Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Remaja: Kado Spesial untuk Putri Spesial

29 Agustus 2016   09:03 Diperbarui: 5 September 2016   13:06 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Minggu, usai UN, dekat ruang server.

Putri sudah lama menanti kedatangan Radite. Gadis itu gelisah. Beberapa kali ia beranjak dari duduk, melihat ke gerbang sekolah. Sepi. Di lingkungan sekolah hanya tampak beberapa orang yang mengurus kegiatannya sendiri. Perlahan matanya melihat ke arah masjid. Masjid yang megah di almamaternya itu sebentar lagi akan ditinggalkan. Ia ingat betapa ketika kelas-kelas akhir di SMAN 1 Majalengka bersama beberapa temannya selalu melaksanakan shalat dhuha.  Ke arah selatan sedikit, tampak bangunan Multimedia. Gadis itu mendesah. Ia ingat ketika di multimedia Radite memberinya gantungan kunci bergambar bunga mawar.

Beberapa jenak kemudian Putri mencoba menghubungi sahabatnya itu, namun HP Radite masih tidak aktif. Gantungan kunci yang ada di kontak motornya ia pandangi. Hhhh! Putri kesal.  Hingga menjelang waktu dzuhur, yang dinanti tak kunjung datang. Gadis itu memutuskan pulang. Gombal! Walau tak terucapkan, tak urung kesabaran untuk tidak mengungkapkan sesuatu yang jelek terlintas juga. Dengan langkah cepat ia meninggalkan halaman sekolah yang sepi. Beberapa saat kemudian ia telah berada di perjalanan menuju rumahnya di Kadipaten.

Sampai di rumah ia matikan HP-nya. Untuk keperluan lain, ia mengaktifkan nomor yang lain. Rasa kesalnya terhadap Radite benar-benar memuncak. Termasuk puasa medsos. Ia ingin menenangkan diri dari nama Radite.

Hari minggu berikutnya.

sman1 krangkeng - krD3.g.maps
sman1 krangkeng - krD3.g.maps
Hampir tengah hari Putri pos touring nekad telah dicapai. Sebuah tempat yang sudah cukup lama ditinggalkan. Hampir setahun. Gadis itu masygul, ia sangat tak percaya bahwa motornya sudah berada di depan gapura bangunan di tempat teduh. SMA Negeri 1 Krangkeeeng.... , bibirnya mengeja nama sekolah di dekat gerbang. Bibirnya terkatub rapat. Matanya mendadak terasa panas. Ia mencoba menahan gejolak hatinya.


“Put .... putriiii! Tunggu!” ada suara berteriak di belakangnya. Putri menoleh.

“Aaah.. kau Ngga! Ada apa?” tanya gadis itu demi melihat Anggara, teman sekelasnya.

“Jangan pulang dulu Put. Aku ada perlu sebentar.”

“Apa?”

“Penting, kita duduk di depan gerbang.”

“Di pinggir selokan? Ngaco kamu ah! Kecebur ntar! Hari ini aku buru-buru, ada perlu ke saudara!”

“Sebentar saja Put.”

“Ada perlu. Kita mbalik ke dalam saja, ke kantin.”

“Nggak. Aku buru-buru.”

“Aduuuh.... Put.... nggg... tapi sudahlah nggak apa-apa. Selamat ya Put! Kamu naik kelas kan?”

“Pertanyaan ngaco! Jaman sekarang itu, kalau sampek nggak naik kelas kuh jenenge gudang plekara! Ngerti koen?”

Ngerti laaah.... lah munggah kelas XII brarti?”

“Bagen dianggep apa laaah! Ora bli nganggo dumumaken, angger ora goblog banget ya munggah laaah!”

“Aja jengkel Put .... “

“Kenang apa ora olih jengkel?”

“Angger Puput jengkel, kula bli kuwat!”

“Bli kuwat ngapa?”

“Bli kuwat weruh mrengute! Soale angger mrengut koh malah tambah ayune hehee!”

”Aja ngomong ngaco! Kula  wis ora dewekan!”

Wis ana sing duwe Put? Kula telat napa?”

“Embuuuh! Ora dewekan kuwe arane rombongan Ngga!”

“Oalaaaahhh..... Puuuttt.... tek arani apa! Marai deg-degan ......”

“Uuuuh kaya maring apane baen? Kula niki apane sampeyan si?”

“Calone! Hahaaa!”

“Ngaco ah!”

Anggara terbahak. Tak urung Putri ikut tertawa. Ia melihat teman sekelasnya itu begitu senang tertawa lepas. Dalam hati kadang gadis itu merasa kasihan kepada Anggara. Sejak pertengahan kelas XI ia melihat gelagat pemuda tanggung itu mencari-cari perhatian dirinya. Sementara ia sendiri tidak punya rasa apa-apa, datar-datar saja. Walapun sebenarnya ia juga berfikir, “tidak punya rasa” atau “belum punya rasa”, paling tidak simpati.

“Ngapa ngliatin aku gitu?” tanya Anggara. Kali ini Putri terhenyak. Ia tak sadar memperhatikan Anggara yang sudah usai tertawa dari tadi.

“Ngg... apa? Ngliat .... ngliatin kamu? Nggak banget!”

“Hehee... terima kasih Put, sudah ngliatin aku. Kayak terpesona gituuuu!”

“Ngaco ah!”

“Eh Put, gini ya ..... sekarang kita fokus nih. Pertama, aku bersyukur kamu naik kelas. Mudah-mudahan nilaimu bagus, lah kamu mah selalu nggak mau diliatin nilainya.”

“Itu kepo tahu! Nggak perlu!”

“Iya ... iya .... “

“Yang kedua apaan?” tanya Putri malah seperti menanti kalimat Anggara.

“Yang kedua, ntar di kelas XII, aku mau duduk di belakangmu.”

“Apa?!” Putri kaget. Melihat Putri kaget, Anggara juga kaget.

“Apa Put? Kenapa kaget?!”

“Kamu serius Ngga?”

“Serius. Aku selalu serius bicara sama kamu Put.”

“Ngga.... kita cari tempat duduk yang tenang .....”

“Aaahh ...... kamu lah Put. Serius banget! Sudah di jembatan depan ntuuu!”

“Serius?”

“Serius!”

Akhirnya benar, keduanya berjalan menuju jembatan kecil di atas saluran irigasi yang melointas di depan sekolahnya. Putri menata hatinya. Ia mencoba untuk menyampaikan sesuatu untuk merespon keinginan Anggara.

“Ngga .... kamu serius pengen duduk di belakangku?”

“Bener Put. Aku ingin lebih dekat sama kamu .... kamu sih terlalu cuek. Aku ingin kita lebih baik lagi kondisinya, kita lebih sama-sama membangun semangat belajar. Kamu paham nggak Put?”

“Pahaaamm... aku cerdas kok! Yang membangun semangat itu kamu kan?”

“Iya... iya... iya betul itu!”

“Ngga .... seandainya .... seandainya keinginanmu nggak terkabul gimana?”

“Aku nyebur ke selokan ini!” kata Anggara sambil menunjuk ke saluran air dengan air keruhnya.

“Sssttt! Batal! Batalkan niatmu Ngga! Jelek banget niat kayak gitu!”

“Kenapa?”

“Niat yang baik kenapa sih?”

“Ya sudah, kalau keinginanku nggak kesampaian aku pasrah saja. Tapi Puuut .... kenapa sih kamu susah banget didekati. Memang aku jelek ya Put? Aku nggak berprestasi, nggak kaya kamu, pinter, aktivis, jago karate lagi!”

“Bukan itu Ngga, kamu baik. Kamu .... kamu 80 laah!”

“Apanya?”

“Tampangmu! Hihihi.....”

“Keterlaluan .... tampang kayak gini cuma 80.”

“Kan kayak KKM matematika! Segitu!”

“Ngepas KKM berarti cuma predikat cukup dong?”

“Hihihi ... itu kamu yang ngomong lho Ngga, aku nggak ngomong kayak gitu....”

“Haduuuuh...  Put, Put ..... inilah, canda guraumu yang aku suka.....”

“Ngga.... Anggaaa.... masih dengar aku?”

“Masih ... masa pendengaran mau dinilai juga!”

“Begini Ngga ..... sepertinya hari-hari terakhir ini, Krangkeng bagiku adalah hari-hari terakhir.”

“Apa? Put ... ngomong apa kamu? Coba ulangi!”

“Ini adalah Krangkeng hari-hari terakhir bagiku.”

“Apa Put?” wajah Anggara mendadak pucat.

“Indramayu akan segera menjadi sejarah.”

“Puut... “

“SMA Negeri 1 Krangkeng akan menjadi tempat yang indah dalam kenanganku, tempat yang telah memberikan banyak pengalaman, juga motivasi untuk mengembangkan diriku menjadi diriku sendiri.”

“Put, ngomong apa kamu?”

“Keinginanmu nggak akan terpenuhi Angga. Lihatlah ini ......” kata Putri seraya mengulurkan selembar surat kepada sahabatnya. Anggara menerima, membaca sekilas secara cepat, wajahnya berubah pias. Keringat dingin mulai tampak mengambang di dahinya.

“Kamu .... kamu .... kamu mau pindah sekolah Put?”

“Maafkan aku Ngga ....”

“Tidaaaaak! Tidak Put! Nggak boleeeh!!!” kata Angga seraya merobek-robek surat pengantar pindah di tangannya. Putri mendesah dalam.

“Puaskan dirimu Ngga ... sobeklah surat itu. Itu hanya fotokopi.”

Anggara menutup wajahnya hingga lama. Lututnya perlahan turun bertelekan aspal. Putri hanya bisa mengatubkan bibir. Ia tak menyangka respon Anggara akan sejauh itu. Itu artinya bukti bahwa Anggara memang menyukai dirinya. Bahkan mungkin mencintai. Tapi tetap saja, hati manusia tak ada yang bisa menduga. Berusaha melunakkan hati boleh saja, tetapi, untuk membuka hati terhadap orang lain, belum tentu bisa. Gadis itu merasakan demikian, tak ada rasa apa-apa.

“Kenapa nggak ngomong dari dulu Puuut!” kata Angga setelah bisa menata keadaan batinnya.

“Angga... maafkan aku. Kenapa juga harus bercerita ke kamu Ngga. Ntar dikira aku curhat.”

“Put, ternyata sampai saat ini kamu masih belum tahu apa yang aku harapkan ya?”

“Tahu, aku tahu .....”

“Kenapa kamu diam saja?”

“Nggak tahu lah Ngga. Bukannya selain kamu Ngga, ada juga anak lain yang suka ke aku juga?”

“Grup naik gunung itu?”

“Nha itu kamu tahu!”

“Jadi kamu suka sama teman yang suka muncak itu?”

“Enggak! Aku masih merdeka Ngga, entah belum mau, atau memang belum saatnya aku suka sama anak laki-laki. Sampai sekarang aku masih jomblo, dan aku nyaman itu!”

“Hmhh.... Putri ... boleh aku ngomong serius ke kamu?”

“Kamu selalu ngomong serius.”

“Aku menyukai kamu sejak pertengahan tahun kemarin.”

“Aku tahu itu.”

“Dan rasanya di akhir kelas XI malah suka-ku menjadi cinta Put...”

“Hmh ....”

“Kok cuma hmh?”

“SMA ini memang penuh kenangan Ngga, kenangan dengan sahabat, dengan guru, dengan paman bibi kantin ..... tapi memang sepertinya aku tidak meninggalkan kenangan cinta.”

“Kamu tega Put.”

“Maafkan aku Anggara....”

“Kamu pindah ke mana Put?”

“Ke Majalengka! Ke SMA Negeri 1 Majalengka ....”

“Oooo..... Majalengka, yang dekat Kadipaten itu?“

“Ya, itu kamu tahu daerahnya. Aku punya banyak saudara di Majalengka .....”

“Apa itu artinya kamu akan mendapatkan teman dekat di SMA barumu itu? Atau orang Majalengka yang lain?”

“Hhhhmmmhh... nggak tahulah Ngga. Biarlah aku menjalani hidup ini sesuai skenario Allah.”

“Put ..... Putri... kalau.... kalau aku ikut pindah ke SMA Negeri 1 Majalengka, maukah kamu menerimaku ... sss... sebagai .....”

“Jangan ke Majalengka jika niatmu begitu Ngga. Nggak baik. Lebih baik kamu fokus belajar di Krangkeng ini lebih optimal. Lagi pula .... nggg..... bukannya sahabatku Yelisa suka sama kamu Ngga?”

“Nggg..... ngg..... “ Anggara menggaruk-garuk kepala yanag tidak gatal.

“Mulailah dengan Yelisa Ngga....”

“Nggak Put ..... hati nggak bisa dipaksa.”

“Alhamdulillaaah .... klop dengan pendapatmu itu Ngga. Hati nggak bisa dipaksa. Jadi, jangan bersedih dengan kepindahanku ya Ngga.”

Anggara diam. Beberapa saat ditatapnya mata Putri. Putri mengangguk. Anggara menggeleng. Beberapa saat kemudian keduanya tampak seperti memahami kejadian hari ini. Putri memang paham, ia harus meninggalkan Krangkeng. Majalengka telah menantinya.

Ting-ting-tong!

Putri kaget. Telephone masuk. Lamunannya tentang Anggara dengan SMA Krangkengnya hilang. Touring ke Krangkeng hanya lamunan. Hanya teman dekat yang bisa masuk ke nomor ini. Menerima telephone dari sahabatnya ia sangat senang. Besok pagi-pagi buta harus sudah ke salon. Perpisahan alumni 2016 besok memang harus tampak perubahan. Paling tidak dalam bentuk bungkus atau fisik. Hati sulit untuk berubah. Termasuk kejengkelannya kepada Radite belum juga hilang.

***

Pagi hari pukul setengah delapan Putri sudah melangkah masuk gerbang sekolah. High heels yang dipakainya benar-benar merepotkan jalannya. Tak seperti biasanya memakai sepatu keds ganesha, kali ia harus ekstra hati-hati menghindari keseleo.

“Put ... Putriiii....... “ ada suara memanggil ketika dirinya sedang menandatangani daftar hadir di lobby sekolah.

“Oh.... “ Putri terhenyak ketika melihat siapa yang memanggil. Radite. Sahabatnya itu tampak ganteng dengan stelan jas hitam dan dasinya.

“Kamu Putri kan?”

“Ngaco .... minggir .... awas! Awas!” Putri menabok lengan Radite ketika pemuda itu mencoba menggodanya.

“Puut... jangan marah ..... dulu itu jam dua belas aku datang!”

“Sabodo ah!”

“Nomer kamu juga nggak aktif. Puut ... apa orang nggak boleh salah? Nggak boleh lupa? Nggak boleh menghadapi keadaan darurat?”

“Darurat apaan?”

“Darurat musibah! Ini juga gara-gara kamu lho Put!”

“Enak saja kok aku yang dibawa-bawa! Ngeles kamu Dit!”

“Yaaaah .... memang bener ini gara-gara kamu!”

“Ngaco kamu!”

“Ngaco bagaimana ... ssst... sini menjauh dari orang-orang, aku beritahu! Ini menyangkut nama baikmu Put.”

Mau tidak mau merasa dipojokkan menyebut nama baik, Putri mengalah mengikuti ajakan Radite. Melihat Putri mau mengikuti ajakannya, Radite tersenyum.

“Katakan cepat!” kata Putri sambil merengut.

“Waktu itu aku kena tilang!”

“Ngeles!”

“Bener kena tilang Put! Gara-gara ingin segera ketemu kamu, eh malah kena stop razia di jembatan dua Jatipamor.”

“Halaaah .... Cuma distop polisi saja kok!”

“Masalahnya aku nggak bawa SIM, gara-gara aku terburu-buru ... yaaaa.... semua ini gara-gara aku kepingin cepet ketemu kamu yang ngangenin....”

“Aaaah ..... nggak ada saksi, nggak ada bukti!”

“Ya terserah! Mau percaya atau nggak, tapi memang begitu kejadiannya. Motorku ditahan. Pas pulang, SIM dicari nggak ada, sampai dua hari nggak ketemu. Yaaaa terpaksa aku buat SIM baru lagi. Untung langsung lulus!”

“Khayal!”

“Ini SIM baruku Puuut .... aduuuh.... lihat!” kata Radite sambil mengeluarkan SIM baru. Tertanggal pembuatan tiga hari yang lalu. Melihat itu muka Putri mereda ketegangannya.

“Tapi itu taktikmu biar aku nggak marah kan?”

“Aduuuh Putri .... kapan ya kamu percaya omonganmu tanpa alot begini. Put, pikirkan mana mungkin aku harus keluar tenaga dan biaya lumayan besar untuk mengelaui kamu. Put catat, jangan pernah berfikir aku akan mengelabui kamu. Nggak mungkin lah.”

“Ya ... ya ... terserah laah...” kata Putri sambil berjalan menuju ke kursi yang telah disediakan untuk acara perpisahan.

Karena merasa tak bersalah, Putri tak meminta maaf. Memang hati gadis itu merasa, mungkin juga apa yang dikatakan Radite benar, sebab alasan pemuda itu memang masuk akal, tak mungkin mengelabui dengan biaya khusus membuat SIM.

“Put, kalau kamu marah sukanya melamun ke SMA-mu yang dulu ya? Iya, SMA Krangkeng.” kata Radite berbisik di tengah hiruk pikuknya suara. Putri mengernyitkan dahi.

“Apaan?”

“Setelah kamu marah sama aku, kamu banyak melamun tentang Krangkeng ya?”

“Kok tahu?”

“Heheee... berarti bener ya?”

“Tahunya dari mana?”

“Ilmu psikologi Put. Ketika seseorang didera permasalahan, ia akan cenderung memilih kembali berkhayal tentang zona nyaman. Apalagi wanita. Ia lebih suka menapaki masa-masa yang indah .... dan masa-masa yang mungkin menjanjikan sebuah keindahan.”

“Uuuuhh... ngarang ah!”

“Nggak apa-apa dulu Puput punya pacar ya?”

“Apaan sih?”

“Kalau aku didera permasalahan, kayak kemarin tuuh ... aku malah berfikir kenapa kamu marah. Padahal aku tidak salah lho....”

“Sudahlah Dit, nggak usah dibahas.”

“Kadonya ketinggalan Put.”

“Kado apa?”

“Waktu aku ditilang, sebenarnya mbawain kado untuk kamu.”

“Iiih kamu Dit, memangnya ada hari spesial apa sih?”

“Setiap hari, Putri bagiku adalah spesial.”

“Gombhhhaaaallll!”

“Biarpun bilang gombal, tetap spesial. Apalagi hari ini, mmmh... uuuh ... cantiknya bikin .....”

“Bikin apa hayo?”

“Ntar ah ... digabung sama kado saja!”

“Iiiihhh.... paling kadonya boneka tuuuh beli di toko depan sekolah.”

“Hahaaa! Sejak kapan kamu suka boneka Put?”

“Ya kali saja kamu mau bikin surprise.”

“Nggak banget. Surprise buat kamu bukan boneka .... tapi ..... “

"Apaan?"

“Lihat saja isi kadonya.”

“Kapan?”

“Pas ngambil ijazah. Gimana?” Radite menawarkan.

“Boleh.”

“Ntar bubar acara ini kita foto bareng ya?”

“Background Smansa graduation 2016?”

“Pasti laaaahhh ......”

“Ya, ya, tapi awas dua kali saja ya ....”

“Pelit.”

“Terus?”

“Seribu kali .... “ kata Radite terkekeh.

Memory-cardnya penuh tahu!”

“Nggak laaah ..... aku bawa berapa coba Put? Tiga. Tiga kali 16 GB berapa? Buat yang spesial aku harus siap nggak akan melewatkan momen ini.” kata Radite sambil mengeluarkan memory-card dari sakunya. Putri terbelalak.

“Astaghfirullaaah.... Diteeee...... kamu serius?”

“Insya Allaaaah......”

***

Besok hari penandatangan dan pengambilan ijazah. Putri dan Radite telah sepakat bertemu di sekolah pukul 9-an. Acara berikutnya dirancang menikmati mie ramen di kantin. Menu lucu yang menjadi favorit remaja seusianya. Tentu saja bagi putri yang dinanti adalah kado dari Radite. Sering ia mendapatkan pernik-pernik yang tak seberapa, tetapi bagi gadis itu maknawiyahbanget.

Waktu sudah pukul 10-an. Putri masih belum berangkat. Ia sengaja menanti reaksi Radite seperti apa. Benar juga beberapa saat kemudian SMS masuk.

“Put, dah tlt 1 jam neh. Ngebales ya?”

“O y? Sbr ya .... “

“Skul  keburu tutup neh!”

“O y? Nyak besok aja skul’a.”

“Aes Put! Bercanda.... datang sekarang laah, ditunggu. Biar telat kamu tetap spesial koq!”

Putri tidak membalas lagi SMS Radite. Setelah bersiap di jok motornya, gadis itu memakai helm. Sejenak kemudian ia mengambil dompet ketika ingat bahwa kartu OSIS harus diperlihatkan dulu. Ketika mencari kartu OSIS, tangannya mengambil sebuah benda berbentuk kartu.

Gadis itu kaget. Wajahnya memerah. Jarinya gemetar. Perlahan ia ambil benda itu.

“Iiii.... iii.... ini SIM Radite.”

Ia baru ingat bahwa Radite pernah nitip SIM minggu lalu ketika usai syukuran kelulusan bareng teman sekelasnya di rumah makan Sawah Aki. Gadis itu merasa bersalah. Ketika Radite kena tilang berarti? Tanya gadis itu dalam hati. Buru-buru ia menelpon Radite agar langsung saja ke rumah makan Sawah Aki.

“Apa-apaan Put?”

“Sudah jangan banyak tanya. Aku nggak mampir ke sekolah, aku langsung ke sawah Aki! Aku yang traktir!”

“Iya-iya....”

Sekitar dua puluh keduanya sudah bertemu.

Mengambil saung yang berada di bawah pohon jati, keduanya duduk berhadapan sambil menanti makanan yang dipesan.

“Dit..... aku sebenanya mengajak ke sini mau ..... mau....”

“Mau apa?”

“Mau minta maaf.”

“Telat tadi?”

“Bukan ..... ini ...... ini ...... “ kata Putri seraya mengulurkan tangan yang memegang SIM. Radite kaget.

“SIM? Lah? Laaahhh? Bukannya?”

“Itu SIM kamu.”

“Astaghfirullaaaah..... Putriiiii ..... aku baru ingat kalau ..... “ kata Radite sambil memegang SIM miliknya.

“Aku juga baru lihat kalau SIM itu ada di dompetku. Maaf ya Dit?”

“Put, ngga apa-apa ... aku malah senang. Kini aku punya SIM dua. Dua-duanya sah, karena yang dulu ini aku nggak lapor kehilangan, tapi langsung membuat saja.”

“Bener nggak apa-apa Dit?”

“Nggak Put, aku tidak takut SIM-ku hilang. Yang aku takutkan Putri yang hilang ..... hilang dari sisi Radite.”

“Ah kamu Dit, bikin melankolis saja.”

Siang itu keduanya makan dalam suasana yang damai. Angin persawahan yang terus menerus berhembus memberikan hawa sejuk. Sesejuk hati Putri saat ini. Ini aneh. Persahabatan dengan Radite telah berlangsung selama di kelas XII ketika Putri baru pindah. Putri merasa, pandangan mata Radite berbeda dengan yang lain. Radite yang dulu ia kira pendiam, ternyata banyak bicara juga.

Putri juga merasa aneh, Radite tak pernah menyatakan kata apa-apa, tapi keduanya seolah pernah menyatakan sesuatu yang dijadikan pengikat. Tidak. Putri tidak mendengar perkataan suka, kagum atau bahkan mungkin cinta. Kata itu belum pernah, Putri ingat betul. Namun sanjungan bahwa dirinya spesial dalam suasana apapun ia simpulkan bahwa Radite memang suka kepada dirinya.

“Put .... esnya diminum! Kok malah diaduk-aduk saja..... tuh makannya juga...”

“Iii ... ii..iiya... iya....”

“Kok kaya nggak selera makan Put? Nungguin kado ya?” tanya Radite menggoda.

“Iiiih .... paling juga kadonya apa gitu.”

“Mau kado sekarang Put? Makannya nanti?”

“Boleh. Tapi ... nggg... ini kado apa?”

“Kado perpisahan.”

“Perpisahan dengan SMAN 1 Majalengka Put .... tempat yang paling membahagiakan aku. Karena di situlah aku mengenal gadis kiriman Allah dari Krangkeng, gadis Indramayu. Ya Allah, dulu ketika pertama kamu mengenalkan diri .... pas pelajaran Matematika ya?”

“Iya betul itu. Pak Didik gurunya, yang meminta aku mengenalkan diri.”

“Iya Put, dulu aku terpesona ketika kamu mengenalkan diri.”

“Lalu?”

“Aku mengkeret ketika kamu bilang jadi aktivis OSIS.”

“Hihi... lalu?”

“Malamnya aku lacak FB-mu, sempat lihat kamu dalam baju karate!”

“Takut ya?”

“Ngapain takut? Perasaanku, selama ini kamu fenimim saja ....”

“Gombal lagi ....”

“Yaaaah .... Put, Putri Dewiii .... aku dulu sering mencuri pandang melihat senyummu lho!”

“Aku juga tahu kok! “

“Kamu tahu? Aaaah kamu mah curang. Jadi malu heheee.....”

“Ya tahu laah. Memang kamu begitu Dit, tapi biarlah, kamu mencuri tetapi tidak dosa.”

Radite diam sejenak. Ia menyeruput es dengan perlahan. Setelah itu tangannya mengambil kantong keresek berisi bungkusan.

“Put, sebagai kenang-kenangan persahabatan kita. Biarpun sebentar lagi kita berpisah, tapi mudah-mudahan ada satu yang tidak berpisah. Aku berharap kado ini menjadi pengikatnya ..... terimalah Put.” kata Radite menyorongkan bungkusan. Puput mengatubkan bibirnya. Ia tatap sejenak mata Radite. Radite mengangguk.

“Apapun yang kamu berikan selama ini padamu, walau kadang lucu, tapi mampu membangkitkan makna.”

“Mudah-mudahan.”

“Boleh aku buka Dit?”

“Bukalah .....”

Perlahan Putri menyobek kertas pembungkus. Beberapa saat kemudian jarinya menyentuh benda dari kain putih berbahan semi sutera dengan bordiran bunga-bunga kecil.

“Dit? Iiiini ..... mukena?”

“Iya.”

“Ini di bawahnya ada sajadah?”

“Iya.”

“Oooh Ditee.... terima kasih .. aku kau ingatkan aku untuk selalu memperbaiki shalatku. Memang shalatku belum benar Dit....”

“Bukan .... bukan itu Put. Bukan itu maksudku. Shalatmu Insya Allah sudah baik. Insya Allah kamu sudah shalihah .... kamu nggak berfikir yang lain?”

“Belum nyambung Dit.”

“Itu seperangkat alat Put ....... ini seperangkat peralatan shalat yang aku hadiahkan tu...nai!”

“Sah!” mendadak reflek bibir Putri mengucap kalimat itu. Gadis itu kaget sendiri dengan ucapannya. Buru-buru ia menutup mulutnya.

“Naaaahhh..... Putri..... Putriii..... itu, itu, rangkaian kalimat yang hampir mirip selalu diakhiri dengan kata-katamu tadi.”

“Dite .... itu ada di acara pernikahan.”

“Iya betuul.... di acara itu Putri ......”

“Dit.”

“Itu maknanya Put. Salahkah jika aku berharap terlalu jauh saat ini? Mengharapkan suatu saat, mungkin lima atau enam tahun lagi ada sebuah prosesi yang diakhiri dengan respon orang banyak, seperti kata-katamu tadi. Sah! Gituuuu!”

Putri tidak bisa bicara. Bibirnya terkatub rapat. Ia semakin yakin, hadiah dari Dite selalu bermakna dalam. Seperangkat alat shalat! Biasanya kalimat itu ada pada ujung rangkaian sebagian besar orang yang menikah, .... dengan maskawin cincin seberat sekian gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai! Sah! Sah!

Radite diam mengamati putri yang semakin tertunduk. Matanya terasa panas.

“Putri, maafkan Dite ya....”

“Nggak ada yang salah Dit.”

“Put... aku ingin suatu saat, ketika kita dewasa, cukup umur, semuanya menjadi kenyataan. Di penghujung kita lulus SMA, inilah hari yang penting aku menyatakan cinta padamu Putri.....”

Speechless. Putri diam. Gadis itu kehilangan kata-kata. Radite yang ia kenal sejak awal dengan perhatiannya, hari ini benar-benar telah memberikan kalimat nyata. Pernyataan cinta. Kalimat yang biasanya hanya ia peroleh dari terjemahan sikap. Kali ini ia mendengarkan langsung.

“Putri ....... bicaralah.... “

“Nggak.”

“Kalau begitu, menggelenglah .... atau mengangguk Putri....”

Hingga beberapa jenak suasana hening. Putri melirik mata Radite sekilas. Gadis itu merasa mukanya panas. Perlahan Putri mengangguk.

Alhamdulillaaah.... , Radite bergumam sambil menelungkupkan wajahnya di meja hingga beberapa lama. Putri terdiam. Benar, ia tak bisa berkata apa-apa. Ia melihat Radite begitu bahagia.

***

Sebelum keduanya meninggalkan saung, Radite berdiri menuju tiang saung, mengambil sesuatu di atas.

“Alhamdulillaaaaah....”

“Apaan itu Dit?”

Handycam, video niiih!”

“Hah?”

“Putri...... buat kenangan kita kelak . Aku merekamnya sejak kamu datang ke sini.”

“Diteeeee!!!! Jahat kamuuuu!” Putri berteriak malu sambil menutup wajahnya.

Radite tertawa bahagia. 

Siang itu Majalengka menjadi tempat yang sangat membahagiakan Putri, tak sia-sia dulu ia meninggalkan Indramayu. Menemukan Radite yang unik, adalah kebahagiaan. Seperangkat alat shalat yang kini ia jinjing, adalah pernyataan yang sangat serius dari sahabatnya itu. Sahabat yang ia peroleh di SMAN 1 Majalengka. ***

* Request Putri Dewi Rahmawaty

Alumnus 2016 - SMAN 1 Majalengka

Terjemahan bahasa Cirebon/Indramayu :

nggak naik kelas kuh jenenge gudang plekara! Ngerti koen?”

* Nggak naik kelas itu namanya gudang perkara! Tahu kamu?

Ngerti laaah.... lah munggah kelas XII brarti?”

* Tahu laaah .... naik ke kelas XII berarti?

“Bagen dianggep apa laaah! Ora bli nganggo dumumaken, angger ora goblog banget ya munggah laaah!”

*Biarlah dianggap apa lah! Tidak pakai diumumkan juga, kalau nggak bodoh banget ya naik kelas laah!

“Aja jengkel Put .... “

" Jangan marah Put ...

“Kenang apa ora olih jengkel?”

* Kenapa nggak boleh marah?

“Angger Puput jengkel, kula bli kuwat!”

* Kalau Puput marah, aku nggak kuat!

“Bli kuwat ngapa?”

* Nggak kuat apa?

“Bli kuwat weruh mrengute! Soale angger mrengut koh malah tambah ayune hehee!”

* Nggak kuat lihat cemberutnya! Soalnya kalau cemberut kok malah tambah cantik hehee!

”Aja ngomong ngaco! Kula  wis ora dewekan!”

* Jangan ngomong ngaco! Aku sudah tak sendiri!

Wis ana sing duwe Put? Kula telat napa?”

* Sudah ada yang punya? Aku terlambat apa?

“Embuuuh! Ora dewekan kuwe arane rombongan Ngga!”

* Nggak tahuuuu! Tidak sendirian itu berarti rombongan Ngga!

“Oalaaaahhh..... Puuuttt.... tek arani apa! Marai deg-degan ......”

* Oalaaaahhh .... Puuuut .... aku kira apa! Bikin deg-degan .....

“Uuuuh kaya maring apane baen? Kula niki apane sampeyan si?”

* Uuuuh kaya ke apanya saja! Aku ini apanya kamu sih?

“Calone! Hahaaa!”

* Calonnya! Hahaaa!

“Ngaco ah!”

*Ngaco ah!

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun