Aku harus menggertaknya agar dia tak makin kurang ajar.
“Aku tak butuh sopan-santun berhadapan dengan orang macam kau. Lihat, pencuri ayam saja dipukuli banyak orang dan dihukum dua tahun penjara hanya karena mencuri barang seharga seratus ribu. Lihat ini, dia ngeplang uang Negara sampai milyaran dan diganjar dua tahun juga? Sungguh negeri ini, hukumnya tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kau belum lihat Koran hari ini kan? pasti belum, kerjaanmu kan hanya duduk dan tidur. Akan aku ceritakan padamu. Kau pasti akan ketakutan jika mereka yang menamakan dirinya teroris masuk ke ruangamu ini dan menembak kepalamu sampai pecah. Iya kan? Sebelum itu terjadi, hentikan mereka yang kini menyerang orang-orang tak berdosa di pelosok. Tak hanya menyerang bahkan, anggota mereka semakin banyak dan sebagian besar adalah orang-orang kita. Kau masih ingin duduk disini saja? ”
Aku sempat melihat headlinedi Koran yang dia bawa. Apa yang dikatakan memang benar, hukuman untuk koruptor yang mencuri uang Negara sampai milyaran kadang lebih rendah daripada pencuri ayam atau sandal. Dan untuk kasus terorisme, entah mengapa mereka kini memiliki anggota yang makin hari makin banyak. Tapi dia tak seharusnya membentak-bentak seperti itu, apalagi menarik tanganku seperti sekarang.
“Lepaskan. Baiklah kalau itu maumu. Tapi sebelum kita pergi, harusnya kau tahu diri. Kau selama ini hanya kemari dan memarahiku, mengkritik ini dan itu, kalau kau benar-benar peduli dengan mereka, apa kau punya jalan keluar untuk menyelesaikannya? Kalau kau punya, mungkin kita bisa kerja sama.”
Dia mulai melepaskan tarikannya perlahan. Matanya yang melotot dan merah kini berangsur normal. Bahkan dia mulai duduk di kursi depanku sambil mengatur napas.
“Kali ini kau harus dengarkan aku baik-baik dan pastikan apa yang kuucapkan akan benar-benar kau lakukan.”
Aku mengangguk dan dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Memberi jarak yang cukup dekat denganku.
“Kau sendiri yang harus memperketat pegawasan terhadap bawahanmu. Menekan angka pengangguran bisa dilakukan jika kau peduli. Kau hanya perlu membuka lapangan kerja baru atau paling tidak memberikan mereka pelatihan gratis. Pengangguran intelektual bisa kau ajari kemahiran berbahasa dan memperkerjakan mereka di luar negeri. Jadikan pahlawan devisa bukan hanya dari TKI yang bekerja sebagai PRT tapi sebagai ilmuan atau para ahli di bidangnya. Kau bisa jika kau mau membekali mereka dengan pengetahuan yang luas dan jalan bagi mereka. Orang-orang kita itu pandai, hanya saja kadang kurang modal.”
Aku mengangguk-angguk.
“Kau tahu mengapa terorisme marak di negeri ini? Karena mengikisnya ideologi. Bekali mereka dengan pengetahuan tentang ideologi dan Nasionalisme. Caranya? Bekerjasamalah dengan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan yang dekat dengan masyarakat agar mereka dikenalkan untuk mencintai Negaranya. Dan terakhir, tajamkan hukummu ke atas maupun ke bawah. Tindak pejabat yang memang terbukti bersalah, hukum mereka dengan pantas. Kau pasti juga memimpikan keadilan di Negeri ini kan? Pilih orang-orang yang berkompeten dan jangan sekali-kali mau dibayar hanya untuk menduduki sebuah kursi. Kau dan hati nuranimu harus sejalan, jangan setengah-setengah.”
Dia menatapku, kini dengan sorot mata memohon. Sebenarnya apa yang dia katakan memang akan kulakukan. Hanya kadang aku tak punya keberanian untuk menjalankannya.