Mohon tunggu...
Antonius Manan
Antonius Manan Mohon Tunggu... Guru - Penulis, Guru Penggerak, Ketua Lembaga Adat wilayah Pakala Tana Toraja, Pemerhati Sosial Budaya.

Jadikan setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Trah Lakipadada: Menyingkap Tabir Asal Usul Raja-Raja di Sulawesi Selatan, Sejarah yang Terabadikan

10 April 2024   22:33 Diperbarui: 17 April 2024   12:54 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lakipadada dan Toraja

Toraja, Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo adalah sebuah wilayah yang kaya akan sejarah dan budaya, telah menjadi negeri leluhur banyak tokoh besar dalam sejarah Sulawesi Selatan. 

Salah satu tokoh yang meninggalkan jejak yang mendalam adalah Puang Lakipadada, yang keturunannya telah mengukir sejarah dengan menjadi raja-raja di Sulawesi Selatan. Melalui penelusuran sejarah yang cermat, kita dapat mengungkap bagaimana keturunan Puang Lakipadada telah memainkan peran penting dalam pembentukan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di wilayah ini.

Puang Lakipadada sendiri adalah seorang tokoh yang dihormati dan dianggap memiliki kebijaksanaan serta keberanian yang luar biasa di Tana Toraja pada masa lampau.  

Namun, cerita ini tidak berhenti di sana. Keturunannya membawa harum namanya ke seluruh penjuru Sulawesi Selatan, meniupkan angin baru dalam sejarah kerajaan-kerajaan yang berkembang di pulau ini. keturunan Puang Lakipadada tersebar luas, membawa serta kebijaksanaan dan keberanian leluhur mereka. 

Mereka memutuskan untuk mengembara, menjelajahi wilayah Sulawesi Selatan yang luas dan beragam, mencari tempat untuk menancapkan akar dan membangun kerajaan yang baru.

Latar belakang sejarah Sulawesi Selatan

Menurut keterangan para ahli sejarah dan Arkeologi serta budaya bahwa Sulawesi Selatan diyakini telah dihuni oleh manusia sejak zaman prasejarah. Bukti arkeologis menunjukkan adanya peninggalan manusia purba di daerah ini antara lain  di gua-gua seperti Leang-Leang di Toraja, di Enrekang dan peralatan yang dipakai manusia serta bekas bekas tempat tinggal yang masih dapat dijumpai sekarang ini.

Sebelum masa masuknya agama Islam, Sulawesi Selatan dikuasai oleh kerajaan bercorak Hindu dan Animisme seperti di Kedatuan Matampu', Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone dll yang kemudian kerajaan Gowa menjadi salah satu kekuatan utama di wilayah ini terutama pada abad 16 dan 17.

Kelahiran dan kehidupan awal

Awal abad ke- 13 seorang tokoh lahir di Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, beliau adalah Puang Lakipadada yang merupakan cucu dari Tomanurung Puang Tamboro Langi' yang adalah (Penguasa yang berasal dari dunia atas, langit) sesuai dengan kepercayaan turun temurun dan tradisi lisan bahwa nenek moyang suku Toraja berasal dari kahyangan, lihat Gen Para Dewa, Menelusuri Jejak Genetik Suku Toraja Dari Langit. Tomanurun Tamboro Langi' adalah tokoh penyebar aluk sanda saratu' yang merupakan kelanjutan dari aluk Sanda pitunna yang dibawa oleh Tandilino dari Banuapuan.

Puang Tamboro Langi' menikah dengan Puang Tobu'tu ri Wai dan melahirkan delapan orang anak antara lain : P. Tomembuli Buntu, P. Papai Langi, P. Messok, P.Sandaboro. P. Papai Langi' menikah dengan P. Allo Anginan melahirkan : P.  Paetong, P.Landek, P. Panggeso, P. Toding, Kemudian P. Papai Langi' menikah lagi dengan P.Indo' Sarambunna dan melahirkan : P.Samang, P.Pasa'pangan, P.Tintiri Buntu, P.Bombiri Lemo, P.Darra' Matua, P.Bangke Barani, P.Lai' Sarambunna, P.La'la, P.Tomemanuk, P.Lalong Kila', P.Lalong Ri Gasing, P .Kampu Barani.

Berikutnya Putra Tomanurun P Tamboro Langi' yaitu P Sandaboro yang menikah dengan P.Tobu'tu Ri Pattung dan melahirkan P.Lakipadada, P.Rombe Londong, P.Mate Malolo. Nostalgia dengan keluarga tidak berlangsung lama karena adik Lakipadada yang bernama P.Mate Malolo akhirnya meninggal karena wabah penyakit yang menimpa kampung Lakipadada pada saat itu yang oleh peristiwa inipula yang menorehkan rasa trauma yang mendalam bagi Lakipadada sekaligus menjadi moment dalam hidupnya untuk mencari kehidupan abadi yang tidak terikat pada ketentuan alam sebagai manusia fana.

Penyebaran Keturunan Puang Lakipadada

Secara Mitologi Toraja Lakipadada digambarkan setelah beliau memutuskan jalan hidupnya untuk mencari pusaka tang mate   (hidup abadi) maka pergilah mengembara dengan membawa la'bo' penai (pedang) Dosso dan Maniang yang senantiasa disertai oleh langkan maega yaitu burung Garuda. 

Dengan bantuan seekor buaya ia dapat mengarungi teluk Bone dan sampailah ia disuatu tempat tepatnya di Pulau Maniang dan kemudian berguru pada seorang sakti dan disampaikan lah kepada Lakipadada bahwa ia akan bisa memiliki mustika  keabadian apabila dapat berpuasa dan tidak tidur sedetikpun selama 7 hari 7 malam.

Kemudian mulailah Lakipadada melakukan semua yang dipersyaratkan namun ketentuan kodrat tidak dapat diintervensi manusia manapun karena ketika sang tua sakti menjenguknya maka didapatkannya Lakipadada sedang tertidur sejenak yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia sakti itu untuk mencabut dan mematahkan pedang Lakipadada. Ketika beliau terbangun maka ia merasa sudah lulus ujian karena hanya sekejab ia terlelap namun perdebatan itu selesai ketika situasi sakti memperlihatkan pedang Lakipadada yang sudah dicabutnya dan dipatahkan ujungnya.  

Lakipadada memperoleh hikmah yang menyadarkannya bahwa menghindari kematian sama halnya dengan menantang kuasa Tuhan. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan.

Perjalanan Lakipadada berlanjut ke Bantaeng, daerah pesisir pantai selatan pulau Sulawesi. Perjalanan penuh mistis dilakukannya dan adu kesaktian Lakipadada mewarnai pengembaraannya dan dikisahkan bahwa dengan mengendarai langkan maega (burung Garuda) maka beliau melanjutkan perjalanannya ke pesisir pantai utara menuju Gowa. sebuah catatan penting bahwa fisik Lakipadada mengalami perubahan yaitu tubuhnya seperti berlumut layaknya orang yang datang dari laut sehingga hampir tidak dikenali namun karena memiliki daya linuwih yang tinggi sehingga orang menyapanya dengan KARAENG BAYO artinya penguasa yang sakti dari laut. 

Sebutan inilah yang sering dikelirukan seolah olah Lakipadada dan Karaeng Bayo seolah olah berbeda dan keduanya bersaudara namun sebenarnya Lakipadada adalah Karaeng Bayo itu sendiri karena saudaranya yang satu tinggal di Toraja dan satunya lagi sudah wafat. Tibalah Lakipadada (Karaeng Bayo di Gowa yang pada masa itu belum memiliki pemimpin tunggal atau raja, dan pada masa itupula Karaeng Bainea (Karaeng Tara Lolo) atau biasa disapa Tomanurung ri Tammalate (karena muncul didaerah Tammalate) dan oleh Bate salapang atau dewan yang mengurusi pemerintahan saat itu bersama masyarakat meminta kepada Tomanurun ri Tammalate agar berkenan menjadi Ratu di Gowa. 

Permintaan itu dikabulkan dan singkat cerita dipertemukanlah Lakipadada yang nama lainnya adalah Karaeng Bayo dengan Karaeng Bainea dan menikah dan memerintah rakyat Gowa bersama Raja dan Ratu.

Peran dalam Pembentukan Kerajaan-Kerajaan

Dari pernikahan pasangan cucu Tomanurun di Toraja dengan Karaeng Tara Lolo (Tomanurun ri Tammalate) melahirkan 4 orang anak antara lain :

1. Pattala Bantan yang bergelar Tomatasak ri Toraja

2. Pattala Merang bergelar Somba ri Gowa

3. Pattala Bunga' bergelar Pajung ri Luwu

4. Pattala Didi bergelar Mangkau ri Bone

Ketika Lakipadada melihat anak anaknya sudah dewasa dan beliau merasa bahwa sudah waktunya tongkat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh penerusnya maka pada suatu waktu beliau membawa keempat anaknya ke gunung Sinaji yang berdampingan dengan gunung Latimojong. 

Ditempat ini yang dulunya merupakan rumah tinggal Lakipadada sebelum mengembara, Lakipadada memberikan wejangan kemudian mentahbiskan (natokko) anak anaknya untuk memerintah dan menguasai wilayah Sulawesi khususnya keempat wilayah ini :

1. Toraja

Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo yang kemudian dinamakan Toraja oleh orang Toraja sendiri yaitu dari kata Tana artinya tempat atau daerah, To berarti orang dan Radja atau raja yaitu pemimpin, penguasa. 

Sesuai dengan sejarah penamaannya yang merupakan daerah darimana leluhur para raja di Sulawesi Selatan berada, dan didukung oleh penamaan dari suku Bugis yaitu Toriaja atau manusia yang mendiami wilayah pegunungan dengan karakter mulia. Pattala Bantan yang diserahi tugas untuk melanjutkan trah Lakipadada didaerah ini. 

Dalam perjalanan pulang dari Gowa, Lakipadada menganugerahkan hadiah sebagai tanda atau simbol berupa Bate Manurun yaitu pusaka berbentuk kain batik yang bergambar manusia bersayap, Dosso, Maniang, oang dan biji mangga dalam ukuran besar. 

Ketika Pattala Bantan tiba di Toraja maka tidak sedikit tantangan yang dihadapi. Hal ini disebabkan oleh penguasa penguasa yang juga keturunan Tomanurun yang sebelumnya sudah memerintah di Lepongan Bulan, namun setelah melalui musyawarah dan kesepakatan bersama serta pengaruh kharisma yang Pattala Bantan warisi dari ayahandanya Lakipadada maka ia dapat memimpin dari tongkonan Layuk Kaero di Sangalla' yang sebelumnya disana sudah terdapat pemimpin yaitu Tomanurun Tomembio Langi'.

2. Gowa

Pattala Merang putra Puang Lakipadada meneruskan tampuk pemerintahan di kerajaan Gowa. Ia mendapat warisan dari ayahnya berupa pedang bernama Sudanga dan bendera atau panji kerajaan yang disebut Samparaya. 

Keturunan Pattala Merang yang nantinya terkenal melawan invasi Belanda adalah Sultan Hasanuddin. Ia memerintah Kerajaan Gowa dan membawa kerajaanya ke puncak kejayaan. terlahir dengan nama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape.beliau dijuluki Ayam Jantan dari Timur oleh kolonial Belanda dan merupakan  adalah Sultan Gowa ke-16 sekaligus pahlawan nasional Indonesia.

3. Luwu

Putra Lakipadada berikutnya yang diberi amanah untuk memimpin wilayah pesisir timur yaitu Patta La Bunga. Beliau ke Ussu tana Toporende Datunna Wara Luwu dan memperisterikan Simpurusiang Bua Lolo anak dari Rammang di Langi yang lahir dari istrinya Tandiabeng saudara kembar Sawerigading. 

Patta La Bunga mendapat warisan sebuah pedang bernama La Bunga Waru dengan bendera pusaka yaitu Sulengka. Andi Jemma adalah salah seorang generasi Pattala Bunga yang memimpin Kedatuan Luwu. Beliau merupakan pejuang kemerdekaan Indonesia sehingga mendapat gelar Pahlawan Nasional.

4.  Bone

Kerajaan Bone dalam catatan sejarah didirikan oleh Raja Bone ke-1 yaitu Mata Silompoe yang datang di Matajang pada tahun 1330 Masehi, pada tradisi lisan Kerajaan Bone, Pattala Didi datang di Matajang sehingga dinamakan Manurunge ri Matajang dengan gelar Mata Silompoe atau dapat melihat dengan luas. Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan La Tenritatta Arung Palakka pertengahan abad ke-17.

  • Dan akhirnya melalui pertalian kekeluargaan maka keturunan Lakipadada dapat menguasai beberapa kerajaan kerajaan lainnya minimal penguasa penguasa daerah di Sulawesi Selatan dalam dirinya mengalir darah Lakipadada seperti di Enrekang ada Puang Todierong, di Wajo ada Puang ri Maggalatung di Sidrap, Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga yang berada di Sulawesi Barat termasuk suku Mandar yang memiliki pertalian darah atau hubungan kekerabatan keluarga yang dekat dengan suku Toraja saat ini dan ditempat lain Sehingga ada sebuah kutipan bahwa kadar kebangsawanan di Sulawesi Selatan dianggap asli dan tinggi ketika dialiri darah trah Tomanurun di Langi' dari Toraja, wallahu a'lam bishawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun