Ketika Ketus Menjadi Bahasa Cinta yang Salah Kaprah
Ada satu ironi dalam struktur keluarga modern: kita mengidamkan koneksi, tapi sering kali membangun tembok. Kita menginginkan kehangatan, tapi justru memilih dingin sebagai benteng. Dan di antara semua peran keluarga, ada satu sosok yang paling sering dipahami secara keliru, mertua yang ketus.
Ia bukan jahat. Ia tidak bermaksud menyakiti. Tapi caranya mencintai (jika memang itu cinta) terbungkus dalam sikap yang menusuk: sinis, dingin, mengontrol, atau mengabaikan. Ia tidak memeluk, tapi menguji. Ia tidak menyambut, tapi menilai. Ia tidak berkata, "Selamat datang," tapi lebih sering menyiratkan, "Kamu harus membuktikan diri."
Lalu, mengapa?
Mengapa seorang mertua, yang seharusnya menjadi penjaga kehangatan, justru menjadi sumber ketegangan? Mengapa kasih sayang yang seharusnya mengalir justru membeku di ambang pintu?
Ketakutan yang Berpindah Generasi: Ketika Cinta Berubah Jadi Kontrol
Di balik ketus itu, bukan benci yang bersembunyi, tapi takut. Takut kehilangan. Takut digantikan. Takut tidak lagi dibutuhkan.
Dalam psikologi perkembangan, ikatan antara orang tua dan anak (terutama ibu dan anak laki-laki) Â sering kali membentuk drama emosional yang tak terlihat. Anak bukan sekadar darah daging, tapi juga proyeksi identitas, harapan, dan bahkan kegagalan yang belum terselesaikan. Ketika anak tumbuh, menemukan cinta, dan mulai membentuk dunia barunya, orang tua terutama yang terlalu terikat secara emosional merasa dunianya runtuh.
Maka, datangnya calon menantu bukan sekadar tambahan anggota keluarga. Ia adalah ancaman eksistensial.
Dan alih-alih menyambut ancaman itu dengan terbuka, banyak orang tua memilih strategi pertahanan: ketus. Ketus bukanlah bentuk penolakan, melainkan mekanisme pertahanan psikologis, cara untuk menjaga jarak, menguji, dan memastikan bahwa "pengganti" ini layak. Ketus adalah benteng dari rasa rapuh yang tidak ingin diakui.
Dalam perspektif teori keterikatan (attachment theory), mertua yang ketus sering kali memiliki pola anxious-preoccupied atau fearful-avoidant: mereka sangat butuh kedekatan, tapi takut akan kehilangan kendali. Maka, mereka menciptakan dinamika di mana menantu harus "lulus ujian" untuk bisa diterima, sebuah skenario yang tidak pernah bisa benar-benar dimenangkan, karena batasnya selalu bergerak.