Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Namaku Divani

2 Mei 2024   05:50 Diperbarui: 6 Mei 2024   18:53 1313 41
Sambil duduk di pinggiran sungai kecil yang airnya dangkal dan mengalir pelan, Panji, lelaki tua yang berkulit hitam legam dan berotot kekar itu tersenyum melihat gerak-gerik Fadil, anak laki-laki tampan semata wayangnya yang sudah menginjak remaja, sedang terlihat kasmaran dengan mencuri pandang ke arah Divani.

Gendhis, istri Panji juga menyadari akan hal itu namun dia berpura-pura tidak tahu dan malah memberi kode pada suaminya untuk membiarkan hal itu dan meneruskan pekerjaannya mendulang intan di jeram dangkal di tengah hutan rimba di Borneo.

Setelah minum seteguk air putih rebusan istrinya dari wadah bekas batok kelapa, Panji mencoba untuk bersandar pada Pohon Damar kecil di pinggir sungai kecil itu demi menghilangkan pegal di punggungnya akibat terlalu sering membungkuk karena mengayak saringan nampan dari rotan atau bambu yang berisi butiran pasir sungai untuk mendulang intan.

Matanya mengamati Divani, gadis cantik di depannya yang saat ini sedang membantu Gendhis, istrinya dan juga Fadil untuk menambang butiran intan kecil di sungai dangkal berpasir. Semua terlihat sibuk bekerja menyaring pasir sungai di nampan yang terbuat dari bambu hasil anyamannya.

Panji sangat mengingat pada peristiwa tiga bulan lalu saat baru pertama kali menjejakkan kakinya di tanah Borneo untuk mengikuti program transmigrasi dan memilih Kalimantan sebagai daerah koloni baru bagi keluarganya.

Semua itu dilakukan demi memperbaiki nasib perekonomian keluarganya yang bangkrut akibat terlilit utang untuk modal usaha dari rentenir sehingga sawah sepetak dan rumahnya telah disita sebagai biaya pelunasan.

Saat ada kesempatan dan mendapat tawaran ke Kalimantan, tanpa berpikir panjang, Panji dan istrinya, Gendhis serta anak laki-lakinya, Fadil segera berangkat ke Kalimantan.

Namun sayangnya, di lahan transmigrasi, tanahnya berjenis gambut dan tidak bisa ditanami jenis palawija. Terpaksa, dia mengikuti jejak beberapa orang keluarga yang sudah datang terlebih dahulu di Borneo untuk mengadu nasib menjadi penambang liar dengan mencari intan yang ada di hutan pedalaman.

Saat tiba di daerah pertambangan intan liar di tengah hutan, Panji langsung mendengar adanya banyak rumor bahwa beberapa tetangganya yang berangkat terlebih dahulu, ternyata banyak yang dikabarkan meninggal dunia.

Kabar yang menakutkan terhembus bahwa mereka semua rata-rata terbunuh dalam keadaan menyedihkan. Para penambang merasa ketakutan karena ada desas-desus, mereka mati karena dibunuh oleh makhluk penjaga hutan di daerah tambang intan illegal.

Anehnya, sampai sekarang banyak penambang yang belum pernah bertemu dengan makhluk tersebut atau bahkan melihatnya secara langsung. Akan tetapi, setiap malam atau pagi harinya, banyak keluarga yang ditemukan sudah tewas dengan luka terkoyak pada tubuh mereka.

Hal itu dialami dan diketahui oleh Panji serta keluarganya saat pertama kali datang ke daerah pertambangan intan liar dengan menyusuri jalan setapak di pinggir sungai di tengah hutan rimba itu.

Panji melihat sebuah tenda kumuh dan beberapa peralatan memasak serta pakaian lusuh berlumpur yang masih terjemur di tali rotan di dekat tenda.

Hal yang lumrah bagi keluarga para penambang untuk tidur di tenda karena harus berpindah tempat untuk mendulang intan yang saat ini menjadi satu-satunya harapan untuk mendapatkan uang besar dari penjualan batu intan yang ditemukan dan dikumpulkan untuk dijual ke kota besar.

Saat melongok ke dalam tenda, betapa terkejutnya Panji dan keluarganya melihat pemandangan tiga orang penambang yang tewas mengenaskan.

Dugaan Panji, mereka satu keluarga. Lelaki yang tua dipastikan sebagai kepala keluarga, dan yang perempuan pasti istrinya. Satu lagi yang remaja pasti anak atau adik laki-lakinya.

"Masssss!, cepat lihat ke sini!!", teriak istrinya, Gendhis sambil menggerakkan jarinya menunjuk sesosok gadis berkulit kuning langsat yang terlihat masih bernapas meskipun bajunya berlumuran darah di sebelah perempuan paruh baya yang diketahui juga sudah tewas tersebut.

Dibantu Fadil, Panji memeriksa gadis tersebut dan memberinya minuman serta makanan. Dengan wajah pucat ketakutan dan bibir serta tangannya terlihat gemetar, gadis itu segera melahap makanan yang diberikan tanpa berkata apapun.

Setelah tenang, Panji mencoba untuk mengorek keterangan sebenarnya ada kejadian apa yang menimpa mereka. Apakah ada yang membunuh mereka? Para perampok yang menjarah hasil tambang intan yang mereka peroleh atau apakah ada hewan buas yang menyerangnya?

Akan tetapi, sekali lagi, gadis itu hanya diam tanpa ekspresi dan tidak mau menjawab apa-apa.

"Mas, anak perempuan ini sedang trauma dan ketakutan karena keluarganya sudah terbunuh semua! Sudahlah!, jangan ditanya apa-apa dan biarkan sampai dia tenang!", Gendhis mencoba untuk menenangkan pikiran dan rasa penasaran Panji, suaminya.

Setelah menguburkan ketiga jenazah tersebut di pinggir sungai, Panji segera melipat tenda dan mengumpulkan peralatan masak, juga peralatan penambangan serta sisa bahan makanan mentah yang ditinggalkan di situ.

Hal itu wajar dan sudah umum untuk tidak perlu lapor pada pihak berwajib bila ada para penambang liar yang tewas di lokasi yang berada di tengah hutan tersebut. Ada identitas atau tidak, mereka yang meninggal, cukup langsung dikuburkan tanpa diberi kain kafan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun