Belakangan ini Boim heran, mengapa ada rasa aneh timbul di hatinya tiap dekat dengan teman sekelasnya itu. Walupun ia sudah paham, kalau Nuhai bukanlah wanita seperti Nia, Cindi dan juga Bela, yang selalu membuat kesemsem teman-temannya.
Boim teringat adegan-adegan ketika bergurau dengan Nuhai. Ketika Nuhai meninju lengannya karena usil, ketika ia meminta contekan, ketika jajanan Nuhai ia pinta, dan banyak lagi. Rasa aneh itu pun memuncak seiring suara tangis Nuhai siang itu. Boim curiga, jangan-jangan ia jatuh cinta pada Nuhai.
"Apa sebetulnya yang terjadi di kertas gambarnya?" Mengapa ia sampai begitu bersedih? Bukankah bu Vivi tidak sama sekali galak. Apa yang membuatnya sampai begitu rapuh?"
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya bergema hanya dalam benak. Belum habis ia merenung, tiba-tiba suara tangis Nuhai berhenti. Kemudian Nuhai berdiri, tubuhnya menutupi meja guru yang semula terlihat oleh Boim. Nuhai keluar kelas, meninggalkan semua perlengkapan sekolahnya di meja.
Boim beranjak dari kursinya, hengkang  ke meja paling depan itu. Beberapa jenak, ia gerayangi meja itu sambil terus-terus membantin, " ada apa sebetulnya dengan sketsa lukisannya? Apa benar belum selesai? Padahal sebelum-sebelum ini ia cukup lihai membuat sketsa wajah tokoh nasional."
Setelah memburu sampai ke dalam kolong meja, Boim tidak juga temukan apa-apa. Jangan-jangan ada di dalam dalam ranselnya, pikir Boim. Â
"Hei!"
Nuhai kembali. Rambutnya agak basah, bintik-bintik air masih tersisa di keningnya. Tangan Boim terhenti sebelum menyentuh ransel itu.
"Apa yang kamu lakukan!"
Boim kecut. Ia hampir tak kuasa berkata apa-apa. Tapi ia cukup cerdas mengatur emosi. Ia putuskan untuk menunjukan gurauan-gurauan seperti sedia kala.