Dalam Perspektif Psikologi
Manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa. Jiwa merupakan hal yang esensisal dari diri manusia dan kemanusiaannya. Dengan jiwa inilah, manusia dapat berkehendak, berpikir, dan berkemauan.
Manusia sebagai Mahluk Berpikir
Manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale. Kesadaran adalah landasan untuk nalar atau berpikir. Apa yang dipikirkan oleh manusia? Manusia memikirkan segala sesuatu, baik yang dapat diindera maupun yang tidak dapat diindera. Segala sesuatu yang dapat diindera manusia disebut pengalaman atau experience, sedangkan segala sesuatu yang tak dapat diindera oleh manusi disebut dunia metafisika (meta = beyond, metafisika = beyond experience. Berpikir tentang experience disebut berpikir empirikal, dan berpikir tentang dunia metafisika disebut berpikir transcendental.
Berpikir adalah olah otak untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian, berpikir mestinya menghasilkan tahu tentang sesuatu, yang jika diakui secara umum menjadi pengetahuan. Proses mengetahui sesuatu itu membutuhkan waktu berpikir, prosesnya dapat berlangsung cepat atau lambat tergantung pada kerumitannya. Lazimnya, cara berpikir untuk mengetahui sesuatu itu adalah dengan mengurai atau merangkai sesuatu yang menghasilkan pengertian dan pengetahuan baru. Kegiatan mengurai atau merangkai sesuatu dalam proses berpikir adalah dua hal yang saling berkaitan
Otak manusia terdiri dari 2 belahan, kiri (left hemisphere) dan kanan (right hemisphere) yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpuss callosum. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti membaca, bahasa dan berhitung. Sedangkan belahan otak kanan berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi, tugas, dan respons berbeda dan harus tumbuh dalam keseimbangan.
Dalam proses menuangkan pikiran, manusia berusaha mengatur segala fakta dan hasil pemikiran dengan cara sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan dari awal, dengan harapan bahwa akan lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi di kemudian hari. Sayangnya, sistem pendidikan modern memiliki kecenderungan untuk memilih keterampilan-keterampilan "otak kiri" yaitu matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan dari pada seni, musik, dan pengajaran keterampilan berpikir, terutama keterampilan berpikir secara kreatif.
Apa yang dipikirkan manusia terpusat pada diri sendiri: asal mulanya, keberadaan, dan tujuan akhir hidupnya. Pengenalan manusia terhadap segala sesuatu di diawali secara represif: makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain. Selanjutnya dikenal pula orang tua, saudara, dan orang lain dalam hubungan yang semakin jauh. Berkat perkembangan alam pikiran dan kesadarannya, manusia mulai mengenal makna masing-masing secara kritis. Kemudian kedudukan, fungsi dan keterkaitan antara satu dengan yang lain, yang membuat esensi dan eksistensi setiap hal menjadi semakin jelas. Pengenalan manusia kemudian berkembang menjadi semakin kreatif. Kreativitas ini memungkinkan manusia membuat makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain, dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitamya, termasuk juga menciptakan grup-grup sosial yang baru.
Selanjutnya dengan pemikirannya yang kritis dan kreatif manusia memikirkan dirinya sendiri, yaitu hakikatnya sebagai manusia. Hakikat manusia adalah makhluk Tuhan yang eksis dalam diri-pribadinya yang otonom, berjiwa-raga, dan berada dalam sifat hakikatnya sebagai makhluk individu yang memasyarakat). Pemaharnan tentang hakikat pribadi ini membuat manusia sadar akan adanya berbagai persoalan hidup yang justru bersumber dari kebutuhan dan kepentingan yang dituntut pemenuhannya bagi setiap unsur hakikat pribadinya itu. Kemudian ia sadar akan perlunya pemecahan segala masalah tersebut demi tercapainya tujuan hidupnya. Untuk itulah manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas pemikirannya, dari yang mists-religius menuju ke ontologis-kefilsafatan, sampai akhirnya pada taraf yang paling konkret-fungsional.
Pemikiran yang mistis-religius (resepif) adalah menerima segala sesuatu sebagai kodrat Tuhan, di mana manusia tidak mungkin dan tidak perlu mengubahnya. Pemikiran yang konkret-fungsional bermakna bahwa dalam pemikiran itu terkandung suatu terobosan baru, yaitu adanya kreativitas penciptaan teknologi yang sedemikian rupa sehingga orang tidak harus mengikuti hukum alam, melainkan justru bagaimana hukum alam itu bisa dilampaui.
Pemikiran yang teknologis-fungsional sudah berkembang sampai ke taraf sosial budaya. Jalinan hubungan dengan sesama manusia telah berubah menjadi praktis, pragmatis, dan serba terbatas menurut tingkat keperluan minimal dengan ukuran utama kegunaan bagi diri pribadi.Â