Tapi ketus bukan hanya soal emosi pribadi. Ia juga produk dari struktur sosial.
Dalam banyak budaya kolektivis seperti di Asia, termasuk Indonesia, keluarga bukan hanya unit privat, tapi juga institusi publik. Reputasi keluarga, status sosial, dan norma adat menjadi mata uang yang sangat bernilai. Dan menantu, entah sadar atau tidak, adalah bagian dari strategi sosial keluarga.
Maka, ketika seorang calon menantu datang dengan latar belakang yang berbeda (suku, agama, kelas ekonomi, pendidikan) ia bukan hanya diuji sebagai individu, tapi sebagai representasi dari kelompoknya. Apakah dia akan "naikkan derajat" keluarga? Apakah dia akan memperkuat jaringan sosial? Apakah dia akan membawa "malu" atau "bangga"?
Dalam konteks ini, ketus bukan sekadar sikap, tapi sanksi sosial awal. Ia adalah cara untuk menegaskan hierarki, menguji komitmen, dan memastikan bahwa nilai-nilai keluarga tidak dikompromikan.
Dan ironisnya, semakin tinggi tekanan sosial yang dirasakan keluarga (misalnya, dari tetangga, saudara, atau komunitas), semakin keras pula "ujian" yang diberikan. Ketus menjadi simbol bahwa keluarga itu tidak sembarangan. Bahwa mereka memiliki standar.
Transisi Peran yang Tertunda: Ibu yang Belum Siap Menjadi Mertua
Secara sosiologis, menjadi mertua adalah sebuah transisi peran yang sering kali tidak disiapkan. Tidak ada pelatihan. Tidak ada ritual formal. Tidak ada panduan. Tiba-tiba, kamu bukan lagi "ibu dari si Anak", tapi "ibu dari si Anak yang sudah punya pasangan".
Perubahan ini mengandung kehilangan: Kehilangan posisi sebagai pusat perhatian anak. Kehilangan kendali atas keputusan hidupnya. Kehilangan ilusi bahwa kamu selalu menjadi yang paling tahu apa yang terbaik untuknya.
Dan bagi banyak orang tua, terutama yang memiliki identitas yang sangat terikat pada peran keibuan, transisi ini bisa menyakitkan. Maka, alih-alih melepas, mereka memilih mengontrol. Ketus menjadi cara untuk tetap merasa relevan, penting, dan dihormati.
Dalam hal ini, ketus bukanlah kebencian terhadap menantu, tapi kesedihan terhadap diri sendiri yang perlahan menghilang dari narasi anaknya.
Cinta yang Terdistorsi: Ketika Proteksi Berubah Jadi Penyiksaan Emosional
Yang paling tragis adalah ketika semua ini dilakukan dalam nama cinta.
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk anakku."
"Aku melindungi dia dari orang yang salah."
"Aku uji karena aku peduli."