Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Wajah Ibu Ada di Langit

29 Juli 2021   15:32 Diperbarui: 7 Agustus 2021   22:00 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ibu dan anak. (sumber: pixabay.com/DikaRukmana)

Belakangan ini Boim heran, mengapa ada rasa aneh timbul di hatinya tiap dekat dengan teman sekelasnya itu. Walupun ia sudah paham, kalau Nuhai bukanlah wanita seperti Nia, Cindi dan juga Bela, yang selalu membuat kesemsem teman-temannya.

Boim teringat adegan-adegan ketika bergurau dengan Nuhai. Ketika Nuhai meninju lengannya karena usil, ketika ia meminta contekan, ketika jajanan Nuhai ia pinta, dan banyak lagi. Rasa aneh itu pun memuncak seiring suara tangis Nuhai siang itu. Boim curiga, jangan-jangan ia jatuh cinta pada Nuhai.

"Apa sebetulnya yang terjadi di kertas gambarnya?" Mengapa ia sampai begitu bersedih? Bukankah bu Vivi tidak sama sekali galak. Apa yang membuatnya sampai begitu rapuh?"

Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya bergema hanya dalam benak. Belum habis ia merenung, tiba-tiba suara tangis Nuhai berhenti. Kemudian Nuhai berdiri, tubuhnya menutupi meja guru yang semula terlihat oleh Boim. Nuhai keluar kelas, meninggalkan semua perlengkapan sekolahnya di meja.

Boim beranjak dari kursinya, hengkang  ke meja paling depan itu. Beberapa jenak, ia gerayangi meja itu sambil terus-terus membantin, " ada apa sebetulnya dengan sketsa lukisannya? Apa benar belum selesai? Padahal sebelum-sebelum ini ia cukup lihai membuat sketsa wajah tokoh nasional."

Setelah memburu sampai ke dalam kolong meja, Boim tidak juga temukan apa-apa. Jangan-jangan ada di dalam dalam ranselnya, pikir Boim.  

"Hei!"

Ilustrasi :Pixabay
Ilustrasi :Pixabay

Nuhai kembali. Rambutnya agak basah, bintik-bintik air masih tersisa di keningnya. Tangan Boim terhenti sebelum menyentuh ransel itu.

"Apa yang kamu lakukan!"

Boim kecut. Ia hampir tak kuasa berkata apa-apa. Tapi ia cukup cerdas mengatur emosi. Ia putuskan untuk menunjukan gurauan-gurauan seperti sedia kala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun