6. TAP yang Menutup Akses Arsip dan Menghalangi Rekonsiliasi HAM (ketetapan yang implisit/eksplisit menutup upaya penelusuran sejarah pelanggaran HAM)
Rekomendasi: Dicabut/diubah agar membuka jalan bagi proses kebenaran, reparasi, dan pemulihan untuk korban. Negara berhak menjaga stabilitas, tetapi stabilitas tanpa keadilan hanyalah ketidakadilan yang dimaknai sebagai perdamaian semu.
---
C. Prioritas Peninjauan (jadwal kerja singkat & langkah praktis)
Saya rekomendasikan 3 prioritas peninjauan yang dapat dijadikan langkah awal:
1. Audit hukum komprehensif terhadap TAP No. XXV, XVII, XXVI, XXXII --- menilai: apakah redaksi mengkriminalkan gagasan (vs tindakan), implikasi HAM, dan dampak praktis hari ini. (Sumber teks resmi: peraturan.go.id, hukumonline, arsip MPR).Â
2. Pembentukan Komisi Independen (akademisi + korban pelanggaran HAM + masyarakat sipil + perwakilan MPR/DPR) untuk hearing publik khusus: membahas TAP-TAP sensitif (larangan ideologis, kultus figur, pembinaan pers). Proses harus transparan dan terdokumentasi. (Ini sesuai praktik rekonsiliasi di negara lain).
3. Reformulasi norma keamanan: Ubah ketentuan yang mengkriminalkan ide atau gagasan menjadi norma pidana yang jelas menargetkan tindakan (rencana kekerasan, conspiracies, hate crimes), sambil mengukuhkan perlindungan kebebasan akademik & pers.
C. Penutup --- Ringkas dan Tajam
1. Prinsip politik rakyat menuntut: pertahankan norma yang memperkuat kesejahteraan rakyat (mis. TAP XXVIII, kebijakan ekonomi/anggaran yang pro-rakyat) dan hapus/ubah norma yang membungkam kebebasan intelektual, politik, dan pers (mis. TAP XXV dalam bentuk larangan ideologis absolut, TAP XVII, TAP XXVI, TAP XXXII).Â
2. Prosedur peninjauan harus formal, publik, dan melibatkan korban serta akademisi --- bukan "peninjauan di balik meja". Ini penting agar perubahan bukan sekadar politis tetapi berlandaskan hukum dan legitimasi sosial.