Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Urai Cemas, Peluk Tenang dengan Mindfulness

12 Juli 2021   10:10 Diperbarui: 18 Mei 2022   21:25 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi grounding | Gambar: Benjamin Child via unsplash

Hmmm, baru saja saya ingin membagikan secuil peristiwa yang beberapa minggu ini melewati ruang benak saya. 

Ya, apalagi bila bukan tentang kecemasan. 

Kurang lebih dua minggu yang lalu, seorang kawan datang ke rumah. Sambil berlinang air mata ia hanya sempat berucap, "Yuk, adhiku mlebu RSJ mau awan." (Ayuk, adikku masuk RS Jiwa tadi siang.) 

Saat itu saya hanya diam. Sembari duduk, ia mulai bercerita tentang kehilangan relasi dengan adiknya yang harus menjalani perawatan khusus di rumah sakit jiwa karena depresi akut.

Selang beberapa hari kemudian saya mendapat berita duka, adik sepupu saya meninggal dunia karena terpapar virus covid-19.

Satu minggu yang lalu, kedua adik saya harus menjalani isolasi mandiri di rumah mereka masing-masing, karena ketersediaan ruang bagi pasien positif covid di rumah sakit Solo telah dipadati antrian panjang. Maka mau tidak mau mereka harus berjuang dengan saturasi oksigen yang mendekati limit. 

Acap kali, panik mendera. Tak jarang room chat saya dihiasi percakapan singkat kami tentang cemas yang begitu menekan. Kadang terdengar suara putus asa dari balik bilik algoritma. 

"Doakan aku ya, Mbak. Ndak bisa nafas ini," begitu kesah yang saya dengar di sela berat upaya mereka menggapai oksigen bebas. 

Setiap hari arus informasi tentang persebaran virus covid-19 seakan terus mendera dan memenuhi laci pikiran kita. 

Serasa lelah. Capek. Ya, saya mengerti. Saat ini kita sedang diterpa badai yang menjulang tinggi, seakan menghalangi seluruh pandangan kita. 

Belum usai berita tentang kehilangan mereka yang kita cintai, sirine kecemasan serasa terus berkumandang mendengungkan kepanikan massal. Ya, panic buying seketika melanda. 

Seperti saat saya harus ke apotik, karena persediaan masker kami menipis. Saat harus mengantri, saya melihat ada seorang ibu yang memborong obat flu, suplemen vitamin, obat cacing, pun ia tak lupa bertanya harga ivermectin yang melambung hingga kurang lebih dua ratus ribuan. "Itu kalau ada barangnya, Bu," gumam sang sales obat.

Hffth...

Beragam Aksi Distraksi 

Berita kehilangan dan luka karena duka yang mendera menuntut kita untuk terus bertahan melalui hari demi hari yang tidak pernah pasti. 

Kehilangan relasi dengan gebetan, kehilangan seseorang yang tanpa kita duga harus meninggal terpapar covid, atau kehilangan pekerjaan sehingga ekonomi keluarga menjadi morat-marit seakan terus-menerus membuat kita berada pada ambang batas kesadaran diri.

Beberapa memilih untuk meluapkan emosi yang ada. Entah itu marah, takut, sedih, atau emosi lainnya secara berlebihan dengan dalih sebagai respon untuk memvalidasi emosi yang sedang dirasakan. 

Beberapa lagi memilih untuk memendam, meredam, menekan segala bentuk emosi dan mengatakan bahwa semua sedang baik-baik saja. 

Lempar senyum, atau bahkan tertawa sekeras-kerasnya agar apa yang sebenarnya kita rasakan menjadi invalid. 

Beberapa dari kita memilih beragam distraksi untuk mengalihkan rasa gelisah dan cemas yang sedang dihadapi. 

Segala emosi yang datang dialihkan pada perubahan kebiasaan makan yang berlebihan, berbelanja online secara berlebih, atau scrolling media sosial selepas bekerja. 

Maksud hati memang ingin menghilangkan penat atau hanya sekadar ingin melindungi diri dari kecemasan dengan mencari informasi sebanyak mungkin tentang apa yang terjadi di sekitar kita.

Meski saat itu sebenarnya kita sadar bahwa tubuh kita lelah, mata terasa perih dan pedas, kepala terasa pusing, tengkuk nyeri, perut mual, tetapi tetap saja kita melakukan aksi distraksi. 

Sadarkah bahwa sebenarnya distraksi tersebut selayaknya pain killer bagi kecemasan kita? 

Saya tidak sedang menyalahkan penggunaan teknologi lho, kawan. Saya tetap sadar, bahwa kita juga memerlukan teknologi yang harus kita akui selama ini bermanfaat buat kita, bukan?

Hanya saja dalam hal ini nampaknya yang kita butuhkan adalah sebuah BATASAN.

Okay, kuy kita kulik lagi....

Sebenarnya Anxiety, Depresi dan Stres Itu Apa Sih?

Sebelum melangkah lebih lanjut, mari terlebih dahulu belajar tentang perbedaan stres dan depresi supaya kita tidak menjadi blunder dengan dua istilah ini. 

Secara singkat, stres dan depresi berbeda dalam hal stimulan, durasi, maupun frekuensi terjadinya. 

Stres, terjadi apabila ada stimulan atau stresor yang memicu. Durasi stres biasanya lebih singkat dari pada depresi.

Apabila stresor muncul, maka amygdala kita akan memberi rambu-rambu tentang adanya bahaya yang mengancam kita. Lalu tubuh kita akan memproduksi hormon kortisol, adrenalin dan norpenophrine.

Sebagai contoh, pada saat kita akan menjalani sidang skripsi, maka yang sering terjadi adalah kita menganggap ujian tersebut sebagai ancaman yang harus diselesaikan. Maka kita akan belajar dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi sidang skripsi tersebut. 

Seusai sidang, tingkat stres dalam diri kita akan berkurang. Hormon stres atau kortisol dalam diri kita kan menurun, kemudian kita akan kembali seperti pada kondisi normal.

Sedangkan depresi merupakan suatu kondisi perubahan mood (suasana hati) yang berdurasi lebih panjang. Biasanya berlangsung dalam hitungan mingguan atau lebih. 

Depresi dapat terjadi tanpa disertai dengan stimulan tertentu. Timbulnya perasaan sedih yang berkepanjangan biasanya muncul secara tiba-tiba tanpa diketahui pemicunya pada umumnya.

Apa yang dialami oleh adik teman saya di atas, adalah contoh yang paling dekat. Ada saat dia dekat dengan anak-anak dan istrinya, namun dalam sekejap ia menangis histeris, bahkan mengalami gangguan halusinasi dan delusi.

Pada dasarnya, anxiety atau kecemasan sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi pada kita. Normal. 

Yang menjadikan tidak normal apabila anxiety terjadi dalam durasi yang sangat panjang. Kondisi tersebut dapat mengalibatkan seeorang mengalami gangguan kecemasan. 

Dalam American Psychological Assosiation (APA) anxiety merupakan suatu reaksi emosional terhadap stres. Reaksi tersebut biasanya disertai dengan perubahan tekanan darah. 

Kay, next....

Kehilangan yang kita rasakan selama masa pandemi ini memang sangat mengguncang. Ada kemungkinan kita lose control. 

Untuk menjaga keseimbangan ini, di sini saya akan berbagi apa yang saya pernah dapatkan pada masa saya menjalani masa grieving. 

So, mari kita bersama belajar tentang :

Pahami dan Tetap Sadar Bahwa Kita Berada di Masa Sekarang

Seringkali kita tertipu oleh pikiran kita. Pikiran datang tanpa dapat kita duga. Padahal, seperti banyak ahli kesehatan mental sering suarakan, bahwa pikiran belum tentu sama seperti pada kemyataan. Saya sendiri sampai sekarang pun sedang dan masih belajar untuk mengendalikan segala pikiran yang terkadang ramai dalam benak saya.

Salah satu teknik yang saya pelajari adalah teknik grounding (maaf saya lebih memilih menggunakan bahasa asing ini, Kawan). Caranya?

  • Ambil posisi duduk yang nyaman, usahakan kaki kita bersentuhan dengan lantai. Boleh duduk di kursi, asal usahakan kaki menyentuh lantai atau tanah.
  • Duduk dengan posisi tegak.
  • Ambil napas dalam hitungan 4 detik, lalu buang napas dalam hitungan 8 detik. 
  • Lakukan ini secara berulang, hingga kita merasa lebih relax. 
  • Tahap berikutnya, mari gunakan indera kita. Usahakan untuk tidak mmemberikan penghakiman pada apa pun yang ditangkap oleh indera kita. 

Pertama, gunakan mata kita, lihat dan coba sebutkan lima benda di sekitar kita. Dinding yang berwarna putih, meja tulis, buku jurnal, PC, atau apa pun yang kita lihat.

Kedua, coba rasakan tangan kita menyentuh kursi atau kaki kita yang sedang menyentuh lantai. Cobalah sebutkan empat macam benda yang kita sentuh "oh, lantai ini dingin" atau "kayu kursi ini keras".

Kemudian, gunakan telinga kita, cobalah menyebutkan tiga hal yang kita dengar. Suara perut kita yang lapar, suara detak jarum jam, dan segala yang mampu kita dengar. 

Tetap lanjutkan siklus napas yang kita pelajari. Masih dengan 4 hitungan tarik napas dan hembuskan dalam 8 hitungan. Kemudian mulailah menyebutkan dua macam bau di sekitar kita tanpa menghakiminya. 

Lanjutkan dengan mengecap rasa di dalam mulut kita. Lalu sebut satu macam rasa makanan atau minuman yang dapat kita rasakan dalam mulut kita. "Mmm, saya ada rasa gurih kwetiaw goreng, lunch saya tadi siang".

Note:

Lakukan secara rutin atau pada saat pikiran kita terlalu ramai. Saya pun masih melakukannya. Mudah dan murah, bukan?

Teknik grounding dengan melibatkan indera kita ini biasanya hanya dapat digunakan ketika kita mengalami stres maupun depresi dalam skala ringan. 

Apabila oleh diagnosa psikiater atau psikolog menyatakan kita mengalami gangguan depresi, maka sebaiknyalah kita rutin mengikuti arahan terapi dari psikiater atau psikolog yang terkait.

#StaySafe #StayHealth #StaySane

Semoga dapat bermanfaat dan menginspirasi.

Sampai jumpa!

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun