Ketika PTNBH Berkilau, PTS Terancam Meredup
“Cahaya pendidikan seharusnya menerangi semua, bukan hanya segelintir yang mampu membeli terang.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah benar semua kampus punya kesempatan yang sama untuk tumbuh? Pertanyaan itu kembali ramai setelah Pikiran Rakyat (28 Agustus 2025) menurunkan berita “Kebijakan PTNBH Dinilai Rugikan PTS, DPR Minta Evaluasi”. Isu ini penting karena menyangkut keseimbangan peran antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).
Berita tersebut menyoroti kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) yang dinilai membuat PTS kehilangan hingga 40 persen mahasiswa baru. PTNBH kini semakin dominan berkat jalur mandiri yang kuotanya mencapai separuh total penerimaan. Situasi ini mengundang kritik tajam dari DPR karena dianggap memperlebar jurang ketimpangan akses pendidikan.
Sebagai penulis, saya melihat isu ini relevan dengan konteks keadilan sosial di dunia pendidikan. Jika PTNBH terus berkilau tanpa ada regulasi penyeimbang, PTS bisa meredup perlahan. Artikel ini mencoba membedah kritik, refleksi, dan harapan ke depan demi pendidikan tinggi yang lebih adil.
Ketimpangan Antara PTN dan PTS
Kebijakan PTNBH melalui Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022 memberi kuota hingga 50 persen bagi jalur mandiri. Hal ini membuat PTN lebih leluasa menerima mahasiswa baru, terutama mereka yang mampu secara finansial. Dampaknya, PTS kehilangan basis calon mahasiswa, terutama di kota-kota besar. Penurunan hingga 40 persen ini bukan sekadar angka, melainkan ancaman serius bagi keberlanjutan ribuan kampus swasta.
Dalam perspektif keadilan, kondisi ini menyalahi prinsip akses merata pada pendidikan tinggi. PTS yang selama ini berperan di wilayah terpencil kini semakin terhimpit. Negara seolah lebih memihak PTN, padahal kontribusi PTS tidak bisa diabaikan. Ketidakadilan ini berpotensi memperbesar jurang sosial antara mahasiswa PTN elit dan mereka yang gagal berkuliah karena PTS melemah.