Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Butir-Butir Kerinduan (16)

5 Juni 2022   07:24 Diperbarui: 5 Juni 2022   08:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungai Pabelan di Jawa Tengah (foto oleh Joko Dwiatmoko)

***

Berita duka itu datang dari keluarga Sarjum. Anaknya Sarji ditemukan meninggal dan terapung di kolam bekas galian pasir tersebut. Tangis pecah ketika mayat Sarji dibawa ke rumah sudah dalam keadaan kaku.

Kesedihan dan tangisan pilu datang dari Warni. Ia melihat anak laki-laki kesayangannya sudah terbujur kaku. Padahal sebelum pergi ia sudah mewanti-wanti anaknya untuk tidak berenang di sungai, tetapi nasihatnya hanya dijawab ya tapi selanjutnya ia tidak bisa melihatnya lagi.

Sungai yang menjadi mata pencaharian selain hasil dari bertani. Tidak terkatakan bagaimana kesedihan Sarjum. Ia tidak menangis hanya tidak bisa berkata-kata. Shock dan tentunya tidak percaya. Ia masih ngobrol dengan anaknya sebelum pergi ke sawah. Masih masih ingat tawanya pecah saat ngobrol dengan adiknya. Sarji itu orangnya iseng, suka menggoda adiknya. Kadang ia tega menggoda sampai hampir menangis.

Ia tahu wujud kasih sayang saudara kandung kadang aneh. Tampak seperti musuh tapi sebenarnya sayang. Adiknya sendiri meskipun sering diisengi sering selalu menanyakan jika kakaknya tidak tampak.

Tapi yang terlihat didepannya hanyalah sosok kaku yang tidak bergerak lagu, wajah pucat dan tidak bisa berbicara lagi.

"Kenapa, kamu harus lebih dulu dipanggil, Nak."

Sarjum mengguncang-guncang sosok kaku di depannya. Ia merangkulnya, tenggelam dalam kesedihan yang bisa dirasakan ketika menjadi orang tua.  Ia memang tidak sering ngobrol, tapi ia sayang. Ia sering membelai saat tidur pulas, melihatnya lama-lama, memandangi wajahnya yang mirip masa kecilnya. Laki-laki tampan yang akan meneruskan kehidupannya di masa datang. Seabreg harapan di pikirannya. Ingin menyekolahkan sampai tingkat tinggi tidak seperti dirinya yang hanya lulusan SD.

Ia tidak percaya, Sarjum masih berharap ada nafas yang kembali mengalir dalam diri anaknya. Tapi semua sudah terlambat. Sarji sudah tenang, ia sudah dipanggil oleh Yang Kuasa. Tuhan berkehendak lain dan harus merelakan kepergiannya agar ia tenang di keabadian. Ia sudah bebas berenang, bebas bermain, bebas mendoakan orang tua dan adiknya yang masih berjuang di dunia ini.

Akhirnya semua akan kembali. Hidup ini ibaratnya hanya mampir ngombe, begitulah orang Jawa memaknainya. Cuma sebentar, nyawa hanya titipan, yang berhak yang Di Atas. Mau tidak mau hidup yang misteri itu berisi pilihan pilihan. Tentang kebahagiaan, kesedihan, kekayaan dan kemiskinan semua sudah ada yang mengatur. Manusia hanya bisa menjalani laku dan semampu mungkin bekerja agar hidup menjadi lebih baik.

Setiap manusia Jawa harus memaknai kata Sangkan Paraning Dumadi. Dari mana ia berasal, darimana ia bisa hidup. Manungso iku titah sawantah (manusia itu hanya ciptaan saja). Kalau alam dan Maha Pencipta mau mengambilnya siapa yang mampu menolaknya. Sarjum sadar, mungkin Sarji hanya sempat dititipkan sebentar, sebelum kembali ke alam, kembali ke yang punya kehidupan.

"kami tetap mengenangmu Sarji, Semoga kamu bisa bercanda dengan kakek nenekmu ya Nak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun