"Apa?"
"Bu Vivi bilang, kita boleh menggambar wajah ibu kita dengan ekspresi apapun yang Indah. Nah, kamu buat saja wajah ibumu yang sedang menghadap ke belakang."
Boim begitu serius menyatakan hal ini. Nuhai malah tersenyum lagi. Kali ini tawanya hampir meledak.
 "Jadi intinya mereka mengaku kalau mereka tidak mengeteahui tentang keluargaku. Mereka hanya menjemputku di sebuah panti. Titik."
Boim terus menyambar cerita dari Nuhai. Boim terhanyut sampai lupa teh dinginnya sudah habis. Ia masih menyeruput sedotan, seolah-olah dalam kotak itu masih ada yang tergenang. Hingga akhirnya, terbersit tanya dalam benaknya. Apakah ini waktu yang tepat untuk menyatakan cinta?
***
Gumpalan awan abu-abu itu menjalin bentuk seperti rangkaian rambut. Di sekitarnya, pose dua ekor burung yang melayang itu mematung rapi bagaikan kelopak mata. Di bawahnya ada semacam bulan sabit, yang mencitrakan bibir kala tersenyum.
Gambar dalam kertas itu sedang menyita perhatian ibu Vivi. Walau hanya ditorehkan dengan pensil 2B, tapi itu berhasil membuatnya merinding. Bagi Bu Vivi, sketsa wajah itu begitu hidup dan menyentuh. Â
"Bagaimana teman-teman sekalian? Sudah siap untuk mewarnai dan membingkai gambar kalian?" Tegas namun lembut, suara Bu Vivi, guru Seni Budaya itu membangunkan kembali perhatian kelas. Hampir seluruh siswa menjawab dengan girang. " Sudah bu!"
Satu persatu siswa maju bergantian mengambil kertas gambar mereka beserta sebuah bingkai kayu. Sedangkan Nuhai masih tertunduk. Berpikir mengapa namanya tak juga disebut. Apa karena gambarnya tak memenuhi syarat atau karena telat mengumpulkan? Pikirnya.
"Nuhai Aprilia!"