Di Balik Jendela yang Tak Pernah Kau Ketuk Lagi
Oleh Dikdik Sadikin
Angin malam ini datang membawa bisik daun-daun. Kau tahu, daun yang jatuh tak pernah bertanya mengapa angin menjatuhkannya. Ia pasrah, seperti aku pada sepi yang kau tinggalkan.
Dari jendela yang tak pernah kau ketuk lagi, aku menatap kosong. Kota ini tetap terang, tetapi tidak dengan dadaku. Di dalamnya lampu-lampu telah padam sejak kepergianmu yang tak pernah dinamai kepergian. Kita tidak pernah menyebutnya perpisahan. Kita terlalu pengecut untuk jujur.
Aku duduk di kursi rotan yang dulu kita duduki berdua. Di situ dulu kau cerita tentang anjing tetangga yang mengejar tukang pos. Tentang bau hujan yang katanya mirip parfum ibumu. Kau tertawa, aku ikut tertawa, bukan karena lucu, tapi karena tertular bahagiamu.
Kini tak ada lagi cerita. Hanya malam yang panjang, seperti garis napas yang enggan terputus tapi lelah untuk terus berjalan. Malam ini terasa seperti labirin waktu yang menyesatkan langkahku untuk pulang---padahal aku hanya ingin pulang padamu.
Apa kabar kau yang di sana? Masihkah menatap langit dan berharap kita bertemu di satu senja yang sama? Atau kau telah lupa bahwa dulu ada aku yang membacakan puisi Sapardi di depanmu sambil gemetar? Kau tersenyum saat itu, mengucapkan terima kasih dengan suara pelan, seolah takut kata-katamu menyakiti angin.
Kita pernah begitu dekat, tetapi tak pernah benar-benar saling tahu. Kita duduk berdampingan, tapi pikiran kita seperti kereta yang berhenti di stasiun yang berbeda. Aku mencintaimu diam-diam, dan kau mencintaiku dengan takut. Kita saling menyiksa, bukan karena benci, tetapi karena terlalu rindu dan terlalu malu untuk mengakuinya.
Rinduku menempel di dinding kamar, mengelupas seperti cat tua yang tak pernah diganti. Rindumu, entah di mana. Tapi aku yakin ia ada. Karena setiap malam aku dengar napasmu dalam bisu. Di antara derit lantai kayu dan ketukan hujan, ada gema hatimu yang belum selesai bicara.
"Mengapa kita tak pernah jujur?" tanyaku pada bayangmu yang hanya datang jika aku menutup mata.
Mungkin karena kejujuran menuntut keberanian, dan kita terlalu takut pada kemungkinan patah. Kita lebih memilih diam, seperti dua lilin yang menyala tapi tak saling memanasi.