Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Jendela yang Tak Pernah Kau Ketuk Lagi

29 Juni 2025   22:32 Diperbarui: 29 Juni 2025   22:34 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di Balik Jendela yang Tak Pernah Kau Ketuk Lagi


Oleh Dikdik Sadikin

Angin malam ini datang membawa bisik daun-daun. Kau tahu, daun yang jatuh tak pernah bertanya mengapa angin menjatuhkannya. Ia pasrah, seperti aku pada sepi yang kau tinggalkan.

Dari jendela yang tak pernah kau ketuk lagi, aku menatap kosong. Kota ini tetap terang, tetapi tidak dengan dadaku. Di dalamnya lampu-lampu telah padam sejak kepergianmu yang tak pernah dinamai kepergian. Kita tidak pernah menyebutnya perpisahan. Kita terlalu pengecut untuk jujur.

Aku duduk di kursi rotan yang dulu kita duduki berdua. Di situ dulu kau cerita tentang anjing tetangga yang mengejar tukang pos. Tentang bau hujan yang katanya mirip parfum ibumu. Kau tertawa, aku ikut tertawa, bukan karena lucu, tapi karena tertular bahagiamu.

Kini tak ada lagi cerita. Hanya malam yang panjang, seperti garis napas yang enggan terputus tapi lelah untuk terus berjalan. Malam ini terasa seperti labirin waktu yang menyesatkan langkahku untuk pulang---padahal aku hanya ingin pulang padamu.

Apa kabar kau yang di sana? Masihkah menatap langit dan berharap kita bertemu di satu senja yang sama? Atau kau telah lupa bahwa dulu ada aku yang membacakan puisi Sapardi di depanmu sambil gemetar? Kau tersenyum saat itu, mengucapkan terima kasih dengan suara pelan, seolah takut kata-katamu menyakiti angin.

Kita pernah begitu dekat, tetapi tak pernah benar-benar saling tahu. Kita duduk berdampingan, tapi pikiran kita seperti kereta yang berhenti di stasiun yang berbeda. Aku mencintaimu diam-diam, dan kau mencintaiku dengan takut. Kita saling menyiksa, bukan karena benci, tetapi karena terlalu rindu dan terlalu malu untuk mengakuinya.

Rinduku menempel di dinding kamar, mengelupas seperti cat tua yang tak pernah diganti. Rindumu, entah di mana. Tapi aku yakin ia ada. Karena setiap malam aku dengar napasmu dalam bisu. Di antara derit lantai kayu dan ketukan hujan, ada gema hatimu yang belum selesai bicara.

"Mengapa kita tak pernah jujur?" tanyaku pada bayangmu yang hanya datang jika aku menutup mata.

Mungkin karena kejujuran menuntut keberanian, dan kita terlalu takut pada kemungkinan patah. Kita lebih memilih diam, seperti dua lilin yang menyala tapi tak saling memanasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun