Boim sempat terkejut karena mendapatkan sesuatu yang tadi ia buru di kelas. Tanpa babibu, ia jemput kertas itu dari tangan Nuhai.
"Loh, mengapa gambarmu begini?"
Boim kebingungan, melihat gambar itu. Arsirannya mirip rambut yang begitu kasar. Garis-garisnya seperti digoreskan oleh jemari yang sedang gugup. Rambut tanpa wajah? Pikirnya.
"Memangnya kamu tidak punya foto ibumu? Buatku, sulit melukiskan wajah orang tanpa melihat  fotonya."
Nuhai seperti sengaja menunjukan wajah sedih. Sementara Boim belum juga mengerti apa yang terjadi pada Nuhai. Â
"Bukankah kita boleh menggambar sketsa ayah kita? Mungkin wajah ayahmu lebih simpel."
Rona sedih Nuhai sedikit lenyap. Boim memang begitu jago memancing tawa, walau ia sama sekali tak merencanakannya.
"Tapi itu hanya untuk Reni. Lagi pula ayahku berbeda." Â
Boim hanya berpura-pura lupa tentang ketentuan khusus dari bu Vivi untuk teman sekelasnya yang seorang piatu bernama Reni itu.
"Apa bedanya? ayahmu bisa terbang?"
Ada tawa yang tak berbunyi. Walau jelas sekali Boim melihat Nuhai tersenyum. Dan perasaan itu menular hingga ke pipi Boim yang jadi memuai.