Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Wajah Ibu Ada di Langit

29 Juli 2021   15:32 Diperbarui: 7 Agustus 2021   22:00 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ibu dan anak. (sumber: pixabay.com/DikaRukmana)

Sinar matahari menerobos cela-cela fentilasi bentuk persegi. Kilaunya menyentuh apa saja. Tak terkecuali pipi Nuhai yang memerah. Nuhai sedang menangis karena belum menuntaskan sketsa tugas melukis.

Remaja tingkat sekolah menengah atas itu enggan keluar kelas, walau sudah waktunya pulang sekolah. Nuhai yang tergolong siswi dengan reputasi belajar positif, pandai dan rajin itu membuat kaget teman-temannya.  Baru kali ini ia meneteskan air mata di kelas.

"Tenang Nuh, bu Vivi  akan menunggunya sampai besok."

"Lebih baik kamu pulang dan selesaikan di rumah saja."

"Lagi pula besok harus diberi warna lagi."

Ungkapan satu-dua temannya datang, namun tak membuat Nuhai berkata-kata. Ia hanya bersedu-sedan. Hampir lima menit sepeninggalan teman-temannya, kelas itu sempat benar-benar senyap. Hingga tiba-tiba terdengar suara laki-laki.

" Kenapa kamu sampai menangis?"

Suara dari meja paling belakang itu leluasa terbang sampai ke meja depan, karena memang hanya ada Nuhai di sana. Nuhai tidak menunjukan tanda-tanda menanggapi suara itu. Selain isak tangis, tiada ada apa pun keluar dari bibirnya.

Suara itu dari Boim. Remaja rambut cepak itu memilih untuk tetap di kursinya, sudut kiri paling belakang. Mirip seperti posisi duduk mereka, secara reputasi belajar Boim hampir terbalik dari Nuhai. Hanya saja ia dijagokan dalam futsal dan disenangi oleh banyak teman sekelas karena lucu.

Dengan melongo, Boim hanya memandangi foto-foto pahlawan yang hinggap di dinding tanpa benar-benar tahu apa yang sedang ia tatap. Sebab, yang timbul dalam benaknya adalah hal lain.

Belakangan ini Boim heran, mengapa ada rasa aneh timbul di hatinya tiap dekat dengan teman sekelasnya itu. Walupun ia sudah paham, kalau Nuhai bukanlah wanita seperti Nia, Cindi dan juga Bela, yang selalu membuat kesemsem teman-temannya.

Boim teringat adegan-adegan ketika bergurau dengan Nuhai. Ketika Nuhai meninju lengannya karena usil, ketika ia meminta contekan, ketika jajanan Nuhai ia pinta, dan banyak lagi. Rasa aneh itu pun memuncak seiring suara tangis Nuhai siang itu. Boim curiga, jangan-jangan ia jatuh cinta pada Nuhai.

"Apa sebetulnya yang terjadi di kertas gambarnya?" Mengapa ia sampai begitu bersedih? Bukankah bu Vivi tidak sama sekali galak. Apa yang membuatnya sampai begitu rapuh?"

Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya bergema hanya dalam benak. Belum habis ia merenung, tiba-tiba suara tangis Nuhai berhenti. Kemudian Nuhai berdiri, tubuhnya menutupi meja guru yang semula terlihat oleh Boim. Nuhai keluar kelas, meninggalkan semua perlengkapan sekolahnya di meja.

Boim beranjak dari kursinya, hengkang  ke meja paling depan itu. Beberapa jenak, ia gerayangi meja itu sambil terus-terus membantin, " ada apa sebetulnya dengan sketsa lukisannya? Apa benar belum selesai? Padahal sebelum-sebelum ini ia cukup lihai membuat sketsa wajah tokoh nasional."

Setelah memburu sampai ke dalam kolong meja, Boim tidak juga temukan apa-apa. Jangan-jangan ada di dalam dalam ranselnya, pikir Boim.  

"Hei!"

Ilustrasi :Pixabay
Ilustrasi :Pixabay

Nuhai kembali. Rambutnya agak basah, bintik-bintik air masih tersisa di keningnya. Tangan Boim terhenti sebelum menyentuh ransel itu.

"Apa yang kamu lakukan!"

Boim kecut. Ia hampir tak kuasa berkata apa-apa. Tapi ia cukup cerdas mengatur emosi. Ia putuskan untuk menunjukan gurauan-gurauan seperti sedia kala.

"Aku cuma khawatir kalau kamu bukan melukis wajah ibumu tapi malah wajahku."

"Ini bukan urusanmu, Im!"

Nuhai menanggapi dengan ketus. Mimik wajahnya masih menyiratkan kemurungan. Boim sempat memberi senyum yang percuma, karena Nuhai tidak sedang berbakat untuk menangkap canda. 

Nuhai pun lenyap dari hadapan Boim bersama perlengkapan sekolahnya. Boim merapikan diri untuk menyusulnya.  

***

Hari itu Boim begitu enggan meninggalkan sekolah. Di kepalanya masih terbayang wajah sedih Nuhai. Sudah hampir setengah jam Boim mematung di sebelah pos keamanan sekolah namun Nuhai tak kunjung terlihat. Ia pun memutar langkah. Kembali memasuki gerbang sekolah.

Benar saja, ia temukan Nuhai duduk sendirian di taman lapangan. Boim langsung berbelok gesit, mampir ke kantin lalu menyelinap ke pinggiran lapangan sekolah.

"Nuh, kamu belum pulang? Ini coba deh."  

Boim langsung duduk di sebelah teman sekelasnya itu. Nuhai senang sekali menerima teh dingin dari Boim. Putaran adegan tatkala di kelas tadi terlintas sesaat di benak Nuhai.

Di seberang sana, kelompok ekskul baris-berbaris tak gentar dengan sengatan matahari. Sedangkan di bawah rindang beringin tepi lapangan, Nuhai sedang membeberkan buku gambarnya kepada Boim.

"Coba kamu lihat ini?" 

Boim sempat terkejut karena mendapatkan sesuatu yang tadi ia buru di kelas. Tanpa babibu, ia jemput kertas itu dari tangan Nuhai.

"Loh, mengapa gambarmu begini?"

Boim kebingungan, melihat gambar itu. Arsirannya mirip rambut yang begitu kasar. Garis-garisnya seperti digoreskan oleh jemari yang sedang gugup. Rambut tanpa wajah? Pikirnya.

"Memangnya kamu tidak punya foto ibumu? Buatku, sulit melukiskan wajah orang tanpa melihat  fotonya."

Nuhai seperti sengaja menunjukan wajah sedih. Sementara Boim belum juga mengerti apa yang terjadi pada Nuhai.  

"Bukankah kita boleh menggambar sketsa ayah kita? Mungkin wajah ayahmu lebih simpel."

Rona sedih Nuhai sedikit lenyap. Boim memang begitu jago memancing tawa, walau ia sama sekali tak merencanakannya.

"Tapi itu hanya untuk Reni. Lagi pula ayahku berbeda."  

Boim hanya berpura-pura lupa tentang ketentuan khusus dari bu Vivi untuk teman sekelasnya yang seorang piatu bernama Reni itu.

"Apa bedanya? ayahmu bisa terbang?"

Ada tawa yang tak berbunyi. Walau jelas sekali Boim melihat Nuhai tersenyum. Dan perasaan itu menular hingga ke pipi Boim yang jadi memuai.

Angin berhembus lebih kuat. Sesuatu yang lembut pun melintasi kedua tubuh remaja itu. Ada tali yang tak kasat mata, terjalin di kedalaman dada mereka satu sama lain.

"Kamu tahu tentang adopsi, Im?

Nuhai menghabiskan teh dinging. Seperti menghimpun kekuatan untuk menyatakan sesuatu yang penting.

"Maksud kamu anak angkat?"

Perasaan Boim terlalu bahagia untuk tema cerita Nuhai yang menyedihkan. Tapi bagaimana lagi, sebab Boim selalu menikmati setiap momen bersama dengan Nuhai.

"Ya, seorang anak yang entah bagaimana ada di tangan sepasang suami istri, yang bukan benar-benar orang tua kandungnya."

Boim kehilangan kata. Ia mulai tergopoh meminum teh dinginnya, sambil merangkai -rangkai kejadian yang dikisahkan oleh Nuhai kemudian.

"Bagaimana aku bisa menemukan ibuku? Sedangkan sejak bayi aku bersama orang yang merawatku atas dasar kasih sayang sosial. Haruskah aku membayangkan bahwa ibuku telah mati?"

"Em, kamu gambar saja wajah ibumu yang di rumah? Bukankah ia yang merawatmu."

"Entahlah, aku tak begitu menyukainya."

"Atau bolehkah aku memberi saran?"

"Apa?"

"Bu Vivi bilang, kita boleh menggambar wajah ibu kita dengan ekspresi apapun yang Indah. Nah, kamu buat saja wajah ibumu yang sedang menghadap ke belakang."

Boim begitu serius menyatakan hal ini. Nuhai malah tersenyum lagi. Kali ini tawanya hampir meledak.

 "Jadi intinya mereka mengaku kalau mereka tidak mengeteahui tentang keluargaku. Mereka hanya menjemputku di sebuah panti. Titik."

Boim terus menyambar cerita dari Nuhai. Boim terhanyut sampai lupa teh dinginnya sudah habis. Ia masih menyeruput sedotan, seolah-olah dalam kotak itu masih ada yang tergenang. Hingga akhirnya, terbersit tanya dalam benaknya. Apakah ini waktu yang tepat untuk menyatakan cinta?

***

Gumpalan awan abu-abu itu menjalin bentuk seperti rangkaian rambut. Di sekitarnya, pose dua ekor burung yang melayang itu mematung rapi bagaikan kelopak mata. Di bawahnya ada semacam bulan sabit, yang mencitrakan bibir kala tersenyum.

Gambar dalam kertas itu sedang menyita perhatian ibu Vivi. Walau hanya ditorehkan dengan pensil 2B, tapi itu berhasil membuatnya merinding. Bagi Bu Vivi, sketsa wajah itu begitu hidup dan menyentuh.  

"Bagaimana teman-teman sekalian? Sudah siap untuk mewarnai dan membingkai gambar kalian?" Tegas namun lembut, suara Bu Vivi, guru Seni Budaya itu membangunkan kembali perhatian kelas. Hampir seluruh siswa menjawab dengan girang. " Sudah bu!"

Satu persatu siswa maju bergantian mengambil kertas gambar mereka beserta sebuah bingkai kayu. Sedangkan Nuhai masih tertunduk. Berpikir mengapa namanya tak juga disebut. Apa karena gambarnya tak memenuhi syarat atau karena telat mengumpulkan? Pikirnya.

"Nuhai Aprilia!"

Suara itu akhirnya datang juga. Nuhai langsung menuju sumber suara. Tidak butuh waktu lama karena ia berhadapan dengan meja guru.

"Gambarmu sangat indah, nak. Wajah ibumu ada di langit?"

Nuhai terperanjat mendengar ungkapan bu Vivi. Ia menarik nafas dalam-dalam.

 "Iya, Bu! Mungkin ibuku ada di langit."

 "Bolehkah gambarmu saya daftarkan untuk perlombaan ?

Nuhai menerima dengan tegas tawaran itu, seraya menoleh ke meja paling belakang. Terlihat Boim sedang gelisah.  Ada pertanyaan tentang cinta yang kemarin sore belum sempat dijawab oleh Nuhai.

Marendra Agung  J.W_2018-2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun