Islam wasathiyah---sering diterjemahkan sebagai "Islam yang tengah/moderat"---bukan sekadar retorika etik yang menyuguhkan citra lembut di panggung publik. Bagi Persyarikatan Muhammadiyah, Islam wasathiyah adalah kerangka epistemologis dan etis yang menuntut keseimbangan antara iman, akal, dan tanggung jawab sosial-politik. Dalam konteks dunia yang didominasi relasi kuasa asimetris antara pusat dan periferi, gagasan ini harus dibaca ulang sebagai alat membongkar dan melawan neokolonialisme --- yaitu praktik penguasaan baru yang menggunakan modal finansial, utang, penetrasi budaya, teknologi, dan kondisi ketergantungan struktural untuk mempertahankan dominasi.Â
Bila wasathiyah dipahami hanya sebagai sikap pribadi yang "toleran" dan "tengah", maka ia telah dilucuti dari kemampuan sosial politisnya. Sebaliknya, bila dimaknai sebagai imperatif keadilan---menuntut perlawanan terhadap bentuk-bentuk penjajahan baru---maka wasathiyah menjadi sumber legitimasi moral dan strategi praktis dalam menghadapi neokolonialisme era digital dan finansial.
1. Neokolonialisme hari ini: wajahnya bukan lagi panji militer --- melainkan utang, data, dan kultur konsumer
Neokolonialisme tidak selalu datang dengan bendera asing yang berkibar. Ia sering hadir dalam bentuk utang luar negeri yang mengikat kebijakan fiskal, investasi ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya tanpa pemberdayaan lokal, ketergantungan teknologi asing (platform digital, cloud, AI), dan hegemoni budaya melalui media global. Di Indonesia, dinamika ekonomi terbaru menunjukkan betapa rapuhnya kedaulatan kebijakan terhadap tekanan eksternal dan kepentingan modal.
Contoh konkret: sepanjang 2024--2025 Indonesia mengalami tekanan eksternal yang membuat pemerintah melakukan intervensi likuiditas besar-besaran ke perbankan negara, dengan transfer triliunan rupiah untuk merangsang kredit dan menstabilkan ekonomi --- langkah yang menunjukkan betapa rentannya ruang kebijakan domestik terhadap dinamika pasar dan kebutuhan finansial yang cepat berubah. Pemerintah juga tengah menjajaki penerbitan obligasi dalam mata uang asing untuk menutup defisit, sebuah pilihan yang menimbulkan pertanyaan tentang ketergantungan pembiayaan luar negeri dalam jangka menengah.Â
Secara makro, pertumbuhan PDB Indonesia pada 2025 menunjukkan perbaikan (Q2--2025 tercatat +5,12% yoy), namun tantangannya tetap berat: angka kemiskinan yang masih signifikan (sekitar 8--8,5% pada awal--pertengahan 2025), serta posisi utang eksternal yang tetap besar---fenomena yang membuat ruang fiskal untuk pembangunan pro-rakyat menjadi sempit. Data BPS dan Bank Indonesia menegaskan bahwa perbaikan pertumbuhan belum otomatis menerjemahkan ke pengurangan kerentanan struktural.Â
Kesimpulan: neokolonialisme modern menempuh jalan "finansialisasi" dan "digitalisasi" --- dua jalur yang menjerat negara berkembang ke dalam hubungan subordinasi yang lebih halus namun produktif bagi aktor-aktor inti global.
2. Wasathiyah sebagai tuntutan keadilan: teks agama dan etika politik
Islam menawarkan landasan kuat untuk kritik struktural. Al-Qur'an menempatkan prinsip keadilan sebagai instruksi normatif: "Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebagai saksi karena Allah dalam hal keadilan..." (QS. Al-M'idah: 8). Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa iman menuntut posisi sebagai pembela keadilan, bahkan jika harus menentang kepentingan sendiri atau kelompok.Â
Nabi Muhammad juga menegaskan dimensi etis ketaatan: " " --- "Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika itu menjerumuskan pada durhaka kepada Pencipta" (dirujuk dalam beberapa sumber hadits shahih). Ajaran ini menempatkan otoritas moral di atas otoritas politik yang menindas---sebuah landasan legitimasi kuat bagi Muslim untuk menolak kebijakan atau praktik yang mengekalkan ketidakadilan sistemik.Â
Dari sini, wasathiyah bukan hanya tata perilaku interpersonal; ia adalah tuntutan kolektif untuk menegakkan keadilan ekonomi dan politik. Dalam istilah kontemporer: wasathiyah menegaskan hak kedaulatan politik terhadap kebijakan ekonomi --- termasuk hak untuk menolak model akuntansi pembangunan yang membuat rakyat sebagai alat akumulasi modal asing.
3. Muhammadiyah: wasathiyah sebagai gerakan berkemajuan --- bukan apologi status quo
Muhammadiyah secara eksplisit merumuskan wasathiyah sebagai identitas gerakan yang progresif: berorientasi pada pendidikan, rasionalitas, dan kemaslahatan umat. Situs resmi Muhammadiyah menjelaskan wasathiyah sebagai sikap adil dan proporsional, tidak berpihak pada ekstrimisme, sekaligus aktif dalam kehidupan publik untuk kemanfaatan bersama. Pernyataan pimpinan Muhammadiyah menegaskan bahwa agama mesti menjawab persoalan sosial-politik kontemporer, bukan mundur ke privatitas religius semata.Â
Dengan kata lain: Muhammadiyah menempatkan wasathiyah sebagai basis moral untuk terlibat dalam advokasi kebijakan yang membela kepentingan rakyat---mis. dalam isu pendidikan, kesehatan, dan ketahanan ekonomi. Ketika wasathiyah hanya dikonsumsi sebagai label "moderat" yang menenangkan elite, maka ia kehilangan kapasitas transformasionalnya.
4. Tautan tegas antara wasathiyah dan perlawanan terhadap praktik ekonomi neokolonialisme
Bagaimana wasathiyah diterjemahkan ke dalam kebijakan anti-neokolonial? Berikut beberapa garis besar praktis yang berangkat dari prinsip-prinsip Islam keadilan:
1. Kedaulatan fiskal dan transparansi utang. Negara harus memprioritaskan pembiayaan domestik yang progresif (mis. pajak adil, penguatan perpajakan korporasi besar) dan menghindari ketergantungan berlebih pada instrumen utang yang melemahkan kebijakan publik. Data terbaru tentang besarnya utang eksternal Indonesia menuntut evaluasi kebijakan pembiayaan---apakah utang itu membiayai investasi produktif atau sekadar menutup defisit konsumtif?Â
2. Regulasi platform digital dan kedaulatan data. Ketergantungan pada infrastruktur dan layanan asing (cloud, algoritma ad-systems) menjadikan data warga komoditas bagi korporasi luar negeri. Prinsip maslahah (kemaslahatan umum) memerintahkan kebijakan yang melindungi data publik dan memastikan manfaat ekonomi digital dinikmati domestik.
3. Penguatan ekonomi rakyat dan ekonomi syariah produktif. Implementasi kebijakan yang menyokong koperasi, UMKM berbasis keadilan, dan keuangan syariah produktif dapat mengurangi kebocoran surplus dan memperkuat ketahanan lokal---jalan yang selaras dengan semangat wasathiyah untuk keseimbangan dan keadilan.
4. Advokasi budaya dan pendidikan kritis. De-kolonisasi pikiran bukan hanya urusan ekonomi; ia menuntut pendidikan kritis yang membongkar narasi inferioritas budaya dan mengganti ketergantungan konsumtif dengan kemandirian pengetahuan.
5. Suara Muhammadiyah dan para pemikir progresif: legitimasi moral untuk perubahan
Kepemimpinan Muhammadiyah kerap menekankan pentingnya integritas, demokrasi, dan tanggung jawab sosial. Pesan-pesan Kyai Haedar Nashir dan pernyataan resmi organisasi menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak menarik diri dari kehidupan publik, tetapi mengambil peran sebagai aktor pembaharuan sosial yang berpegang pada etika dan scientific reasoning. Pernyataan ini memberi legitimasi organisasi berbasis Islam untuk berintervensi terhadap kebijakan ekonomi yang merugikan rakyat.Â
Di ranah sejarah politik Indonesia, tokoh-tokoh revolusioner seperti Bung Karno atau Tan Malaka memberi warisan retorika anti-kolonial yang masih relevan: Bung Karno berkali-kali memperingatkan agar bangsa tidak melupakan sejarah penjajahan dan tidak mengganti penjajah lama dengan penjajahan bentuk baru; Tan Malaka menekankan pentingnya kemandirian ideologis dan ekonomi sebagai prasyarat kebebasan sejati. Kutipan singkat mereka (yang familer di ruang publik) menegaskan urgensi strategi emansipatoris yang bersifat struktural.Â
6. Kritik: mengapa umat dan organisasi Islam kadang gagal menjadi motor anti-neokolonial?
Ada beberapa alasan rasional mengapa potensi ini belum direalisasikan penuh:
Reduksi wasathiyah menjadi retorika moderasi agama: banyak aktor publik menjadikan wasathiyah sebagai label untuk meredam kritik---sehingga transformasi struktural diabaikan.
Kelemahan kapasitas institusional untuk advokasi ekonomi: organisasi keagamaan unggul di layanan sosial (sekolah, rumah sakit) tetapi sering kurang kekuatan analitis kebijakan makro.
Persekongkolan elit lokal dengan modal asing: aktor oligarkis domestik yang berkepentingan mempertahankan akses terhadap modal dan pasar internasional sering menghalangi kebijakan redistributif.
7. Rekomendasi strategis: dari etika ke politik ekonomi
1. Rumuskan doktrin Islam wasathiyah kepada publik secara jelas: bukan sekadar "toleransi" tetapi peta tindakan kebijakan pro-keadilan. Muhammadiyah dan organisasi serupa bisa menerbitkan policy paper yang menghubungkan prinsip keadilan Qur'ani dengan kebijakan utang, pajak, dan ekonomi digital.Â
2. Audit utang publik dan indeks ketergantungan teknologi: pemerintah dan DPR harus mengumumkan audit publik terkait ketentuan utang yang mengikat kedaulatan serta peta ketergantungan pada infrastruktur teknologi asing. Data BI dan DPR menunjukkan urgensi transparansi ini.Â
3. Perkuat kapasitas advokasi ekonomi organisasi keagamaan: kampus-kampus, lembaga penelitian Muhammadiyah, dan jaringan ormas ormas islam harus menghasilkan kajian ekonomi alternatif, termasuk model pembiayaan berbasis wakaf produktif, koperasi skala besar, dan ekosistem UMKM yang terintegrasi.
4. Lindungi kedaulatan data dan ekonomi digital lokal: regulasi yang menuntut porsi lokalisasi data, pajak kepada platform asing, dan insentif bagi penyedia layanan digital domestik.
5. Jalin solidaritas global Selatan: negara-negara Global Selatan harus berbagi pengalaman untuk menghadapi model utang-puasa, utang-tenggat, dan dominasi platform --- suatu bentuk diplomasi ekonomi "wasathiyah" yang kolektif.
Penutup: wasathiyah bukan pijakan pasif --- ia panggilan untuk berani
Islam wasathiyah, bila dihidupkan sebagai etika keadilan yang pro-aktif, berpotensi menjadi sumber kekuatan moral dan konseptual untuk melawan neokolonialisme modern. Ini bukan soal menolak perkembangan teknologi atau globalisasi, tetapi tentang menegakkan aturan main yang adil: who sets the rules, who benefits, dan siapa yang menanggung biaya. Prinsip-prinsip Qur'ani tentang keadilan dan hadits yang menempatkan ketaatan kepada Allah di atas ketaatan pada manusia memberi legitimasi teologis untuk menolak praktik-praktik yang merugikan rakyat.Â
Akhirnya, jika Muhammadiyah---bersama organisasi masyarakat sipil, intelektual progresif, dan gerakan rakyat---berani membaca wasathiyah secara penuh (bukan hanya moderasi simbolik), maka gagasan ini bisa menjadi sumbu moral dan strategis untuk menghadirkan kedaulatan ekonomi, otonomi teknologi, dan keadilan sosial---lawan nyata bagi segala bentuk neokolonialisme yang merendahkan martabat bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI