Pulangku ke sebuah rumah yang pernah kutinggali dan kutinggalkan.
Sebuah rumah kecil yang hangat oleh aroma kayu manis dan harum cengkih serta vanila dari dalam dapur
Setiap pagi cahaya meluruh, menyusup celah-celah jendela rumah. Ya, sekadar menemani secangkir kopi atau coklat hangat di atas meja kecil berukir dua inisial nama
Sofa ruangan bertanda kisah dan cerita yang mengalir tulus tanpa paksa, derai tawa, sedikit pertengkaran, namun terlebih banyak pelukan
Tak ada kisah muluk atau janji sekarat di sana. Karena mimpi-mimpi terlampau lelah menempuh jalan panjangnya
Rumah yang mengajarkanku bernyali dan menyalakan nyali, bahkan menjaganya bila sedang meredup
Aku rindu rumah itu,
tempat tanpa nama, tanpa papan iklan atau spanduk liar di tubuh pepohonan. Tempat pemikiran senantiasa menari, bernyanyi, tanpa takut intimidasi
Kehangatan selalu tersedia di sana, mas. Kehangatan dari sebuah cinta roman seorang anak manusia.
Cinta yang tak pernah luput mengalir lembut mengajarkanku betapa berharga diriku baginya. Setiap hari diberikannya padaku selapis rasa sederhana yang tak pernah memaksa. Ia mau menunggu karena ia tahu aku belum mampu. Namun, setiap hari pula ia percaya aku pasti bisa menaklukkan ketakutanku.
Aku tahu, bekalku dari sini begitu tipis. Tetapi, masih ada sekeping rindu di saku celanaku. Kurasa, cukuplah untuk membeli secarik tiket.
ke rumah tempat aku merasa: pulang