Mohon tunggu...
Anisa Fadil
Anisa Fadil Mohon Tunggu... assistant research -

aku adalah raga, menulis adalah nyawanya, dan kamu adalah asanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Program Kerja

9 November 2016   20:57 Diperbarui: 9 November 2016   21:02 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tok tok tok

Ku dongakkan kepala, menatap ke arah pintu yang kini sudah terbuka. Sesosok tubuh jakung berkemeja putih berdiri disana, tersenyum tipis. Matanya yang tak terlalu lebar mengendur, senyumnya berangsur hilang seiring langkahnya mendekatiku.

“Parah! Coba tebak apa yang kutemukan di lapangan?”

Dia duduk di kursi besar di hadapanku. Kedua tangannya memegangi kepalanya yang terasa begitu berat. Sesekali dia meremasnya sambil bergumam tak jelas.

“Memangnya apa?”

Aku berusaha santai, meskipun rasa penasaran mulai merambati pikiranku.


“Barusan aku ke kantor pusat dan mendapat laporan kalau angka pengangguran di kota ini meningkat tajam. “

Matanya melotot, seolah memberitahuku kalau informasinya adalah berita paling buruk yang pernah ada.

“Bukankah itu hal biasa? Aku lihat banyak perusahaan membuka lowongan akhir-akhir ini. Aku selalu memonitorinya. Bahkan mereka membuka bursa kerja di beberapa tempat.”

Aku mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

“Iya, itu biasa dilakukan dan terus dilakukan tiap bulan. Tapi kau tahu, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Menyamarlah sebagai pencari kerja dan kau akan tahu betapa busuknya tinggal di negeri ini. Mereka membuka lowongan dengan ribuan pendaftar tapi hanya mengambil satu dari mereka. Belum lagi syarat yang mereka ajukan. Tidak hanya jenjang pendidikan, kini dunia kerja juga menuntut kesempurnaan fisik. Tinggi, berat badan, semua harus ideal. Ini Diskriminasi!”

Dia menghela napas panjang setelah berapi-api mengeluarkan kemarahannya. Tapi dia hendak memarahi siapa? Aku?

“Tenanglah, mungkin perusahaan-perusahaan itu memang butuh karyawan bagian depan yang membutuhkan kesempurnaan fisik.”

“Apa? Kesempurnaan fisik? Memangnya mereka Tuhan yang menciptakan kesempurnaan fisik? Tidak! Perusahaan mereka tetap akan berjalan meskipun pegawainya gendut semua atau kurus semua. Yang dinilai adalah kinerja, bukan tampilan! Baiklah kalau informasi ini tak bisa menggerakkan hatimu. Akan kuberikan yang lebih besar lagi. Orang normal yang fisiknya tidak sempurna mungkin bisa mencari pekerjaan lain. Tapi bagaimana dengan orang berkebutuhan khusus yang hak-haknya nyaris tak dipenuhi? Kau masih mau menyanggah?”

Kini matanya berubah jadi merah, senada dengan wajahnya yang membara. Aku sendiri berusaha mengatur napasku yang mulai naik-turun karena emosi.

“Hak-hak mereka sudah mulai dipenuhi. Kini mereka bisa meneruskan pendidikan di jenjang perguruan tinggi, bahkan Universitas Negeri. Aku dan lembaga pendidikan itu sudah mengakomodirnya. Tenanglah….”

Dia menggeleng sambil tersenyum mengejek. Menambah kesal orang yang melihatnya.

“Ya itu juga benar. Tapi kau harus memecahkan satu permasalahan besar mereka setelah lulus dari sana. Siapa yang akan memperkerjakan mereka? Siapa yang akan menafkahi mereka kalau kau hanya duduk di balik mejamu dan melihat mereka sebagai pengangguran. Dimana otakmu? Dimana?”

Aku memejamkan mata. Mungkin kali ini sudah cukup, akan kuteruskan berbicara dengannya esok. Setumpuk kertas di mejaku saja sudah membuat pusing, apalagi kedatangannya seperti ini.

“Ya sudah, akan aku tampung keluhanmu dan menanganinya esok. Hari sudah sore, kau dan aku harus pulang dan istirahat.”

Semoga dia menurut dan aku tak perlu memanggil satpam untuk mengusirnya seperti yang sudah-sudah.

“Pulang? Istirahat? Kau sama sekali tak tergerak dengan informasiku? Ya Tuhan aku harus bagaimana lagi? Kau benar-benar tak punya hati. Atau jangan-jangan kursi yang kau duduki sekarang adalah hasil negosiasi? Hasil membeli dari seorang calo seperti yang marak sekarang? Iya kan?”

Sepertinya aku memang butuh satpam atau petugas keamanan untuk membawanya keluar dari ruanganku sekarang. Segera kupencet salah satu tombol di dekat mejaku. Dia masih bersungut-sungut menampakkan muka kesal, marah dan kecewa. Harusnya dia tak perlu begitu, karena aku juga kecewa padanya yang hanya bisa mengkritik.

Dua orang bertubuh kekar datang ke ruanganku beberapa saat kemudian. Aku memberi kode pada mereka untuk menyeretnya keluar. Dengan sigap dua orang itu melaksanakan tugasnya. Dia mencoba memberontak, tubuhnya bergerak-gerak dan berteriak seperti orang gila.

“Kau tak pantas di kursi itu, kau tak seharusnya disana. Keluar kau, keluar dari sanaaaa…….”

Brak!!

Pintu kututup dan aku berkemas untuk pulang.

***

Matahari sedang panas-panasnya sekarang. Sampai-sampai air conditiondi ruanganku tak begitu dingin meski ku setting sampai 17 derajat.

Plak!

“Apa-apaan ini? Kau harus ikut aku sekarang. Kau harus melihatnya sendiri dengan kedua matamu.”

Aku terperanjat begitu dia masuk ke ruanganku, membanting setumpuk Koran dan marah-marah lagi. Matanya yang kemarin merah kini makin merah dan menyalak-nyalak. Sepertinya dia siap menelanku hidup-hidup.

“Kau diajari sopan santun ketika masuk ruangan orang, bukan?”

Aku harus menggertaknya agar dia tak makin kurang ajar.

“Aku tak butuh sopan-santun berhadapan dengan orang macam kau. Lihat, pencuri ayam saja dipukuli banyak orang dan dihukum dua tahun penjara hanya karena mencuri barang seharga seratus ribu. Lihat ini, dia ngeplang uang Negara sampai milyaran dan diganjar dua tahun juga? Sungguh negeri ini, hukumnya tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kau belum lihat Koran hari ini kan? pasti belum, kerjaanmu kan hanya duduk dan tidur. Akan aku ceritakan padamu. Kau pasti akan ketakutan jika mereka yang menamakan dirinya teroris masuk ke ruangamu ini dan menembak kepalamu sampai pecah. Iya kan? Sebelum itu terjadi, hentikan mereka yang kini menyerang orang-orang tak berdosa di pelosok. Tak hanya menyerang bahkan, anggota mereka semakin banyak dan sebagian besar adalah orang-orang kita. Kau masih ingin duduk disini saja? ”

Aku sempat melihat headlinedi Koran yang dia bawa. Apa yang dikatakan memang benar, hukuman untuk koruptor yang mencuri uang Negara sampai milyaran kadang lebih rendah daripada pencuri ayam atau sandal. Dan untuk kasus terorisme, entah mengapa mereka kini memiliki anggota yang makin hari makin banyak. Tapi dia tak seharusnya membentak-bentak seperti itu, apalagi menarik tanganku seperti sekarang.

“Lepaskan. Baiklah kalau itu maumu. Tapi sebelum kita pergi, harusnya kau tahu diri. Kau selama ini hanya kemari dan memarahiku, mengkritik ini dan itu, kalau kau benar-benar peduli dengan mereka, apa kau punya jalan keluar untuk menyelesaikannya? Kalau kau punya, mungkin kita bisa kerja sama.”

Dia mulai melepaskan tarikannya perlahan. Matanya yang melotot dan merah kini berangsur normal. Bahkan dia mulai duduk di kursi depanku sambil mengatur napas.

“Kali ini kau harus dengarkan aku baik-baik dan pastikan apa yang kuucapkan akan benar-benar kau lakukan.”

Aku mengangguk dan dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Memberi jarak yang cukup dekat denganku.

“Kau sendiri yang harus memperketat pegawasan terhadap bawahanmu. Menekan angka pengangguran bisa dilakukan jika kau peduli. Kau hanya perlu membuka lapangan kerja baru atau paling tidak memberikan mereka pelatihan gratis. Pengangguran intelektual bisa kau ajari kemahiran berbahasa dan memperkerjakan mereka di luar negeri. Jadikan pahlawan devisa bukan hanya dari TKI yang bekerja sebagai PRT tapi sebagai ilmuan atau para ahli di bidangnya. Kau bisa jika kau mau membekali mereka dengan pengetahuan yang luas dan jalan bagi mereka. Orang-orang kita itu pandai, hanya saja kadang kurang modal.”

Aku mengangguk-angguk.

“Kau tahu mengapa terorisme marak di negeri ini? Karena mengikisnya ideologi. Bekali mereka dengan pengetahuan tentang ideologi dan Nasionalisme. Caranya? Bekerjasamalah dengan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan yang dekat dengan masyarakat agar mereka dikenalkan untuk mencintai Negaranya. Dan terakhir, tajamkan hukummu ke atas maupun ke bawah. Tindak pejabat yang memang terbukti bersalah, hukum mereka dengan pantas. Kau pasti juga memimpikan keadilan di Negeri ini kan? Pilih orang-orang yang berkompeten dan jangan sekali-kali mau dibayar hanya untuk menduduki sebuah kursi. Kau dan hati nuranimu harus sejalan, jangan setengah-setengah.”

Dia menatapku, kini dengan sorot mata memohon. Sebenarnya apa yang dia katakan memang akan kulakukan. Hanya kadang aku tak punya keberanian untuk menjalankannya.

“Kau tak perlu ragu, aku akan membantumu. Kau dan aku pasti bisa menyelesaikan ini. Kau percaya kan?”

Akupun mengangguk dan tersenyum. Aku melihat ketulusan dan kesungguhan terpancar di matanya. Bukankah segala hal akan tercapai jika kita melakukannya dengan keyakinan dan kesungguhan?

“Baiklah, ayo kita lakukan.”

Akupun berdiri dan mulai melangkahkan kakiku.

“Psstt… jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja.”

“Mengapa?”

Dia celingukan lalu membisik sangat pelan di telingaku.

“Ada yang ingin mencuri ide kita, oh bukan. Ada yang menguping sejak tadi dan ingin menghancurkan program kerja kita.”

Aku mengerutkan kening, heran.

“Siapa?”

“Mereka..”

Bisiknya sambil menunjuk ke luar jendela.

***

Dari balik pintu terlihat dua orang sedang bercakap-cakap. Yang satu bersandar daun pintu sambil memegangi sebuah catatan, menatap lawan bicaranya dengan serius. Yang satu lagi berdiri tegap, menggumamkan sesuatu yang sesekali dicacat oleh yang satunya. Lalu keduanya menoleh ke dalam ruangan, melihati, mendengarkan bahkan sepertinya merekam.

“Aku kadang merasa sangat senang bisa mendengarkannya. Apa yang dia bicarakan kadang ada benarnya. Usulan-usulan dan pemikirannya cukup briliandan berani.”

Kata seorang yang berdiri tegap.

“Iya. Aku juga merasa begitu. Apa yang dia ucapkan memang benar.”

Balas seorang yang bersandar sambil terus mencoret-coret kertas ditangannya.

“Tapi, sebenar apapun ucapannya orang-orang tak akan pernah peduli. Siapa yang akan mendengarkan usul seseorang yang tinggal di sebuah gedung besar bertuliskan Rumah sakit Jiwa?”

Sesaat kemudian terdengar teriakan melengking dari dalam ruangan.

“Kau harus ikut aku, kau harus dengarkan akuuuuu……..”

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun