Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 3: "Old Castle"]

11 Oktober 2019   12:00 Diperbarui: 11 Oktober 2019   12:12 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: smartvoyageur.com

Pagi masih bersembunyi di balik senyuman rembulan yang masih menantang hari. Tak banyak yang terjadi. Pintu garasi terbuka sedikit. Thea hanya membawa satu tas sandang kecil di pundaknya. Aku mengikuti dari belakang. 

Kami akhirnya memilih untuk meninggalkan kota dengan mengendarai mobil yang biasanya dipakai Ayah. 

Jalanan sepi. Suara-suara bom yang sempat terdengar kemarin, tak lagi kedengaran. Dari samping lorong jalan antara gerbang rumah dan garasi, aku melihat ada begitu banyak binatang semacam kumbang bertebaran mati di sepanjang lorong itu.

Kumbang itu berukuran sebesar ayam kalkun yang biasa kusajikan di meja saat Thanksgiving. Ada sayap berwarna hitam dengan gradasi hijau mengkilap. Kepalanya bertanduk dua, kiri dan kanan. Matanya seperti mata lalat. Ada taring yang menyeringai panjang di depan mulut yang tertutup.

"Menjijikkan. Binatang apa ini?"

"Ganggroon," jawab Thea singkat.

"Ganggroon?" 

"Ayo cepat kita harus mengejar waktu. Nanti aku jelaskan di jalan . Masuklah ke mobil. Biar aku yang menyetir,"

Aku dan Thea segera pergi meninggalkan kota kecil tempat kami tinggal. Di sepanjang perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun. Tidak. Ini perjalanan pertamaku bersama orang lain. Bukan dengan Ayahku. 

Ayah, Ipung, oh kemana kalian?  Aku merasa sendiri. Suatu perjalanan panjang yang masih harus kutempuh bersama satu-satunya orang yang pernah kukenal. Ya. Hanya Thea yang selama ini kukenal.

Di sepanjang jalan kota kecil yang belum ramai ini dipenuhi dengan ganggroon bertebaran di mana-mana. Binatang itu semua mati terlindas mobil, atau mati karena entah apa. 

Yang paling mengerikan, bahkan ada beberapa mayat tergeletak di sepanjang jalan, baik di badan jalan ataupun di trotoar. Yang kulihat kebanyakan dari mayat tersebut berubah seperti mayat yang diawetkan berusia ratusan tahun. Rambut mayat-mayat itu rontok. Ya, seperti tak melekat lagi pada kepala. 

Sekali saja angin bertiup, maka rambut mereka ikut melayang, berterbangan di udara. Sungguh sangat mengerikan. 

Aku melihat Thea. Ia seakan tak perduli apa yang sedang terjadi. Pandangannya tak tergeser dari jalan lurus di depan kami. Syukurlah, paling tidak, ia tak terpengaruh semua ini. Atau malah ia sudah terbiasa dengan pemandangan semacam ini.

Perjalananku masih panjang. Keluar dari kota kecil ini, aku dan Thea mengendarai mobil Ayah melewati jalan yang sangat tandus. Kering dengan suhu udara yang cukup tinggi. Panas sekali. 

Sudah satu setengah jam Thea mengendarai mobil ini, dan tak ada satu pun kedai kopi yang kami lewati. Tiba-tiba Thea menghentikan laju mobil itu.

"Kenapa kita berhenti di sini, Thea?"

"Paling tidak kita sudah agak jauh dari kota. Tunggu," Thea mengeluarkan satu benda kecil. Bentuknya hampir mirip bedak. Ya, warnanya hitam. Mengkilap. Tapi, buat apa Thea berdandan di tempat segersang ini? Aneh.

Benda kecil yang punya beberapa tombol itu disentuhnya, lalu tiba-tiba di hadapan kami keluar sebuah peta hologram. Thea menekan beberapa tombol dari keyboard dalam hologram itu. Ada semacam bunyi aneh dari alat itu. Aku memperhatikannya, meski aku tak tahu apa yang ia lakukan.

Seperti dalam film-film yang biasa kulihat bersama Ipung. Ipung? Kasihan sekali dia. Ah, sudahlah. Semua kejadian ini sudah cukup menguras pikiranku. Aku tak mau ditambah lagi. Uuuqgh...

Lalu kami kembali meneruskan perjalanan kami, setengah jam kemudian kami sampai di sebuah kedai kopi, dan kami menepi di situ.

"Ayo kita cari makan, Tuanku,"

"Thea...panggil aku Sherin. Akan aneh kedengaran orang kalau kau terus-menerus memanggilku Tuan Putri."

"Baik, Sherin. Kita cari makan dulu. Logika tanpa logistik itu mati rasanya."

Adakalanya aku harus menuruti kata-kata Thea. Ya, bukankah dia satu-satunya orang yang (mau atau tak mau) harus kupercaya?

Setelah bisnis urusan perut selesai, dan mobil kami cukup penuh dengan bahan bakar, kembali kami melanjutkan perjalanan.

"Sekarang kita akan kemana Thea?"

"Kita akan pergi ke sebuah kastil."

"Kastil? Kau pasti bercanda, Thea. Tempat ini seperti padang gurun. Dan kita akan pergi ke sebuah kastil?"

"Kau akan lihat nanti,"

Sekitar setengah jam kemudian, Thea membelokkan mobil ke arah kiri. Satu jalan kecil. Tak selebar jalan yang tadi kami lalui. Tiba-tiba serasa kami melalui medan jalan yang berbeda. Rasanya ada sedikit turbulensi? Tapi, bukankah kami ada di tengah padang gurun? Sungguh aneh.

Kami berada di sebuah jalan dengan beberapa pohon di sekitarnya. Sangat sejuk. Seperti hutan di sebuah desa yang sangat terpencil. Dan tepat dugaanku. Beberapa meter di hadapan kami ada sebuah desa. 

Aneh sekali. Desa ini begitu sepi. Tak usah aku bertanya, nama desa ini telah tertulis di sebuah arah penunjuk jalan yang hampir lepas. Nama desa itu Dunberg.

Ada satu hal yang aneh terlintas di pikiranku. Setelah kami keluar dari kota kecil tempat tinggal kami dulu, lalu semua seperti membawaku ke sebuah alam dimensi yang lain. Semua nama-nama ini asing bagiku. 

Tapi, biarlah, lagi-lagi, aku tak mau memikirkan hal itu. Aku ingin menikmati perjalanan, yang dulu hanya kudapatkan dalam mimpiku. Hanya bisa kudengar dari mulut Iyem yang membacakan buku-buku dongeng kesukaanku.

Mobil yang kami kendarai membelah jalan yang tak banyak dilewati penduduk sekitar. Bahkan desa itu mirip sebuah desa yang mati. Di sekeliling kami kabut masih menutupi jalanan yang kami lewati. Tetes embun pun belum selesai membasahi seluruh daun-daun, belum sempat membelai tanah dan menyejukkannya.

Perumahan penduduk tak lagi berupa bangunan bagus seperti rumahku yang dulu. Rumah demi rumah yang kami lalui hanya berupa bangunan tembok sederhana. Warnanya kusam. Sungguh. Ini tempat yang sangat aneh.

Aku mencoba mengerti semua ini. Tapi, begitu sulit kucerna dalam alam nalarku. Atau sedang bermimpikah aku?

Kami tiba di sebuah gerbang yang tinggi. Thea keluar dari mobil dan menunjukkan sebuah benda kecil pada dua orang penjaga di depan gerbang itu.

Ada sebuah kastil di depanku. Ya, kastil. Seperti dalam buku dongengku. Benar-benar seperti sebuah mimpi. Bangunan ini menjulang cukup tinggi. Dari pintu gerbang paling luar kami harus melewati halaman sepanjang kurang lebih 500 meter. 

Lalu ada sebuah gerbang lagi yang menghubungkan antara pintu masuk kastil dengan halaman terdepan yang hampir menyerupai hutan kecil, karena banyak pohon di sekitarnya.

Dari gerbang kedua inilah kami menghampiri sebuah pintu besar yang bagiku sangat megah. Pintu itu terbuat dari kayu yang sangat kuat. Aku merabai sebuah pintu yang berukir indah. Gagang pintu ini berupa kepala singa. 

Oh, ya. Di halaman kastil ini terdapat beraneka macam bunga. Berwarna-warni. Sedangkan tepat di hadapan pintu masuk kastil, ada sebuah kolam dengan tiga air mancur yang dirancang dengan berbagai ornamen patung cantik. Sungguh ini seperti surga bagiku.

"Kayu sanobar," kata Thea yang tersenyum saat melihatku meraba ukiran di pintu masuk. "Pintu ini terbuat dari kayu sanobar. Kau tahu, bukan?"

"Kayu yang ada di Libanon?" Thea hanya tersenyum dan mengangguk sekali  "Oh, keren," aku masih terkagum-kagum.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" seorang pelayan laki-laki agak tua membuka pintu dan menyapa kami.

"Kami ingin bertemu Tuan Dunberg. Tolong katakan, namaku Thea, dan ini Sherin," agaknya Thea memperkenalkan diri dan aku hanya tersenyum. 

Tak lama kemudian kami memasuki sebuah ruangan indah. Lantai ini dingin. Dalam ruangan itu ada sebuah meja besar nan indah. Terbuat dari kayu pula. Tak kalah indahnya dengan pintu masuk tadi. 

Ada sebuah tangga di sisi kiri ruangan luas itu. Tangga itu berulir, dan sangat megah. Menurutku. Ada sebuah karpet merah di tengahnya. Karpet yang menambah anggun tangga tersebut. 

Aku terus saja mengagumi ruangan itu. Seperti anak kecil yang baru saja masuk di sebuah tempat asing. 

Lalu turun dari tangga itu seseorang yang sudah tua. Usianya mungkin hampir sama dengan Ayahku.

"Tuan Dunberg, "sapa Thea sambil menundukkan kepala dan membungkuk seperti menghormat. Aku pun mengikutinya.

"Selamat datang di rumahku, Tuan Putri," sapa orang tua itu. 

Kembali aku menghormat padanya.

"Tidak, tidak. Akulah yang seharusnya menghormat. Terimalah hormat hamba, Tuanku.," aku sungguh kikuk. Aku gagu. Tak tahu apa yang harus kulakukan. 

"Tuan Dunberg maaf kami mengganggu kenyamanan Anda. Tapi waktu penantian itu telah habis. Ada beberapa hal penting yang harus saya katakan pada Anda, Tuan," kata Thea

"Baiklah. Mari kita bicarakan ini di ruangan saya," ajak Tuan Dunberg, yang kemudian membawa kami pada sebuah ruang yang lebih mirip ruang kerja bagiku. Lalu katanya lagi, "Duduklah. Katakan ada apa?"

" Tuan, mereka sudah memulai invansi di bumi. Sebagian kecil manusia mulai mereka habisi. Ini seperti ramalan yang ada dalam buku Zenith kita."

Tuan Dunberg menghela nafas sebentar. Tak ada yang diucapkannya. Ia masih duduk di kursi empuknya di belakang meja. Entah apa yang dipikirkannya. Jari telunjuknya berulangkali ia sentuhkan di depan hidungnya yang besar.

"Semua memang harus terjadi. Dan ini adalah waktunya. Kalau begitu, kita harus segera bergegas menyusun rencana Thea. Tuan Putri harus segera naik ke tahta," ujar Tuan Dunberg.

"Ya, tapi ada beberapa hal. Tuan Putri ini belum tahu sedikit pun tentang istana dan dunia kita,"

"Oh ya? Dan..."

"Dan saya pikir, Tuan Dunberg adalah orang yang tepat untuk mengajarkan beberapa hal tentang kerajaan Fillya dan apa yang saat ini kita hadapi, Tuan,"

Kembali Tuan Dunberg terdiam. Kali ini ia memandangku. Oh, aku yang sedari tadi diam, mencoba memahami semua, jadi merasa tolol dan linglung. Apalagi lelaki tua berjanggut abu-abu itu memandangiku dengan wajah yang sangat serius. 

"Baiklah. Ia boleh tinggal di sini. Ini tempat yang paling aman dari serangan pasukan Lumira. Jemput dia beberapa saat lagi," 

"Baik, Tuan. Saya akan kembali ke istana," kata Thea. 

Dalam sekejap, hanya tinggal aku dan Tuan Dunberg dalam ruangan itu. Oh, dasar Thea. Apa yang harus aku lakukan dengan lelaki tua yang baru saja kukenal ini?

"Istirahatlah. Nanti malam kita mulai pelajaran kita setelah makan malam. Pelayan akan melayani kebutuhanmu, Tuan Putri," ujar Tuan Dunberg.

Aku hanya tersenyum gamang. Tak mengerti apa yang akan terjadi. Tidak sedikitpun. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? 

*Solo, sama seperti sastra yang dibangun diatas aksara dan angka. Sastra akan berdiri sebagai sebuah singgasana agung dalam sebuah kastil kosmologi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun