Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Ketus Menjadi Bahasa Cinta yang Salah Kaprah

26 Agustus 2025   14:43 Diperbarui: 26 Agustus 2025   14:43 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Tapi cinta yang sehat tidak perlu merendahkan. Cinta yang utuh tidak perlu menguji sampai seseorang menangis. Cinta yang dewasa tidak memaksa pasangan untuk memilih antara dirinya dan keluarganya.

Ketika cinta diwujudkan sebagai kontrol, ketus, atau penghakiman, maka ia telah terdistorsi. Ia bukan lagi kasih sayang, tapi proyeksi kecemasan, ambisi, dan trauma yang belum sembuh.

Dan di sinilah letak paradoks: Mertua yang ketus sering kali adalah orang yang paling mencintai anaknya.
Tapi sayangnya, cintanya terperangkap dalam bentuk yang merusak.

Jalan Keluar: Menuju Relasi yang Lebih Dewasa

Solusi tidak terletak pada menuntut mertua untuk berubah, karena orang dewasa jarang berubah hanya karena diminta. Tapi pada membangun sistem relasi yang sehat, di mana batas dihormati, komunikasi dibuka, dan kemerdekaan pasangan dijunjung.

Pasangan muda harus berani menjadi penengah yang tegas, bukan penonton yang pasif. Mereka harus mampu berkata:"Aku menghargai Ibu, tapi aku juga harus melindungi dia."

Dan bagi calon menantu, memahami akar ketus bukan berarti menerima perlakuan buruk. Memahami adalah bentuk empati. Tapi empati tidak berarti penyerahan diri.

Kita bisa memahami luka orang tua, tapi tetap menolak untuk menjadi korban. Kita bisa menghormati usia dan pengalaman mereka, tapi tetap menjaga harga diri kita utuh.

Penutup: Ketus Bukan Takdir, Tapi Cermin

Mertua yang ketus adalah cermin. Ia memantulkan ketakutan kolektif kita akan kehilangan. Ia menunjukkan betapa rapuhnya kita terhadap perubahan. Ia mengungkap betapa kita masih mengukur cinta dengan standar sosial, bukan kedalaman hubungan.

Tapi di balik semua itu, ada harapan: Bahwa keluarga bukan tempat di mana kita harus membuktikan diri. Tapi tempat kita bisa berhenti berpura-pura.

Dan mungkin, suatu hari, ketus itu akan runtuh, bukan karena dikalahkan, tapi karena digantikan oleh kehadiran yang tenang: cinta yang tidak perlu diuji, karena ia sudah tahu dirinya diterima.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun