yang telah melakukan pelanggaran serius di sekolah.
Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk mendukung nilai-nilai pendidikan, malah berubah menjadi alat tekan terhadap guru dan lembaga pendidikan. Inilah realita yang tampak dalam kasus viral di Demak, di mana seorang guru madrasah, Zuhdi, dituntut secara hukum setelah menampar siswa yang melemparkan sandal ke arahnya saat mengajar. Padahal tindakan guru tersebut dilakukan sebagai respons spontan terhadap perilaku tidak sopan dan merusak otoritas kelas.
Mengapa Anak Perlu Belajar Menghadapi Konsekuensi
Dalam psikologi perkembangan, terutama menurut teori Erik Erikson, usia sekolah dasar hingga remaja awal adalah tahap industry vs. inferiority (usia 6--12 tahun) dan identity vs. role confusion (usia 12--18 tahun). Pada fase ini, anak belajar tentang tanggung jawab, disiplin, dan konsekuensi sosial dari perilaku mereka.
Bila setiap perilaku menyimpang dibiarkan tanpa konsekuensi atau bahkan dibela oleh orang tua, maka terjadi kegagalan dalam proses internalisasi norma---yakni pembentukan nilai moral yang berasal dari luar ke dalam diri anak. Anak berisiko tumbuh dengan external locus of control, yaitu menyalahkan faktor eksternal daripada bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.
Ketika orang tua membela tindakan anak tanpa mempertimbangkan konteks, anak juga berisiko mengalami moral disengagement, yaitu kemampuan untuk membenarkan perilaku salah tanpa merasa bersalah.
Konsep Hormat kepada Guru dalam Perspektif Sosial dan Religius
Dalam banyak budaya, terutama masyarakat religius, guru memiliki posisi istimewa yang setara dengan orang tua. Mereka bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan akhlak peserta didik. Dalam konteks Islam, prinsip birrul walidain (berbakti kepada orang tua) juga diimplementasikan kepada guru sebagai orang tua kedua di lingkungan sekolah.
Jika orang tua menunjukkan sikap meremehkan atau bahkan mengkriminalisasi guru yang mendidik dengan disiplin, anak akan kehilangan orientasi nilai. Ia hanya belajar menghormati kekuasaan, bukan kebenaran atau keteladanan. Ini membentuk social modeling yang menyimpang, di mana anak meniru pola dominasi tanpa empati atau tanggung jawab.
Bijak Menyikapi Pelanggaran Anak di Sekolah
Kasus guru Zuhdi seharusnya menjadi bahan refleksi nasional. Seorang guru tidak serta-merta bertindak keras tanpa sebab. Ketika kepalanya dilempar sandal saat mengajar, dan ia kemudian menampar pelaku secara spontan, peristiwa tersebut bukan sekadar tindakan kekerasan, tapi respons atas serangan terhadap martabat pendidik di ruang kelas.
Menampar memang bukan metode ideal dalam mendisiplinkan anak. Namun perlu dilihat konteks emosional dan psikososialnya. Reaksi tersebut muncul sebagai coping mechanism dari tekanan psikologis saat berusaha menjaga otoritas dan ketertiban pembelajaran. Di sisi lain, tindakan siswa menunjukkan bentuk behavioral dysregulation yang mengganggu norma sosial.
Sebagai orang tua, pertanyaan mendasar yang seharusnya muncul adalah: bagaimana anak bisa melakukan perilaku seperti itu? Di mana peran pembinaan keluarga?
Orang Tua Berkuasa Harus Jadi Teladan, Bukan Pelindung Salah
Jika orang tua dengan posisi penting dalam pemerintahan atau masyarakat, tidak mampu menunjukkan sikap adil saat anak melanggar norma, maka sistem pendidikan akan terus diliputi ketimpangan moral. Anak justru belajar bahwa "asal punya koneksi", maka perbuatan buruk pun bisa dimaklumi.
Perilaku seperti ini akan memperkuat entitlement syndrome, di mana anak merasa berhak mendapatkan perlakuan istimewa meskipun tidak berperilaku baik. Sikap ini berbahaya dalam jangka panjang karena membentuk narcissistic tendencies dan melemahkan kemampuan empati dan tanggung jawab sosial.
Di sinilah pentingnya membangun budaya kolaboratif antara sekolah dan keluarga. Orang tua, terutama yang berkuasa, harus berani mengatakan, "Anakku salah dan harus bertanggung jawab," bukan "Aku akan pastikan kamu tidak tersentuh hukum."
Referensi Kasus:
Kasus Guru Madrasah di Demak, Jawa Tengah (MSN News):
"Maafkan Wali Murid, Momen Haru Zuhdi, Guru Madin Didenda Rp12,5 Juta, Peluk Siswa & Bujuk Sekolah Lagi"
Penutup: Bangun Benteng Moral Sejak dari Rumah
Setiap anak adalah tanggung jawab orang tua---bukan hanya ketika mereka patuh, tetapi juga ketika mereka melanggar. Sekolah adalah tempat belajar, bukan hanya akademik, tetapi juga etika dan karakter.
Pendidikan sejati membutuhkan kolaborasi, bukan dominasi. Butuh kejujuran, bukan perlindungan buta. Dan yang paling penting, anak perlu belajar dari kesalahan, bukan ditutupi dari konsekuensinya.
Saat orang tua menempatkan nilai di atas gengsi, dan guru tetap diberikan tempat terhormat dalam proses pendidikan, maka kita sedang membangun bangsa yang berkarakter---dimulai dari kelas yang penuh hormat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI