Mohon tunggu...
DoNo Salim
DoNo Salim Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda yang hanya ingin membagi dunianya lewat sebuah tulisan-tulisan ringan yang menghibur dan menginspirasi semua orang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mahasiswa 1/2 Abadi (Bab 1, Part 2 : Mau Jadi Apa?)

14 April 2017   11:27 Diperbarui: 14 April 2017   21:00 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Don, besok kita berangkat ke Tangerang, ya!" kata Cik Gong, dengan nada sedikit panik setelah menutup telepon rumah yang diangkatnya.

"Hah?! Besok?! Kok mendadak banget sih," ujar gue bertanya dengan penuh rasa penasaran, sambil melompat dari atas kasur.

"Aku dapat kabar, kalau Emak tadi jatuh dari kamar dan sekarang dia dirawat di Rumah Sakit, kita harus ke sana." Jelasnya lagi, masih dengan nada sedikit panik.

Selama melanjutkan SMA di Surabaya gue memang tinggal di rumah Om gue, namanya Cik Gong. Sebenarnya, 'Cik' itu artinya adalah Om, entah bahasa dari mana. Sedangkan 'Gong' itu adalah singkatan dari nama Om gue. Bukan, nama Om gue bukan Dugong, tapi Agong. Di rumah ini, gue tinggal bersama Cik Gong, Kakak gue, lalu Mbok Yem, dan Pak Mo. Dua nama terakhir adalah 2 orang pekerja yang sudah membantu di rumah Om gue selama puluhan tahun. Bisa dibilang mereka adalah pekerja rumah tangga paling senior di komplek rumah. Semua orang di komplek rumah, kenal sama mereka berdua. Bahkan, mereka selalu masuk nominasi di komplek rumah, sebagai pembantu ter-lebih eksis dari majikan.

Dulu nenek gue atau sering dipanggil, Emak, tinggal di rumah Surabaya, sebelum akhirnya beberapa tahun terakhir dia diajak untuk tinggal di Karawaci, Tangerang bersama Cik Lam, adik kandung dari Cik Gong. Nama Cik Lam sendiri diambil berasalkan dari namanya, Alam.

Selain bersama Cik Gong, gue juga tinggal bersama Kakak gue, namanya Surya. Gue sama dia memiliki jarak usia beda 10 tahun. Secara tinggi badan, kita memang hampir sama, namun secara bentuk wajah kita jauh berbeda. Gue nurun dari Papa yang berwajah Tionghoa (baca: kalo bilang Cina, nanti katanya rasis) dan kakak gue nurun dari Mama yang Jawa tulen. Meskipun dia kakak kandung gue, tapi terkadang gue masih suka kesal sama dia. Gue masih ingat, dulu waktu SD saat pembagian rapot, gue pernah menjadi pusat perhatian sama anak-anak cewek sekelas. Apa karena gue lagi pamer keahlian, boker sambil kayang? Bukan, melainkan saat itu, gue ditemani oleh kakak buat ambil rapot, dan banyak yang bilang, "Dono, kakakmu kok ganteng sih? Kamu sering-sering aja bikin masalah di sekolah, biar kakakmu sering dipanggil ke sekolah juga. Hehehe..."

Setelah lulus SMA, kakak gue sempat kuliah di STIKOM Denpasar, Bali. Namun, karena ada berbagai alasan akhirnya kuliahnya tidak diselesaikan sampai tuntas. Setelah itu, dia juga sempat bekerja sekitar 3 tahun di Factory Outlet dari brand terkenal, Quick Silver. Belakangan, dia memang belum kembali bekerja alias nganggur, setelah beberapa bulan lalu dia baru pulang dari Australia. Bukan, dia bukan bekerja sebagai pengasuh bayi Kangguru di Australia kok, melainkan ia bekerja sebagai pencuci piring di kapal pesiar. Kata kakak gue, pekerjaan mencuci piring di Australia lebih dihargai dan dibayar mahal, sangat berbeda jauh dengan di Indonesia.

Kalau dipikir-pikir, seharusnya bayaran pencuci piring di Indonesia bisa lebih mahal daripada di luar negeri. Kenapa? Pertama, karena di Indonesia orang cuci piring secara manual, tidak menggunakan mesin seperti di luar negeri. Kedua, karena masakan orang Indonesia itu terkenal dengan makanan penuh lemak dan minyak. Contohnya rumah makan Padang, hampir semua makanannya itu penuh dengan lemak dan minyak menempel di piring, bukan? Tapi sangat disayangkan, bayaran pekerja pencuci piring di Indonesia masih sangat minim sekali. Padahal, gak bisa dibayangin, kalau para pencuci piring di seluruh rumah makan Padang ini mendadak mogok kerja karena gajinya kecil. Gue gak habis pikir, kalau bukan mereka yang cuci piring, terus siapa lagi? Gak mungkin kan, pembeli habis makan terus cuci piring sendiri? Lalu, gak mungkin juga kan, kalau misalkan kita makan, tapi gak pakai piring, alias makanannya langsung disebar di atas meja? Atau lebih seram lagi, ketika semua perlengkapan dapur bisa hidup, kayak di film Beauty and The Beast dan bilang, "Gosok aku dong, Mama Lemon! Sudah lama, gak pernah digosok niihh!"

Setelah keesokan harinya, gue, kakak gue, dan Cik Gong pun bersiap untuk berangkat ke Tangerang. Dengan alasan tidak mau repot, gue pun membawa pakaian seadanya saja. Rencananya kita akan berangkat pukul 7 malam dari Bandara Juanda, Surabaya. Menjelang persiapan keberangkatan, perasaan gue mendadak gak menentu. Di satu sisi, gue merasa senang, karena akhirnya bisa naik pesawat untuk pertama kalinya. Namun, di satu sisi, gue gak bisa menyembunyikan ketakutan gue, akan resiko yang akan terjadi nantinya. Gue gak bisa membayangkan, kalau pesawat yang gue tumpangi nanti akan terjatuh dengan berbagai alasan, seperti; terkena hujan badai, lalu tersambar petir, atau bahkan, tiba-tiba nabrak Superman yang lagi asyik ngupil di atas awan.

Tepat pukul 6 malam lewat 21 menit, kami pun tiba di Bandara Juanda, Surabaya. Amazing! Itulah yang pertama kali terlintas di benak gue, saat menginjakkan kaki di salah satu bandara Internasional ini. Entah, karena baru pertama kali ke Bandara atau memang karena bandara ini memang keren, sehingga membuat gue berdecak kagum. Apalagi, ditambah dengan ruang tunggu bandara yang begitu lapang dan luas. Saking noraknya, gue sampai balapan pake trolley sama pengunjung Bandara lainnya.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Kami pun langsung berjalan menuju ke sebuah lorong. Nampak dari jauh, pramugari cantik dengan pakaian bermotif batik menyambut kami di dekat pintu masuk pesawat. Sempat bingung karena baru pertama kali naik pesawat, gue pun masuk ke dalam dengan penuh rasa sotoy. Terbiasa naik metro mini, ketika ada di dalam pesawat, gue hampir saja berteriak, "BANG, JANGAN NGETEM LAMA-LAMA, YAK!"

Gue yang sudah sangat ngantuk, tanpa pikir panjang, langsung masuk dan mencari posisi ternyaman untuk tidur. Malam itu, suasana hening dan gue berusaha memejamkan mata sejenak, namun kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat yang diiringi dengan sebuah bisikan.

"Selamat malam Mas, maaf, sebelumnya, sekali lagi maaf, err~" terdengar suara pramugari sangat dekat di telinga gue.

"Iya, ada apa ya, Mbak?" tanya gue seadanya, masih dengan mata setengah terpejam.

"Mas, bisa tolong jangan tidur dulu, gak?" tanya pramugari lagi.

"Emangnya kenapa sih, Mbak? Salah kalau saya tidur?" ujar gue dengan nada agak kesal.

"IYA, SALAH! MAS, SALAH TIDUR!" Kata Mbak Pramugari teriak pake Toa Masjid, ketika membuka bagasi bagian atas pesawat dan membangunkan gue dari tidur singkat gue.

Setelah kurang lebih 1 ½ jam perjalanan, akhirnya sampailah kami di Ibu Kota, Jakarta. Sesampainya di Bandara, kami tidak bersinggah terlalu lama, melainkan kami langsung memesan taksi dan berbegas ke rumah Cik Lam. Sepanjang jalan, gue hanya bisa terpukau memandangi keindahan malam kota Jakarta.

"Baru pertama kali ke Jakarta ya, Mas?" ujar sopir Taksi menatap gue dari spion tengahnya.

"Iya Mas, baru pertama kali" jawab gue seadanya.

"Oalah, pantesan, hehe," kata sopir Taxi lagi, dengan ketawa yang agak tanggung.

"Emang kenapa?" tanya gue dengan penasaran.

"Boleh sih, baru datang ke Jakarta, tapi,..." ujar sopir Taksi terdiam sejenak,

"Tapi apa, Pak?" tanya gue lagi.

"Tapi kan, kepalanya gak usah keluar jendela gitu juga, Mas!!!" sambungnya lagi dengan nada kesal, sambil jedot-jedotin kepalanya ke setir mobil.

Gue hanya diam, sambil menikmati angin malam kota Jakarta dari luar jendela mobil. Berharap, badan gue bisa terbawa angin malam dan terbang mengelilingi kota Jakarta. Gue jadi membayangkan, andaikan gue bisa terbang dan punya sayap. Mungkin, gue akan mirip kayak Tinkerbell habis digigit Tomcat. Bengkak.

Sesampainya di rumah Om gue, Cik Lam, kami pun langsung disambut dengan hangat sekali. Baru sampai di depan rumahnya, gue melihat nampak sebuah plang bertuliskan; Toko Bintang Jaya. Ternyata, gue baru tahu, kalau Cik Lam juga memiliki usaha toko alat tulis di samping rumahnya. Malam itu, gue disambut oleh 4 orang yang berdiri tepat di depan toko tersebut. Mereka adalah Cik Lam, lalu ada istrinya, Tante Irul, kemudian ada anak mereka satu-satunya, Bryan, dan juga Mbak Sih, asisten rumah tangga di rumah mereka. Percakapan basa-basi pun sempat terjadi, sebelum akhirnya kami masuk ke kamar masing-masing untuk langsung beristirahat.

Esoknya, kami pun berencana pergi menjenguk Emak di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang. Namun, karena tidak ada yang menjaga toko, gue dan kakak gue pun dipaksa menjadi penjaga toko dadakan. Bermodal briefing kilat dari Tante Irul, kami pun bersedia menerima tawaran untuk menjaga toko siang itu. Meskipun baru pertama kali, tapi kami gak diwajibkan memakai pakaian putih-hitam ala karyawan baru di Indomaret. Intinya, hanya cukup melayani pembeli saja dan mendengarkan arahan dari Mbak Sih, karena ia yang akan menjadi mentor kami di sini.

Sambil berkeliling toko, gue pun berusaha untuk menghafal jenis dan harga barang yang dijual di toko ini. Selain menjual alat tulis, ternyata toko ini juga menjual pulsa, rokok, jajanan ringan, serta menerima print dan fotokopi-an. Beberapa jam menjaga toko, akhirnya ada juga pembeli pertama yang datang.

"Koh, saya mau beli bedak M.B.K dong, ada gak?" tanya seorang gadis bertubuh kurus, dengan mengenakan kaos merah bergambar stoberi.

"Bedak M.B.K? Kayanya ada sih, Mbak. Tapi gak usah panggil 'Koh' panggil aja, 'Mas', saya belum punya cucu kok," jawab gue berusaha menjelaskan.

"Tapi itu bedaknya bagus gak sih, Mas?" tanya gadis berbaju merah itu lagi.

"Bagus kok, ini tuh bagus banget, kalau pake bedak ini, muka Mbak bisa jadi mulus dan bersinar pokoknya deh!" jawab gue dengan penuh keyakinan, sambil menyodorkan bedak sachet berlogo bunga mawar merah itu ke arahnya.

"Ahh kacau nih, gak lucu bercandanya, Mas. Saya gak jadi beli deh,"

"Lho, kenapa Mbak? Saya salah apa?"

"Bodo! Pikir aja sendiri!"

Setelah kalimat percakapan terakhir, Mbak itu pergi melengos begitu saja meninggalkan gue dan rasa penasaran di benak gue, "Kenapa gue disuruh mikir sendiri?! Salah gue apa?! Padahal, dia kan gak tau, gue itu gak punya pikiran sama sekali!" Ya, kepala gue memang kopong, kalau dibedah, paling isinya cuma laba-laba lagi pada reunian sambil main congklak.

Merasa penasaran, gue pun mencoba searching di Google, mengenai bedak M.B.K tersebut. Setelah melihat-lihat, ternyata gue paham alasan Mbak tadi ngambek ke gue. Ternyata, bedak M.B.K itu bukan bedak muka, melainkan bedak untuk ketek basah. Dari kejadian tersebut, gue jadi paham betapa pentingnya pengetahuan tentang produk harus dimiliki oleh penjual dan pembeli. Andaikan, Mbak tadi gak paham dengan produk yang akan dibeli dan dia percaya dengan ucapan gue, kira-kira apa yang akan terjadi? Syukur-syukur sih, mukanya bisa putih seperti yang gue bilang. Atau justru sebaliknya, mukanya bisa ngeluarin aroma busuk, mirip bau ketek Undertaker habis ikut senam Aerobik.

Belajar dari kesalahan tersebut, gue pun mulai memperbaiki diri sebagai seorang penjaga toko yang baik. Ternyata, menjadi penjaga toko bukan hanya soal menghafal jenis dan harga produk, melainkan lebih ke seni menjalin hubungan dengan orang lain. Gue pun coba memperbaiki diri dari berbagai hal. Mulai dari merapihkan penampilan, lalu menggunakan bahasa yang sopan, serta terakhir, lebih rajin mandi dan ganti sempak.

Dalam beberapa minggu, menjaga toko telah menjadi rutinitas buat gue dan kakak gue. Awalnya sih, memang seru karena kita bisa bertemu dan berkenalan dengan orang baru setiap harinya. Namun, semakin lama, ternyata menjaga toko itu membosankan juga. Apalagi, ditambah dengan sikap-sikap aneh dan mengesalkan dari para pembeli. Seperti misalnya, ketika kami pernah digoda pembantu alay saat sedang menjaga toko. Sore itu, hanya ada gue dan kakak gue. Sedangkan yang lainnya masih di rumah sakit dan Mbak Sih sedang menjemput Bryan yang sedang les di dekat rumah.

"Koh, aku mau beli dong," ujar seorang Mbak-mbak dengan baju berwarna ijo, dengan mengenakan celana legging macan tutul.

"Jangan 'Koh', tapi 'Mas' aja. Mau beli apa, Mbak?" ucap gue agak kesal, karena selalu dipanggil seperti itu.

"Mau beli apa, ya? Aku juga gak tau nih, bingung," ucapnya sambil sesekali memaikan rambut panjangnya.

"Tadi sebelum ke sini, harusnya dicatat dulu apa yang mau dibeli, Mbak," kata kakak gue menyaut, sambil asyik bermain komputer.

"Beli apa, yak? Kalau aku beli kalian aja, gimana?" ujarnya lagi, sambil memainkan rambutnya kembali, namun kali semakin kencang.

"Maksudnya, Mbak?" tanya gue bingung.

"Iya, kalian berdua itu loh, Kakak-Adik kok bisa ganteng-ganteng semua sih? Aku jadi kangen sama anak ku di kampung. Kapan-kapan kita jalan, yuk! Nanti aku beliin kalian pulsa juga, loh!" ujarnya dengan penuh semangat, sambil menggebrak kaca etalase yang menyekat percakapan kami berdua.

Tiba-tiba, ketika gue melihat ke belakang, meja komputer nampak kosong. Sial, ternyata Kakak gue sudah menyelamatkan diri terlebih dulu. Gue pun panik, harus menghadapi Mbak-mbak berbaju ijo tersebut. Gue khawatir, dia akan melompat ke atas kaca etalase, lalu ia merobek bajunya, dan tiba-tiba mendekap gue dengan lengannya yang menggelambir itu, mirip Hulk yang lagi sange.

"Ayoo, mau ya! Nanti aku beliin pulsa juga loh~" ucapnya lagi masih berusaha membujuk gue.

"Nggak, makasih banyak. Di sini juga sudah jual pulsa kok, Mbak," jawab gue semakin panik.

"Ayolah, Mas! Aku sudah jauh-jauh datang ke sini, tolong hargain aku dong, Mas!" Ujarnya lagi semakin memaksa, dengan raut wajah agak kesal.

"Err~ Iya Mbak, tapi gini sih ....." Gue semakin bingung harus berkata apa. "Liat itu, Mbak! Liat di sana, ada Raffi Ahmad lagi telanjang dada di pinggiran trotoar!" kata gue sambil menunjuk ke arah seberang jalan, seketika Mbak-mbak berbaju ijo pun langsung mengalihkan pandangannya dari gue.

Tanpa pikir panjang, gue pun langsung menggunakan jurus melipat bumi dan menghilang ke tempat yang lebih aman.

"Mas, mana Raffi Ahmad? Kok gak ada sih, Mas?" ujarnya berteriak dari kejauhan.

"BODOOOO!!!" kata gue, sambil mengunci diri dalam kamar mandi.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya wanita menyeramkan itu pergi juga. Mungkin, dia sudah tertabrak gerobak tukang somay, saat lagi berusaha mencari Raffi Ahmad di seberang jalan. Entah, kebetulan atau memang membawa berkah, setelah kepergian wanita itu, tiba-tiba hujan deras turun mengguyur kota Tangerang di sore itu. Bingung harus melakukan apa saat hujan, kami pun memutuskan untuk menonton Youtube menggunakan komputer yang ada di toko. Pada masa ini, Raditya Dika sedang menjadi primadona di dunia Youtube dengan mini series komedinya, Malam Minggu Miko. Kami pun, tidak mau ketinggalan untuk menonton tayangan tersebut. Seri demi seri Malam Minggu Miko pun berlangsung, kami saling bergantian melemparkan gelak tawa saat menyaksikan aksi konyol dari Miko yang diperankan oleh Raditya Dika itu. Hingga sampai akhirnya, tiba-tiba terputar secara otomatis, sebuah film Indonesia yang belum pernah kami tonton sebelumnya. Film itu berjudul, Kambing Jantan.

Kambing Jantan? Awalnya gue mengira, kalau film ini bercerita tentang manusia serigala yang muncul di acara Aqiqah-an, gitu. Ternyata, gue salah. Setelah film itu dimulai, akhirnya gue baru mengetahui kalau Kambing Jantan adalah Film pertama dari Raditya Dika yang diangkat dari Novelnya sendiri dengan judul yang sama. Dari novel diangkat menjadi film? Keren! Itulah yang terlintas di benak gue, kala mengetahui hal tersebut. Kekaguman gue terhadap Raditya Dika semakin bertambah, setelah sebelumnya gue mulai mengangguminya lewat aksi Standup Comedy-nya yang sangat cerdas dan lucu banget.

Kami pun, langsung mulai menonton film Kambing Jantan dengan serius. Berbeda dengan Malam Minggu Miko, film ini tidak terlalu banyak menonjolkan unsur komedi di dalamnya. Bahkan, bisa dbilang film ini, lebih banyak sedihnya daripada lucunya. Secara garis besar sih, film ini menceritakan tentang pengalaman Raditya Dika saat menjalani pacaran jarak jauh dengan pacarnya. Raditya Dika di Australia, sedangkan pacarnya yang bernama, Kebo, masih setia menunggu di Indonesia. Setengah jam lebih kami menonton, gue melihat kejanggalan terjadi pada kakak gue. Dia hanya diam saja, menatap dengan pandangan kosong ke arah layar komputer.

"Kenapa?" tanya gue, sambil menepuk pundaknya pelan.

"Gapapa," kata kakak gue dengan singkat.

"Ini pasti soal Australia lagi, ya?" tanya gue, sambil mem-pause sejenak adegan yang sedang berputar di Youtube.

"Iya, semuanya hampir sama. Mulai dari alur, lokasi, bahkan sampai setiap detail kejadiannya."

Ternyata benar kata orang, bahwa setiap tempat itu akan selalu meninggalkan cerita dan cinta. Meskipun, kaki kita sudah tidak menapak di tempat tersebut, namun kenangannya akan selalu mengikuti sampai kapan dan dimana pun. Sama halnya seperti yang dialami oleh kakak gue. Mungkin, gue tidak tahu dan tidak mau tahu terlalu jauh, soal kehidupan pribadinya. Tapi setidaknya, dari kejadian hari ini, gue jadi tahu, kalau dia belum bisa sepenuhnya melupakan kenangannya di Australia.

Semua berawal dari saat dia masih di Bali, ketika itu, dia memiliki seorang pacar yang merupakan sesama karyawan di tempat kerjanya yang lama. Sampai akhirnya dia berangkat ke Australia, mereka pun harus menjalin hubungan jarak jauh atau lebih sering dikenal dengan LDR (Long Distance Relationship). Sempat bertahan selama setahun, setelah keberangkatannya ke Australia, namun akhirnya mereka harus merelakan hubungan mereka berakhir di tengah jalan. Padahal, hubungan mereka telah berjalan hampir 4 tahun lamanya. Sungguh disayangkan, namun tak bisa disalahkan juga, mungkin itu sudah keputusan terbaik untuk semuanya.

Bicara soal LDR, gue merupakan salah satu orang yang bisa dikatakan sedikit kontra dengan tipe pacaran seperti ini. Bagi gue, menjalin hubungan jarak jauh itu sama aja kayak, saat lagi lapar dan pingin makan Indomie, tapi kita cuma bisa nonton di Youtube. Semu. Awalnya sih, mungkin kita akan merasa terbiasa, melepas rindu melalui kabar. Namun lama-kelamaan, kabar saja tidak cukup, ketika rasa curiga sudah datang menghampiri sebuah hubungan. Menurut gue, ketika dalam hubungan jarak jauh sudah muncul rasa saling curiga, maka sulit untuk bisa saling percaya lagi. Kenapa? Bagi gue, cinta itu punya mata yang sering kita sebut dengan, mata hati. Terkadang, segala sesuatu itu harus terlihat, bukan hanya saja bisa dirasakan, namun tidak bisa dilihat dan digenggam. Kenapa begitu? Mungkin, seperti ini gambaran singkatnya.

Dikisahkan suatu hari Dona dan Doni, harus berpacaran jarak jauh, karena Doni baru saja diterima kerja di Arab Saudi, sebagai tukang gali sumur. Sedangkan, Dona masih setia di Indonesia, menjadi sales marketing dari keripik Maichi. Awalnya, hubungan mereka baik-baik saja, namun semakin lama hubungan mereka menjadi tidak sama seperti dulu lagi.

"Sayang, kamu beneran cinta gak sih sama aku?" ujar Dona, sambil melihat ke layar hape-nya.

"Iya sayang, aku beneran cinta kok sama kamu," balas Doni, juga dengan menatap ke layar hape-nya.

"Mana buktinya?" tanya Dona dengan wajah cemberut.

"Nih! Buktinya, aku nyempetin waktu video call-an sama kamu, padahal aku lagi boker loh," jawab Doni lagi, sambil mengarahkan kamera depannya ke arah bawah, seketika layar pun menjadi buram dan berembun.

"Bukan. Bukan itu! Aku mau ketemu sama kamu. Sekarang!" Nada Dona, mendadak meninggi dalam sekejap.

"Lho, kok dadakan banget sih? Aku gak bisa, kalau harus sekarang,"

"Kamu beneran, gak mau ketemu sama aku? Kamu udah punya pacar baru, ya?! Hah?!"

"Aku gak punya pacar, selain kamu. Aku masih setia sama kamu."

"Mana buktinya?"

"Kenapa sih kamu selalu nanya, 'mana buktinya' terus?"

"Iya, karena aku memang perlu bukti. Bukti nyata! Aku juga perlu sosok kamu di sini, aku mau liat kamu, mau peluk kamu, bukan cuma dengar suara kamu yang cuma bisa bikin kangen setiap hari."

"....." Doni hanya diam, sambil berusaha menguburkan dirinya sendiri di gurun pasir.

Sebenarnya, gak ada yang salah dalam hubungan Dona dan Doni, mereka masih saling mencintai dan mereka masih saling mempercayai satu sama lain. Namun, mana buktinya? Bukti nyata yang seharusnya dapat dilihat dan digenggam. Kini, semuanya sudah tak kasat mata lagi dalam hubungan mereka. Bahkan, hal-hal di luar logika sekalipun, seketika bisa muncul ketika rasa kangen itu datang. Ya, karena hubungan jarak jauh, bukan hanya saja menjauhkan raga dua sejoli, namun juga menjauhkan logika dua sejoli.

..........

Semenjak pulang dari Tangerang dan kembali lagi ke Surabaya, kini gue mempunyai hobi baru. Bukan, bukan hobi makan upil pake saos ABC, tapi hobi baru gue, yakni, menulis. Berawal dari keisengan membaca gue, saat membeli buku karya Raditya Dika yang berjudul Cinta Brontosaurus dan Manusia Setengah Salmon. Keisengan membaca gue tersebut, kemudian berlanjut menjadi sebuah rasa penasaran untuk menulis. Awalnya gue bingung, harus memulai dari mana. Sampai akhirnya, gue memulai semuanya dengan hal terkecil, yakni membeli notebook bekas berukuran 10 inch, Acer Aspire One Happy berwarna biru muda. Kesenangan luar biasa gue rasakan, karena ini kali pertama gue mempunyai notebook sendiri. Saking senangnya, notebook ini selalu gue jaga dan gue simpan di kulkas, biar gak lecet dan cepat busuk. Bagi gue, notebook / laptop merupakan hal wajib yang harus gue miliki, apabila ingin menjadi penulis. Sebenarnya, bisa menulis di kertas doang, tanpa memakai laptop, tapi gue minder dengan tulisan tangan gue. Terakhir, ada yang baca tulisan tangan gue, dia langsung pakai kacamata kuda karena matanya rusak. 

Setelah banyak membaca dan memiliki notebook sendiri, langkah selanjutnya yang gue lakukan adalah bergabung dengan komunitas di Facebook.  Bukan, gue bukan gabung ke komunitas pencinta waria montok, melainkan komunitas menulis. Beberapa komunitas sempat gue coba ikuti, hingga akhirnya gue menemukan sebuah grup yang sangat aktif dan banyak memberikan tips-tips kepenulisan. Nama grup tersebut yakni, Antologi Es Campur. Gue mengira, di komunitas ini, gue akan belajar caranya menyerut es batu hingga halus pake ketek, ternyata gue salah. Di sinilah, awal hobi gue menulis pertama kali tersalurkan. Mengingat, setiap minggunya grup ini selalu mengadakan lomba menulis cerita pendek dan untuk 20 penulis yang beruntung, maka tulisannya bisa diterbitkan menjadi sebuah buku. Kelihatannya seru sih, namun di awal perjalan gue menulis, ternyata semua gak semudah yang dibayangkan. Gue baru sadar, modal percaya diri dan semangat saja gak cukup buat jadi penulis. Ternyata, gue melupakan yang namanya, teknik menulis. Tulisan awal gue, benar-benar jelek banget. Sebuah kata yang seharusnya gue buat untuk bertanya, malah berubah menjadi kalimat pengakuan dengan nada membentak, hanya karena salah menggunakan tanda baca, seperti ini misalnya;

· Tulisan yang seharusnya: "Emang aku jelek? Iya? Aku jelek? Kenapa?"

· Tulisan versi pertama kali menulis: "Emang aku jelek! Iya! Aku jelek! Kenapa!"

Di titik itu, gue justru semakin semangat untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Semakin banyak membaca, secara gak langsung membuat gue jadi paham bagaimana teknik menulis yang baik dan benar. Hingga sampai akhirnya, gue semakin sering mengikuti kegiatan menulis di Antologi Es Campur dan tulisan gue berhasil lolos dan dibukukan dengan karya penulis lainnya. Kebahagiaan gue, semakin terasa lengkap, setelah gue bisa melihat nama gue, Dono Salim, terpampang nyata dalam sebuah buku. Keren!

Selain aktif di grup Antologi Es Campur tersebut, gue juga mencoba untuk melebarkan sayap dengan membuat blog pribadi. Berawal sebuah dari keisengan, akhirnya lahirlah sebuah blog yang gue beri nama, bukan-donowarkop.blogspot.com. Kenapa namanya harus, [Bukan] Dono Warkop? Jawabannya sebenarnya simpel, karena gue memang bukan Dono Warkop, tapi gue adalah Dono Salim. Just kidding. Sebenarnya, filosofi dibalik nama blog itu, karena gue berharap kelak ingin menjadi sosok ikon komedian seperti Dono Warkop. Namun, gue tidak ingin dikenal karena memiliki nama yang sama dengan sosoknya, tapi gue ingin dikenal, karena gue bisa menciptakan karya komedi yang orisinil dan tulus dari dalam hati.

Malam itu, gue tengah asyik menulis, sambil menonton YKS (Yuk Keep Smile) di Trans TV. Sebuah program komedi yang sedang menjadi fenomena. Dalam program tersebut, nampak seorang berpakaian romawi dengan wajah konyol yang selalu tersenyum lebar, bernama Caesar, berjoget dengan begitu ceria, diikuti dengan para penonton, crew, dan talent yang tidak kalah semangat. Sadar memiliki deadline menulis, gue pun kembali ke layar notebook dan berusaha mengabaikan suara TV. Sampai akhirnya, fokus gue kembali terpecah, setelah gue mendengar suara Cik Gong yang baru pulang dari kantor.

"Don, kamu iku loh, tiap hari kok main laptop terus kerjaannya. Gak pegel, ta?" Tanya Cik Gong, sambil menghampiri gue yang tengah asyik menulis.

"Gak lah, kan mau jadi penulis terkenal, hehe," jawab gue nada sedikit bercanda.

"Halah, kamu iku loh, cita-cita kok jadi penulis. Memang kalau nulis, bisa buat jamin masa depanmu?" ujar Cik Gong meragukan.

"Bisa kok. Bisa banget malah." Jawab gue dengan penuh keyakinan.

"Yowes, kalau kamu yakin, ya lanjutin. Aku gak bisa ngelarang, soale iku kan masa depanmu. Tapi, aku mau nanya sebelumnya,"

"Nanya soal apa?"

"Kamu beneran gak mau kuliah? Wes hampir setahun loh kamu nganggur, Don."

"....." gue hanya diam termenung, sambil berusaha bunuh diri, dengan nelen remote TV tanpa minum.

Kuliah? Sama sekali gak pernah terlintas di pikiran gue, untuk melanjutkan kuliah sebenarnya. Namun, gue juga gak mau munafik, kalau gue juga ingin sukses kelak dan gak mau jadi gembel yang luntang-lantung, terus tidur seadanya di dalam kaleng Khong Guan bekas peyek kacang.

Kata orang, kuliah itu berbeda dengan saat SMA / SMK dulu. Kuliah itu lebih nyantai dan gak ribet, itulah kalimat yang sering gue dengar dari teman-teman yang sekarang sudah kuliah. Bahkan, ada yang bilang juga, kuliah itu bebas, mau pakai kemeja boleh, pakai kaos boleh, bahkan mau kompakan pakai seragam JKT 48 juga boleh. Berbekal kalimat-kalimat itu, perlahan keyakinan gue mulai goyah. Hingga terlintas sebuah pemikiran, seperti ini, "Kayaknya gue memang harus kuliah, deh. Biar bisa jadi orang sukses, punya wawasan yang luas, dan punya banyak istri muda."

Dengan penuh semangat, gue pun langsung mencari di internet, sebuah jurusan kuliah yang gue inginkan. Berbekal searching dengan kata kunci, "Jurusan Kuliah Yang Gak Pake Itung-Itungan dan Dosennya Cakep," akhirnya munculah beberapa jurusan, seperti ; Pariwisata, Hubungan Internasional, Ilmu Sosial Politik, dan Ilmu Komunikasi. Gue tertarik, ketika mendengar nama jurusan terakhir, yakni Ilmu Komunikasi. Saat pertama kali mendengar jurusan tersebut, gue mengira kerjanya cuma memberikan pengumuman kayak Mbak-Mbak bagian informasi di Mall, yang biasanya berkata seperti ini, "Diberitahukan kepada Bapak Doni, untuk segera memindahkan mobilnya segera, karena mobil Bapak telah menghalangi tangga Eskalator kami. Terima kasih."

Ternyata gue salah, Ilmu Komunikasi ternyata tidak sesimpel itu. Setelah searching beberapa lama, akhirnya gue mengetahui kalau prospek kerja lulusan komunikasi itu bisa menjadi ; penyiar, kameraman, reporter, wartawan, MC, public relations, juru bicara, penulis berita, copy writer, dan masih banyak lagi. Secara garis besar sih, jurusan ini lebih banyak belajar mengenai 2 hal saja, yakni berbicara dan menulis. Dari saat SMA, gue memang sangat senang kalau disuruh ngomong di depan kelas, ditambah sekarang gue sangat menikmati hobi baru gue sebagai penulis. Gue rasa, gue gak perlu waktu lama untuk bimbang mengenai jurusan, karena gue sudah menemukan apa yang gue inginkan. Selain itu, gue juga sudah mengetahui, di mana gue harus melanjutkan kuliah. Semoga, pilihan gue tepat dan terbaik buat semuanya.

"Cik Gong, aku wes tahu, habis ini mau lanjut kuliah apa dan dimana," kata gue dengan penuh semangat, menghampiri Cik Gong yang sedang asyik mendengarkan suara burung peliharaannya di halaman belakang.

"Emang kamu mau kuliah apa?" tanya Cik Gong dengan seadanya, sambil menatap ke arah kandang burung yang ada di atasnya.

"Aku mau kuliah di Jakarta dan ambil jurusan Ilmu Komunikasi," jawab gue lagi, masih dengan penuh rasa semangat.

"Opo iku Ilmu Komunikasi?" tanya Cik Gong lagi, sambil memasang raut wajah bingung.

"Itu loh, kuliah yang nanti kalau lulus, bisa kerja di Stasiun TV atau Radio, gitu,"

"Hmm, gimana yak, aku bingung mau ngomongnya,"

"Bingung kenapa Cik Gong?"

"Gini loh, sebenarnya aku gak masalah kamu mau kuliah apa aja. Toh kamu sudah gede dan bisa nentuin pilihanmu sendiri, tapi masalahnya ada di sodara mu yang di Jakarta,"

"Emang kenapa?"

"Mereka pasti gak akan setuju, Don. Karena, mereka dari awal pingin kamu itu lanjut kuliah, tapi ambil jurusan Akuntansi atau Manajemen."

Ibarat lagi pedekate sama cewek dan sudah dekat banget, tapi pas mau nembak, eh dia mendadak bilang, “Maaf ya, aku gabisa, aku mau fokus sekolah dulu.” Itu namanya, kampret! Seperti itulah, kekesalan gue saat harus disuruh memilih jurusan yang gak gue inginkan. Jujur gue merasa kecewa dan merasa ini gak adil buat gue. Mungkin terkesan egois, tapi gue juga punya hak, untuk bermimpi dan memilih jalan hidup gue sendiri. Bisa saja, gue turuti semua keinginan keluarga gue, tapi maaf, gue belum siap untuk menjadi Zombie. Ya, gue belum siap, kalau harus hidup dalam iming-iming gaji besar, namun semua harus gue jalani dengan perasaan kosong dan tanpa ada hati. Kenapa? Karena, gue sangat percaya, segala sesuatu yang dijalankan dengan setengah hati, pasti hasilnya akan setengah hati pula.

Melihat gue yang sangat keukeh dengan pendirian gue, Cik Gong pun akhirnya luluh juga. Kini, dia sangat mendukung gue sepenuhnya untuk melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Bahkan, dia juga bersedia buat bantu ngomong ke sodara gue yang ada di Jakarta, mengenai keinginan gue tersebut.

"Aku heran, kenapa kamu keukeh banget sih, pingin ambil jurusan itu?" tanya Cik Gong lagi.

"Kenapa, ya? Gak tau kenapa, tapi aku yakin aja bakal sukses, kalau ambil jurusan itu, apalagi kalo kuliah di Jakarta, gitu," jawab gue dengan polosnya.

"Oalah, baguslah kalau kamu udah mikir sampai ke situ,"

"Oiya, sama satu lagi. Cik Gong gak usah khawatir, aku berani tanggung jawab kok sama keputusan ku ini. Maksudnya, aku janji, pulang ke Surabaya nanti, aku sudah jadi orang sukses dan masuk TV, hehe."

Percakapan sore itu, diakhiri dengan sangat hangat sekali. Gue semakin senang, karena pada saat yang sama Cik Gong langsung menelpon sodara yang ada di Jakarta, dan meminta izin agar gue diizinkan kuliah di Jakarta untuk mengambil jurusan Ilmu Komunikasi. Tak perlu waktu lama, gue pun akhirnya mendapatkan izin tersebut. Semudah itukah? Awalnya, gue mengira mereka gak akan mengizinkan dan memaksa gue untuk kuliah akuntasi atau bahkan, kuliah tata rias. Tapi ternyata, gue salah. Meskipun, sempat ditentang di awal, akhirnya kini mereka luluh juga dan mendukung semua keputusan gue.

Tanpa pikir panjang, gue langsung mencari Universitas yang gue inginkan. Setelah mempertimbangkan dengan matang-matang, akhirnya pilihan gue jatuh kepada Universtas Budi Luhur, Jakarta. Di kampus itu, gue mengambil jenjang S1 (Strata 1) jurusan Ilmu Komunikasi, dengan konsentrasi studi Broadcast Journalism, mesikpun ada konsentrasi lainnya, seperti ; Public Relations, Design Communication Visual, dan Advertising. Dengan harapan, nantinya gue bisa masuk TV dan Joget Oplosan bareng sama Caesar dan Soimah.

Kuliah? Gue sudah membayangkan, akan ada banyak sekali hal menarik dan seru yang akan terjadi ke depannya. Setidaknya, gue gak akan mimisan lagi, karena gak akan nemuin angka dan hitung-hitungan di kuliah. Intinya, gue merasa sangat bersyukur, karena bisa dikasih kesempatan untuk kuliah, walaupun agak sedikit telat sih. Setidaknya, kini gue sudah tidak galau lagi dan tahu harus menjawab 'apa' ketika ditanya, "Kamu mau jadi apa?"

**BAB I sudah selesai, ya! Tunggu kelanjutan cerita dari "Mahasiswa 1/2 Abadi" hanya di Kompasiana :)

Follow gue di Instagram, Twitter, & Wattpad juga -> @dono_salimz (^_^)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun