Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Islam Wasathiyah: Falsafah Keseimbangan yang Menuntut Perlawanan terhadap Neokolonialisme Digital dan Ekonomi

15 Oktober 2025   15:21 Diperbarui: 15 Oktober 2025   15:21 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islam wasathiyah---sering diterjemahkan sebagai "Islam yang tengah/moderat"---bukan sekadar retorika etik yang menyuguhkan citra lembut di panggung publik. Bagi Persyarikatan Muhammadiyah, Islam wasathiyah adalah kerangka epistemologis dan etis yang menuntut keseimbangan antara iman, akal, dan tanggung jawab sosial-politik. Dalam konteks dunia yang didominasi relasi kuasa asimetris antara pusat dan periferi, gagasan ini harus dibaca ulang sebagai alat membongkar dan melawan neokolonialisme --- yaitu praktik penguasaan baru yang menggunakan modal finansial, utang, penetrasi budaya, teknologi, dan kondisi ketergantungan struktural untuk mempertahankan dominasi. 

Bila wasathiyah dipahami hanya sebagai sikap pribadi yang "toleran" dan "tengah", maka ia telah dilucuti dari kemampuan sosial politisnya. Sebaliknya, bila dimaknai sebagai imperatif keadilan---menuntut perlawanan terhadap bentuk-bentuk penjajahan baru---maka wasathiyah menjadi sumber legitimasi moral dan strategi praktis dalam menghadapi neokolonialisme era digital dan finansial.

1. Neokolonialisme hari ini: wajahnya bukan lagi panji militer --- melainkan utang, data, dan kultur konsumer

Neokolonialisme tidak selalu datang dengan bendera asing yang berkibar. Ia sering hadir dalam bentuk utang luar negeri yang mengikat kebijakan fiskal, investasi ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya tanpa pemberdayaan lokal, ketergantungan teknologi asing (platform digital, cloud, AI), dan hegemoni budaya melalui media global. Di Indonesia, dinamika ekonomi terbaru menunjukkan betapa rapuhnya kedaulatan kebijakan terhadap tekanan eksternal dan kepentingan modal.

Contoh konkret: sepanjang 2024--2025 Indonesia mengalami tekanan eksternal yang membuat pemerintah melakukan intervensi likuiditas besar-besaran ke perbankan negara, dengan transfer triliunan rupiah untuk merangsang kredit dan menstabilkan ekonomi --- langkah yang menunjukkan betapa rentannya ruang kebijakan domestik terhadap dinamika pasar dan kebutuhan finansial yang cepat berubah. Pemerintah juga tengah menjajaki penerbitan obligasi dalam mata uang asing untuk menutup defisit, sebuah pilihan yang menimbulkan pertanyaan tentang ketergantungan pembiayaan luar negeri dalam jangka menengah. 

Secara makro, pertumbuhan PDB Indonesia pada 2025 menunjukkan perbaikan (Q2--2025 tercatat +5,12% yoy), namun tantangannya tetap berat: angka kemiskinan yang masih signifikan (sekitar 8--8,5% pada awal--pertengahan 2025), serta posisi utang eksternal yang tetap besar---fenomena yang membuat ruang fiskal untuk pembangunan pro-rakyat menjadi sempit. Data BPS dan Bank Indonesia menegaskan bahwa perbaikan pertumbuhan belum otomatis menerjemahkan ke pengurangan kerentanan struktural. 

Kesimpulan: neokolonialisme modern menempuh jalan "finansialisasi" dan "digitalisasi" --- dua jalur yang menjerat negara berkembang ke dalam hubungan subordinasi yang lebih halus namun produktif bagi aktor-aktor inti global.

2. Wasathiyah sebagai tuntutan keadilan: teks agama dan etika politik

Islam menawarkan landasan kuat untuk kritik struktural. Al-Qur'an menempatkan prinsip keadilan sebagai instruksi normatif: "Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebagai saksi karena Allah dalam hal keadilan..." (QS. Al-M'idah: 8). Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa iman menuntut posisi sebagai pembela keadilan, bahkan jika harus menentang kepentingan sendiri atau kelompok. 

Nabi Muhammad juga menegaskan dimensi etis ketaatan: " " --- "Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika itu menjerumuskan pada durhaka kepada Pencipta" (dirujuk dalam beberapa sumber hadits shahih). Ajaran ini menempatkan otoritas moral di atas otoritas politik yang menindas---sebuah landasan legitimasi kuat bagi Muslim untuk menolak kebijakan atau praktik yang mengekalkan ketidakadilan sistemik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun