Kritik utama adalah aroma komersialisasi yang makin kuat. Jalur mandiri sering dianggap sebagai “kursi berbayar”, dan hal ini menimbulkan problem etis. Jika dibiarkan, pendidikan tidak lagi jadi sarana mobilitas sosial, melainkan komoditas eksklusif. Inilah alarm yang seharusnya segera didengar pemerintah.
Bantuan Anggaran yang Tidak Berimbang
Anggota Komisi X DPR, Sofyan Tan, menegaskan bahwa bantuan PTS dari pemerintah hanya sekitar Rp300 miliar. Angka ini tentu sangat kecil dibanding Rp6,018 triliun untuk PTN. Perbedaan mencolok ini menegaskan bahwa negara masih memandang PTS sebagai “warga kelas dua” dalam ekosistem pendidikan. Padahal jumlah PTS mencapai lebih dari 2.000 institusi di seluruh Indonesia.
Kesenjangan anggaran ini menciptakan dua persoalan serius. Pertama, kualitas PTS sulit berkembang tanpa dukungan finansial yang memadai. Kedua, beban biaya akhirnya ditanggung mahasiswa dan orang tua, yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya, PTS semakin sulit bersaing dengan PTN yang disubsidi besar.
Kritik yang muncul jelas: negara harus konsisten dengan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak adil jika PTN mendapat kue besar sementara PTS hanya remah. Pemerataan anggaran bukan sekadar angka, tetapi representasi keadilan sosial.
Otonomi atau Komersialisasi?
PTNBH lahir dengan gagasan otonomi akademik dan keuangan. Namun, otonomi ini dalam praktik sering membuka ruang komersialisasi berlebihan. Dengan kuota mandiri yang besar, PTNBH bisa mengandalkan pemasukan dari biaya kuliah tinggi. Inilah yang menimbulkan kesan bahwa pendidikan kian dikomersialkan.
Bagi PTS, kondisi ini jelas menimbulkan persaingan tidak sehat. Mereka harus bersaing dengan PTN yang mendapat subsidi sekaligus kebebasan menarik biaya dari mahasiswa. Dalam jangka panjang, PTS bisa tersingkir bila tak ada kebijakan afirmatif. Ketimpangan struktural ini menyangkut arah pembangunan SDM, bukan sekadar isu teknis.
Refleksi pentingnya: apakah kita rela pendidikan tinggi Indonesia hanya dimiliki segelintir kampus besar? Atau kita ingin keberagaman kampus tetap hidup untuk melayani seluruh anak bangsa? Pertanyaan ini harus segera dijawab dengan kebijakan yang lebih adil.
Urgensi Evaluasi Regulasi