Di sepanjang jalan kota kecil yang belum ramai ini dipenuhi dengan ganggroon bertebaran di mana-mana. Binatang itu semua mati terlindas mobil, atau mati karena entah apa.Â
Yang paling mengerikan, bahkan ada beberapa mayat tergeletak di sepanjang jalan, baik di badan jalan ataupun di trotoar. Yang kulihat kebanyakan dari mayat tersebut berubah seperti mayat yang diawetkan berusia ratusan tahun. Rambut mayat-mayat itu rontok. Ya, seperti tak melekat lagi pada kepala.Â
Sekali saja angin bertiup, maka rambut mereka ikut melayang, berterbangan di udara. Sungguh sangat mengerikan.Â
Aku melihat Thea. Ia seakan tak perduli apa yang sedang terjadi. Pandangannya tak tergeser dari jalan lurus di depan kami. Syukurlah, paling tidak, ia tak terpengaruh semua ini. Atau malah ia sudah terbiasa dengan pemandangan semacam ini.
Perjalananku masih panjang. Keluar dari kota kecil ini, aku dan Thea mengendarai mobil Ayah melewati jalan yang sangat tandus. Kering dengan suhu udara yang cukup tinggi. Panas sekali.Â
Sudah satu setengah jam Thea mengendarai mobil ini, dan tak ada satu pun kedai kopi yang kami lewati. Tiba-tiba Thea menghentikan laju mobil itu.
"Kenapa kita berhenti di sini, Thea?"
"Paling tidak kita sudah agak jauh dari kota. Tunggu," Thea mengeluarkan satu benda kecil. Bentuknya hampir mirip bedak. Ya, warnanya hitam. Mengkilap. Tapi, buat apa Thea berdandan di tempat segersang ini? Aneh.
Benda kecil yang punya beberapa tombol itu disentuhnya, lalu tiba-tiba di hadapan kami keluar sebuah peta hologram. Thea menekan beberapa tombol dari keyboard dalam hologram itu. Ada semacam bunyi aneh dari alat itu. Aku memperhatikannya, meski aku tak tahu apa yang ia lakukan.
Seperti dalam film-film yang biasa kulihat bersama Ipung. Ipung? Kasihan sekali dia. Ah, sudahlah. Semua kejadian ini sudah cukup menguras pikiranku. Aku tak mau ditambah lagi. Uuuqgh...
Lalu kami kembali meneruskan perjalanan kami, setengah jam kemudian kami sampai di sebuah kedai kopi, dan kami menepi di situ.