Gejala-gejalanya antara lain:
Insomnia menjelang tanggal jatuh tempo pajak
Kecemasan berlebihan tentang keuangan keluarga
Depresi akibat merasa "dirampok" oleh negara
Kehilangan motivasi untuk bekerja lebih keras
Kasus Nyata: Sindrom Pajak di Kalangan UMKM
Ibu Sari, pemilik warung makan di Surabaya, mengalami tekanan mental yang luar biasa sejak diberlakukannya pajak UMKM. "Dulu saya bisa tidur nyenyak, sekarang setiap malam mikir bagaimana bayar pajak bulan depan. Omzet naik sedikit, tapi pajak naik lebih banyak. Rasanya seperti lari di tempat," curhatnya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Yunani, selama krisis ekonomi 2010-2018, kenaikan drastis pajak menyebabkan lonjakan kasus bunuh diri. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat peningkatan 35% kasus depresi yang berkaitan dengan masalah keuangan dan pajak.
Brain Drain: Eksodus Talenta Terbaik
Ketika beban pajak tidak sebanding dengan kualitas hidup, talenta terbaik negeri mulai mempertimbangkan untuk hijrah. Data Kementerian Luar Negeri menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 50.000 warga Indonesia memilih untuk menjadi warga negara asing, dan 60% di antaranya adalah lulusan universitas terbaik.
Kisah Dito: Dari Bandung ke Singapura
Dito Mahardika, lulusan ITB jurusan Teknik Informatika, memutuskan pindah ke Singapura setelah frustrasi dengan sistem di Indonesia. "Di Indonesia, saya bayar pajak 25%, tapi infrastruktur teknologi buruk, sistem birokrasi ribet, dan layanan publik mengecewakan.
 Di Singapura, pajak saya lebih rendah, tapi saya dapat layanan kesehatan kelas dunia, transportasi publik yang fantastis, dan sistem pemerintahan yang efisien."
Bagian IV: Suara Para Ahli - Perspektif Teoritis dan Praktis
Thomas Piketty: Ketimpangan dalam Sistem Pajak
Ekonom Prancis pemenang berbagai penghargaan internasional, Thomas Piketty, dalam bukunya "Capital in the Twenty-First Century" (2014) mengkritik keras sistem perpajakan modern yang cenderung regresif. Menurutnya, sistem pajak yang adil harus progresif tidak hanya dalam tarif, tetapi juga dalam implementasinya.
"Yang terjadi di banyak negara adalah paradoks: mereka yang paling membutuhkan perlindungan negara justru yang paling berat menanggung beban pajak, sementara mereka yang paling mampu justru paling pandai menghindari pajak," ujar Piketty dalam wawancara dengan Le Monde (2019).
Joseph Stiglitz: Kritik terhadap Trickle-Down Theory
Ekonom pemenang Nobel Prize, Joseph Stiglitz, dalam bukunya "People, Power, and Profits" (2019) mengkritik asumsi bahwa pajak tinggi otomatis akan menghasilkan kesejahteraan yang tinggi. Menurutnya, yang penting bukan berapa besar pajak yang dipungut, tetapi bagaimana pajak tersebut dikelola dan didistribusikan.
"Sistem pajak yang baik bukanlah yang memungut paling banyak, tetapi yang paling adil dalam memungut dan paling efisien dalam mendistribusikan manfaatnya," kata Stiglitz dalam ceramahnya di World Economic Forum 2020.