Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika PTNBH Berkilau, PTS Terancam Meredup

1 September 2025   16:53 Diperbarui: 1 September 2025   16:53 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebijakan PTNBH dinilai makin memperparah ketimpangan jumlah mahasiswa antara PTN dengan PTS. /Antara Foto/Aprillio Akbar.

Ketika PTNBH Berkilau, PTS Terancam Meredup

“Cahaya pendidikan seharusnya menerangi semua, bukan hanya segelintir yang mampu membeli terang.”

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah benar semua kampus punya kesempatan yang sama untuk tumbuh? Pertanyaan itu kembali ramai setelah Pikiran Rakyat (28 Agustus 2025) menurunkan berita “Kebijakan PTNBH Dinilai Rugikan PTS, DPR Minta Evaluasi”. Isu ini penting karena menyangkut keseimbangan peran antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS).

Berita tersebut menyoroti kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) yang dinilai membuat PTS kehilangan hingga 40 persen mahasiswa baru. PTNBH kini semakin dominan berkat jalur mandiri yang kuotanya mencapai separuh total penerimaan. Situasi ini mengundang kritik tajam dari DPR karena dianggap memperlebar jurang ketimpangan akses pendidikan.

Sebagai penulis, saya melihat isu ini relevan dengan konteks keadilan sosial di dunia pendidikan. Jika PTNBH terus berkilau tanpa ada regulasi penyeimbang, PTS bisa meredup perlahan. Artikel ini mencoba membedah kritik, refleksi, dan harapan ke depan demi pendidikan tinggi yang lebih adil.

Ketimpangan Antara PTN dan PTS

Kebijakan PTNBH melalui Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022 memberi kuota hingga 50 persen bagi jalur mandiri. Hal ini membuat PTN lebih leluasa menerima mahasiswa baru, terutama mereka yang mampu secara finansial. Dampaknya, PTS kehilangan basis calon mahasiswa, terutama di kota-kota besar. Penurunan hingga 40 persen ini bukan sekadar angka, melainkan ancaman serius bagi keberlanjutan ribuan kampus swasta.

Dalam perspektif keadilan, kondisi ini menyalahi prinsip akses merata pada pendidikan tinggi. PTS yang selama ini berperan di wilayah terpencil kini semakin terhimpit. Negara seolah lebih memihak PTN, padahal kontribusi PTS tidak bisa diabaikan. Ketidakadilan ini berpotensi memperbesar jurang sosial antara mahasiswa PTN elit dan mereka yang gagal berkuliah karena PTS melemah.

Kritik utama adalah aroma komersialisasi yang makin kuat. Jalur mandiri sering dianggap sebagai “kursi berbayar”, dan hal ini menimbulkan problem etis. Jika dibiarkan, pendidikan tidak lagi jadi sarana mobilitas sosial, melainkan komoditas eksklusif. Inilah alarm yang seharusnya segera didengar pemerintah.

Sejumlah Narsum dalam seminar Nasional Menyelamatkan Nasib PTS, di Kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Rabu (27/8/2025). (Foto: iNews)
Sejumlah Narsum dalam seminar Nasional Menyelamatkan Nasib PTS, di Kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Rabu (27/8/2025). (Foto: iNews)

Bantuan Anggaran yang Tidak Berimbang

Anggota Komisi X DPR, Sofyan Tan, menegaskan bahwa bantuan PTS dari pemerintah hanya sekitar Rp300 miliar. Angka ini tentu sangat kecil dibanding Rp6,018 triliun untuk PTN. Perbedaan mencolok ini menegaskan bahwa negara masih memandang PTS sebagai “warga kelas dua” dalam ekosistem pendidikan. Padahal jumlah PTS mencapai lebih dari 2.000 institusi di seluruh Indonesia.

Kesenjangan anggaran ini menciptakan dua persoalan serius. Pertama, kualitas PTS sulit berkembang tanpa dukungan finansial yang memadai. Kedua, beban biaya akhirnya ditanggung mahasiswa dan orang tua, yang notabene berasal dari kalangan menengah ke bawah. Akibatnya, PTS semakin sulit bersaing dengan PTN yang disubsidi besar.

Kritik yang muncul jelas: negara harus konsisten dengan amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak adil jika PTN mendapat kue besar sementara PTS hanya remah. Pemerataan anggaran bukan sekadar angka, tetapi representasi keadilan sosial.

Otonomi atau Komersialisasi?

PTNBH lahir dengan gagasan otonomi akademik dan keuangan. Namun, otonomi ini dalam praktik sering membuka ruang komersialisasi berlebihan. Dengan kuota mandiri yang besar, PTNBH bisa mengandalkan pemasukan dari biaya kuliah tinggi. Inilah yang menimbulkan kesan bahwa pendidikan kian dikomersialkan.

Bagi PTS, kondisi ini jelas menimbulkan persaingan tidak sehat. Mereka harus bersaing dengan PTN yang mendapat subsidi sekaligus kebebasan menarik biaya dari mahasiswa. Dalam jangka panjang, PTS bisa tersingkir bila tak ada kebijakan afirmatif. Ketimpangan struktural ini menyangkut arah pembangunan SDM, bukan sekadar isu teknis.

Refleksi pentingnya: apakah kita rela pendidikan tinggi Indonesia hanya dimiliki segelintir kampus besar? Atau kita ingin keberagaman kampus tetap hidup untuk melayani seluruh anak bangsa? Pertanyaan ini harus segera dijawab dengan kebijakan yang lebih adil.

Urgensi Evaluasi Regulasi

84 Kampus Swasta Terancam Ditutup, Komisi X DPR Khawatir Nasib Mahasiswa. (dok. detiknews) 
84 Kampus Swasta Terancam Ditutup, Komisi X DPR Khawatir Nasib Mahasiswa. (dok. detiknews) 

Komisi X DPR menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap Permendikbudristek 48/2022. Regulasi yang memberi ruang besar jalur mandiri harus ditinjau ulang agar tidak merugikan PTS. Jika perlu, revisi harus dilakukan untuk menutup celah ketidakadilan. Negara tidak boleh abai karena eksistensi PTS adalah pilar penting bagi demokratisasi pendidikan.

Evaluasi ini bukan sekadar administratif, melainkan langkah strategis untuk meluruskan arah pendidikan tinggi. Dengan menyeimbangkan peran PTN dan PTS, negara bisa memastikan akses pendidikan lebih inklusif. Keberadaan PTS sangat vital di daerah yang belum terjangkau PTN.

Refleksi kita: regulasi pendidikan tinggi harus berlandaskan keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi pasar. Pendidikan bukan bisnis, melainkan hak publik yang harus dijaga negara.

Harapan bagi Masa Depan Pendidikan Tinggi

Meski banyak kritik, PTNBH tetap punya sisi positif jika dikelola benar. Otonomi dapat mendorong inovasi akademik, riset, dan kemandirian keuangan. Namun, inovasi tidak boleh menyingkirkan keadilan. Pemerintah harus memastikan PTS tidak menjadi korban liberalisasi pendidikan yang kebablasan.

Harapan ke depan adalah kolaborasi, bukan persaingan destruktif. Pemerintah bisa menciptakan skema hibah, subsidi silang, atau insentif khusus bagi PTS yang berprestasi. Dengan demikian, keberadaan PTS tetap terjaga dan masyarakat punya banyak pilihan kampus.

Refleksi terakhir: pendidikan tinggi Indonesia harus bergerak menuju keadilan substantif. Jangan sampai ada kampus yang runtuh hanya karena regulasi timpang. Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”

Penutup

Isu PTNBH dan ketimpangan dengan PTS bukan sekadar wacana teknis, melainkan problem keadilan sosial. Evaluasi regulasi mutlak dilakukan agar pendidikan tidak berubah menjadi komoditas eksklusif. Pemerintah, DPR, PTN, dan PTS harus duduk bersama untuk membangun sistem yang adil.

Kita tidak boleh melupakan tujuan luhur pendidikan nasional: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika regulasi dibiarkan timpang, cita-cita itu terancam hanya menjadi slogan. “Keadilan dalam pendidikan adalah pondasi masa depan bangsa.” Wallahu a'lam

Disclaimer

Tulisan ini merupakan opini penulis berdasarkan pemberitaan media dan analisis kebijakan.

Daftar Pustaka

  1. Muhammad Ashari, Ramadhan D. Waluya (Ed.). 2025. Kebijakan PTNBH Dinilai Rugikan PTS, DPR Minta Evaluasi. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-019605810/kebijakan-ptnbh-dinilai-rugikan-pts-dpr-minta-evaluasi?page=all
  2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945
  3. Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022. https://peraturan.bpk.go.id/Details/249297
  4. Antara. 2025. Komisi X DPR Desak Evaluasi PTNBH. https://www.antaranews.com
  5. Kompas.com. 2025. PTS Masih Terpinggirkan dalam Kebijakan Pendidikan Tinggi. https://www.kompas.com/edukasi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun