Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Butir-Butir Kerinduan (16)

5 Juni 2022   07:24 Diperbarui: 5 Juni 2022   08:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Pabelan di Jawa Tengah (foto oleh Joko Dwiatmoko)

"Kalau dolan jangan dekat dekat sungai nak, akhir-akhir ini sungainya lagi keruh dan sering banjir."

Pesan Istrinya Sarjum itu tampak serius ditujukan pada Sarji anak laki- laki yang sering sekali main di pingir sungai.

"Ya, Mak."

Belum dikasih tahu selanjutnya Sarji sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Bersama beberapa anak Sarji sering berenang di lubang bekas galian pasir di pinggir sungai Pabelan. Kolam yang berdiameter 3 kali 5 meter itu sedikit warna kecoklat-coklatan. Entah biasanya warnanya bening sedikit kehijau-hijauan.

***

Zaman dulu kami juga sering menghabiskan waktu di pinggir sungai. Air mengalir begitu deras, sementara Bebatuan besar tampak kokoh kuat diterjang derasnya air yang mata airnya tidak pernah berhenti mengalir. Aliran yang berasal dari Merapi itu tidak pernah kering. Kalau kemarau air benar-benar jernih, saatnya musim hujam sering keruh berwarna kecoklatcoklatan.

Airan sungai yang sering memberi orang-orang sekitarnya dengan limpahan pasir gunung yang kualitasnya nomor satu. Hampir setiap hari waktu kecil kalau tidak berenang di bekas kubangan air yang sering buat mandi kerbau di irigasi (irigasi juga diambil dari Sungai Pabelan).

Dengan lebar sekitar dua setengah meter irigasi itu bening ketika  tidak ada hujan dan saat kemarau, juga tidak sedang muncul lahar dingin. Sungai adalah anugerah dan kami anak- anak desa begitu bahagia bisa berenang di sungai.

Secara tidak sengaja kadang kami kaget ketika berenang di sekitar grojogan, tiba-tiba injakan tanah atau pasir lembut itu menyedot kami sampai gelagapan. Ternyata kedalaman di sekitar gerojogan itu benar-benar diluar perkiraan. Bisa sampai dua sampai 3 meter. Hampir saja satu anak tenggelam dan hampir tidak terselamatkan. Tetapi belum pernah ada kejadian ada anak yang tenggelam sampai mati. Rupanya setelah tenggelam cukup lama, seperti ada yang melempar keluar, sehingga ketika tenggelam belum sempat kehabisan nafas,

Ada keisengan-keisengan yang sering dilakukan anak-anak. Ketika kami mulai beranjak remaja, kami sering berenang bersama beberapa anak perempuan. Mereka ikut berenang dengan gembira. Ya sekitar anak SMP, Saat masuk ke kedalaman air tanpa diketehui anak-anak ada satu anak yang sering iseng, memeloroti celana anak-anak. Tentu saja anak-anak menjerit-jerit, antara marah dan panik. Tapi kenakalan anak-anak yang sebatas iseng, tidak pernah kepikiran untuk melecehkan secara seksual.

Tahab perkembangan remaja  memang penuh keingintahuan, pengin melihat hal-hal yang indah termasuk senang melihat remaja putri yang mulai berubah bentuk tubuhnya. Dulu di desa belum ada kamar mandi di rumah masing-masing kecuali beberapa orang yang kebetulan cukup berada yang mempunyai sumur dan kamar mandi di rumah.

Kami biasa mandi di belik atau mata air yang banyak terdapat di belakang kuburan atau di dekat lereng sebelah utara di pinggir tegalan dan sawah. Orang tua, anak-anak, remaja sering mandi di pancuran. Air dingin waktu pagi hari. Keisengan masa remaja adalah melihat anak-anak perempuan mandi. Sebab mandi pasti melepas semua baju yang melekat di badan. Tempat mandi tidak tersekat sama sekali, Hanya tertutup perdu dan dedaunan dan rimbun. Tentu anak laki-laki tidak kurang akal mengintip "bidadari mandi".

Jadi pikiran anak laki-laki remaja jadi penasaran bagaimana sih bentuk anak perempuan.

"Ssst diam, ada Sarmi yang sedang mandi kita intip yuk."

"Iya, tapi jangan berisik lho, kalau ketahuan nanti mereka pasti akan menjerit, malu kita."

"iya, tapi bagaimana tidak berisik kita khan di tanah yang banyak klaras bambu, ya berisik lah."

"Langkahnya yang pelan..."

Belum sempat di pinggir jurang yang di bawahnya persis tempat mandi, seorang nenek lewat.

"Hei anak-anak sableng, mau ngintip ya, ayo ngaku..."

"Hehehe, nggak nek, ini mau cari klaras dan ranting...?"

"Ah, bohong, kamu pasti mau ngintip orang mandi khan."

Kami saling lirik, kemudian dengan satu kode. Langsung lari tunggang langgang.

***

Berita duka itu datang dari keluarga Sarjum. Anaknya Sarji ditemukan meninggal dan terapung di kolam bekas galian pasir tersebut. Tangis pecah ketika mayat Sarji dibawa ke rumah sudah dalam keadaan kaku.

Kesedihan dan tangisan pilu datang dari Warni. Ia melihat anak laki-laki kesayangannya sudah terbujur kaku. Padahal sebelum pergi ia sudah mewanti-wanti anaknya untuk tidak berenang di sungai, tetapi nasihatnya hanya dijawab ya tapi selanjutnya ia tidak bisa melihatnya lagi.

Sungai yang menjadi mata pencaharian selain hasil dari bertani. Tidak terkatakan bagaimana kesedihan Sarjum. Ia tidak menangis hanya tidak bisa berkata-kata. Shock dan tentunya tidak percaya. Ia masih ngobrol dengan anaknya sebelum pergi ke sawah. Masih masih ingat tawanya pecah saat ngobrol dengan adiknya. Sarji itu orangnya iseng, suka menggoda adiknya. Kadang ia tega menggoda sampai hampir menangis.

Ia tahu wujud kasih sayang saudara kandung kadang aneh. Tampak seperti musuh tapi sebenarnya sayang. Adiknya sendiri meskipun sering diisengi sering selalu menanyakan jika kakaknya tidak tampak.

Tapi yang terlihat didepannya hanyalah sosok kaku yang tidak bergerak lagu, wajah pucat dan tidak bisa berbicara lagi.

"Kenapa, kamu harus lebih dulu dipanggil, Nak."

Sarjum mengguncang-guncang sosok kaku di depannya. Ia merangkulnya, tenggelam dalam kesedihan yang bisa dirasakan ketika menjadi orang tua.  Ia memang tidak sering ngobrol, tapi ia sayang. Ia sering membelai saat tidur pulas, melihatnya lama-lama, memandangi wajahnya yang mirip masa kecilnya. Laki-laki tampan yang akan meneruskan kehidupannya di masa datang. Seabreg harapan di pikirannya. Ingin menyekolahkan sampai tingkat tinggi tidak seperti dirinya yang hanya lulusan SD.

Ia tidak percaya, Sarjum masih berharap ada nafas yang kembali mengalir dalam diri anaknya. Tapi semua sudah terlambat. Sarji sudah tenang, ia sudah dipanggil oleh Yang Kuasa. Tuhan berkehendak lain dan harus merelakan kepergiannya agar ia tenang di keabadian. Ia sudah bebas berenang, bebas bermain, bebas mendoakan orang tua dan adiknya yang masih berjuang di dunia ini.

Akhirnya semua akan kembali. Hidup ini ibaratnya hanya mampir ngombe, begitulah orang Jawa memaknainya. Cuma sebentar, nyawa hanya titipan, yang berhak yang Di Atas. Mau tidak mau hidup yang misteri itu berisi pilihan pilihan. Tentang kebahagiaan, kesedihan, kekayaan dan kemiskinan semua sudah ada yang mengatur. Manusia hanya bisa menjalani laku dan semampu mungkin bekerja agar hidup menjadi lebih baik.

Setiap manusia Jawa harus memaknai kata Sangkan Paraning Dumadi. Dari mana ia berasal, darimana ia bisa hidup. Manungso iku titah sawantah (manusia itu hanya ciptaan saja). Kalau alam dan Maha Pencipta mau mengambilnya siapa yang mampu menolaknya. Sarjum sadar, mungkin Sarji hanya sempat dititipkan sebentar, sebelum kembali ke alam, kembali ke yang punya kehidupan.

"kami tetap mengenangmu Sarji, Semoga kamu bisa bercanda dengan kakek nenekmu ya Nak."

Tanah merah itu penuh bunga, di situ terbujur jasad Sarji yang sudah tidur untuk selama-lamanya. Ia mesti rela meskipun ada sesuatu yang kosong dan selama beberapa waktu kepala Sarjum selalu tertunduk, terbayang wajah anak laki-lakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun