Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Namaku Divani

2 Mei 2024   05:50 Diperbarui: 6 Mei 2024   18:53 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 'Namaku Divani'. Sumber gambar bec.natura.com

Panji juga merasa bersyukur, karena dengan keberadaan Divani di keluarganya, dianggap telah membawa keberuntungan. Bagaimana tidak, saat ini di sakunya ada sekantong kecil yang berisi banyak butiran intan dari hasil bertambang liarnya di hutan.

Sesekali, Divani berhenti di sungai yang dangkal dan mulai mengayak nampannya. Panji dan keluarganya pun ikut serta dan ternyata benar, mereka menemukan beberapa butiran intan yang ukurannya terhitung besar serta harganya mahal. Saking bahagianya, mereka semua berangkulan.

"Pekan depan, semua berlian hasil menambang liar ini akan aku jual ke kota. Uangnya untuk membeli rumah dan membuka usaha toko atau warung makan serta untuk biaya menikahkan Fadil dan Divani", kata hati Panji pada dirinya sendiri.

"Rasanya, sudah cukup menjadi penambang liar yang banyak membahayakan nyawa anggota keluarganya dan ingin hidup normal lagi di masyarakat". Itulah rencana selanjutnya yang ada dalam pikiran Panji.


Dengan masih terbuai antara ingatan masa lalu dalam pikirannya dan juga lamunannya, Panji yang masih setengah mengantuk, tiba- tiba mendengar suara teriakan histeris dari Divani, " Faaaadddillll!.... Tiddaaakkkk!!!"

Spontan Panji melompat dari duduknya. Matanya menyapu semua area sekitar sungai untuk mencari tahu ada bahaya apa.  Setelah tenang, dia menoleh dan melihat Gendhis di tengah sungai yang masih membawa nampan untuk menambangnya juga terlihat berdiri tegak dan mematung sambil melihat arah pepohonan.


"Ibbbuuuuuuu!!". Divani berteriak histeris sambil menunjuk Fadil yang sedang berdiri sambil memegang perutnya yang bersimbah darah dan juga menunjuk arah semak belukar di pinggir sungai yang bergoyang-goyang tertiup angin.

Tak ayal kejadian itu membuat Panji dan Gendhis segera berlari menuju Fadil yang mulai terlihat akan ambruk dan tangannya seperti akan menunjuk sesuatu namun saat diangkat dari perutnya, darah segar muncrat dan membuat air sungai menjadi berwarna merah. Maka, terjungkalah Fadil dan tewas seketika.

"Toloooong!, Tolooong!" Panji yang histeris berteriak berulang-ulang untuk meminta bantuan di tengah hutan. Dia hanya berharap, semoga ada para keluarga  penambang intan lainnya yang mungkin ada di sekitar lokasi itu dan bisa menolongnya.

Gendhis hanya menangis meraung  dan memeluk jasad Fadil di tengah sungai dangkal yang airnya setinggi mata kaki itu. Dia tidak tahu kenapa Fadil bisa terluka sobek pada perutnya dan dilakukan oleh siapa.

Baca Juga  :  Cerpen : Gus Opal dan Sosok Wujud Asli "Jin"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun