Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | De Javu

20 Agustus 2019   09:09 Diperbarui: 20 Agustus 2019   09:12 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay.com (diolah kembali oleh penulis)

Bangunan itu sebuah gereja kuno. Arsitekturnya bergaya Eropa. Pilar-pilar menghiasi beranda gedung gereja tersebut. Kubahnya membuat gereja yang terlihat kuno menjadi artistik.

Langkahku pelan memasuki gedung gereja itu. Tentu saja, pagi itu bukan aku yang menikah. Seorang teman sangat membutuhkan bantuanku. Wedding organizer yang dimilikinya dipercaya untuk merangkai acara pernikahan sakral.

Ia membutuhkan seorang wanita sebagai bridesmaids. Aneh, karena tak seorang pun kukenali di ruangan itu. Baju biru muda dengan gradien warna merah muda membawaku terus menuju altar pemberkatan. 

Tiba-tiba ada seseorang berdiri dari bangku tamu undangan. Aku meliriknya sebentar. Seorang laki-laki yang berumur 5 tahun diatasku. Memakai kemeja putih. Wajahnya sempat terlihat terkejut. Namun sadar ia berada di sebuah ruangan penuh tamu undangan, akhirnya ia kembali duduk.

'Siapa lelaki itu?' pertanyaan aneh mulai menggelayuti pikiranku. Tak kutemukan jawabnya, aku menghalau gelisah dari benakku.

Usai upacara pemberkatan nan sakral, tamu mulai meninggalkan tempat itu . Saat gereja mulai agak sepi, tak kulewatkan momen untuk mengambil beberapa gambar dari ruangan kuno tersebut.

Kursi jemaat bukan bangku panjang seperti layaknya gereja lain. Namun bangku jemaat terdiri dari kursi-kursi kayu kuno, seperti di rumah kakek.

Selesai acara, aku mengambil beberapa gambar di setiap sudut unik gereja itu. Lalu aku melangkah pergi. 

Ternyata masih ada beberapa orang berlalu lalang di halaman bagian samping gereja yang ternyata tersambung pada sebuah taman penuh aneka warna bunga.

Aku duduk di sebuah anak tangga yang menghubungkan serambi samping gereja dengan taman indah di hadapanku saat ini.

Belum lama aku duduk, tiba-tiba di sampingku duduk seorang lelaki. Ya, lelaki berbaju putih yang tadi melihatku di saat berlangsungnya prosesi pemberkatan nikah.

"Hai, apa kabar?" sapanya pasti.

Biasanya aku mengacuhkan diri dari sapaan lawan jenis yang tak kukenal. Namun kali ini sapaan yang terdengar akrab di telingaku, membuat aku melirik lelaki yang ikut duduk di samping kananku.

Seulas senyum kusertakan. Kuingat wajahnya. "Hai," aku tak mampu menahan suatu rasa yang kembali hadir dalam hatiku.

Kami kembali terdiam dalam senyum kami masing-masing. Tak tahu apa yang dipikirkannya, yang jelas kenangan dua tahun silam dengan lelaki ini kembali hadir dalam ingatanku.

Tak banyak yang berubah darinya. Kupandangi wajahnya sebentar, lalu kembali kulempar pandanganku ke arah taman kala ia balik memandangku.

Ya, sorot mata elangnya yang tajam selalu menembus bilik jantungku. Bahkan saat aku hanya bisa mengenal lewat foto profilnya. Dan kini aku tak mampu menahan rasa malu, yang entah datang dari mana.

"Apa kabarmu?" tanya lelaki yang tak lain adalah Bimo. Seperti nama salah satu tokoh wayang Pandawa.

"Baik. Mas Bimo sendiri gimana? Sudah lama ga ketemu ya, Mas?"

"Lhoh, kita kan memang baru ketemu ini?"

"Oh iya, saya lupa, Mas."

Kembali angin sejuk mempermainkan kami berdua. Berhembus pelan, menerbangkan anganku kembali ke masa 2 tahun yang silam.

Chating terakhir kami diakhiri dengan kisah yang sedikit perih bagiku. Memang kami hanya berhubungan lewat chating pribadi. Tak lebih dari itu. 

Ya, aku pikir, apa yang terjadi 2 tahun yang silam adalah akhir dari segala yang pernah kami lalui. Aku mulai meninggalkan bayangan si empunya mata elang yang kini duduk di sampingku. Aku pergi bersembunyi darinya, kala itu.

"Kerabat sama Vina atau Rendy?" pertanyaan Mas Bimo mencabutku dari alam lamunan.

"Oh, bukan. Aku cuma bantu tim WO punya teman," jawabku singkat.

"Oh, ..."jawab Mas Bimo terdengar agak kaku. Entah mengapa. 

Biasanya kami saling berbincang lepas di ruang chat pribadi kami. Tapi, mungkin memang kami sama-sama texter, jadi sekarang kami bertemu seperti kehabisan kata-kata.

"Pulang ke Solo sama siapa?" kembali Mas Bimo memecah kesunyian antara kami berdua.

"Sendirian, Mas. Mungkin nanti saya naik kereta api saja. Atau naik bus,"jawabku tak tentu arah seakan berharap ada yang menawariku tumpangan.

"Emmmh, " jawab Mas Bimo singkat.

"Bim! Ayo cepetan. Ntar kita kemalaman sampe rumah," seru seorang pria jangkung berkacamata, dengan memakai baju batik lurik.

"Yoi," jawab Mas Bimo. "Sudah, ya. Aku ditunggu teman-teman."

Aku hanya tersenyum dan kuanggukkan kepala sedikit tanda setuju. Punah pula harapanku untuk berlama-lama dengannya.

Mobil Mas Bimo melaju tak cepat, keluar dari area gereja yang berhalaman cukup luas. Entah darimana datangnya, ada sebuah bus besar lewat di depan gereja, melaju dengan cepat dan menabrak mobil Mas Bimo dan rombongannya.Mobil itu terseret sejauh 50 meter. Dan sempat terbalik.

Aku berlari mendapati mobil itu. Aku tahu Mas Bimo ada di depan. Ia yang berada di belakang setir mobil.

Darah keluar dari pelipisnya. Ia tak sadarkan diri. Aku berusaha membuka pintu mobil yang sempat terbuka sedikit karena benturan dengan aspal.

Dibantu penduduk sekitar, akhirnya para penumpang bisa dikeluarkan. Aku menarik tubuh besar Mas Bimo yang penuh darah. 

"Mas....Mas Bimo....," kuraba denyut nadi di lehernya, di pergelangan tangannya. Tak ada. Hilang. 

"Mas...Mas Bimo...bangun, Mas..." seruku tanpa tahu apa yang bisa kulakukan. "Mas Bimo...!!" 

Tiba-tiba, aku terbangun. Ah, ternyata, aku hanya bermimpi. Oh, mimpi yang aneh dan menyeramkan. 

Kudapati diriku diantara para perias dan beberapa orang yang terlibat dalam pertunjukan. Oh, tidak. Ini ruang rias. Iya. Aku tadi duduk di sini dan menunggu giliran untuk dirias.

Lagu Ave Maria terdengar mengalun lembut memenuhi ruang gereja tua itu. Kumasuki ruang yang sepertinya tak asing bagiku. 

Gaun yang kupakai ini, warnanya pun sama dengan yang kulihat dalam mimpiku. Biru muda dengan gradasi warna merah muda.

Langkahku menuju altar terhenti kala ada seorang lelaki yang tiba-tiba berdiri melihatku dengan terkejut. Aku melirik lelaki berbaju putih itu. Aku berusaha mengingatnya, namun aku tak mampu.

Seusai upacara pemberkatan, para tamu sebagian meninggalkan ruang gereja. Di situ hanya tinggal 5-10 orang saja. Tak kulewatkan kesempatan itu untuk mengambil gambar setiap ornamen gereja yang terlihat bergaya Eropa kuno. 

Tapi...mengapa semua hampir sama dengan yang ada dalam mimpiku tadi? Segera kuperiksa gawaiku. Mungkin memang pernah kuambil beberapa gambar gereja itu di waktu yang lalu. Tapi hasilnya tetap nihil.

Aku berjalan cepat dan duduk di anak tangga samping gereja, yang terhubung dengan sebuah taman indah dipenuhi bunga-bunga dan beberapa pohon rindang yang menghiasinya. 

Tak lama kemudian, duduk di sampingku, seorang lelaki berusia sekitar 5 tahun diatasku. Ya, lelaki itu tadi yang berdiri saat aku dan rombongan bridesmaids memasuki ruang gereja.

"Hai," sapanya sambil tersenyum.

Aku terkejut, kali ini aku melihatnya lagi. Persis seperti dalam mimpiku tadi. 

Kulempar senyumku padanya, "hai,...gimana kabarnya?"tanyaku. 

"Baik...,"jawabnya terdengar agak kaku.

Saat ini aku mulai berani menatap mata elang itu. Kekuatannya tak lagi mampu menembus bilik logikaku. 

"Mas, Bimo, nanti pulang naik apa?" tanyaku.

Lelaki itu tampak sedikit canggung menjawab pertanyaanku, "Aku sama temen-temen naik mobil. Kenapa? Mau ikut sekalian?"

"Mas Bimo jangan naik mobil. Mas Bimo bisa temenin aku pulang naik kereta, atau bus aja, ya?" pintaku ternyata membuat dahinya agak berkerut dan senyumnya mulai mengembang.

"Bim!! Ayo cepetan, ntar kita kelamaan sampe rumah,"panggil seorang lelaki berkacamata seperti dalam mimpiku.

"Mas Bimo, jangan naik mobil itu," aku mulai memaksanya. Dan ia pun makin kebingungan.

"Tapi..aku yang..."

"Yang nyetir, kan? Tolong, Mas, jangan," cegahku sambil kupegang tangannya erat. 

Mata kami beradu. Tak pernah nyaliku sekuat itu menatapnya. Ini pertama kalinya aku menatap mata tajam itu dalam-dalam.

"Tolong, kali ini saja," akhirnya aku memohon. 

"Bim!! Ayo cepat," seru lelaki berkacamata itu lagi.

"Mas...tolong, aku ... Aku ga mau kehilangan, Mas Bimo."

Lelaki itu melepas pelan tanganku dari lengannya. Ia tersenyum dan dengan lembut berkata,"Vero, aku ga akan kemana-mana. Nanti kita chating lagi, ya?"

"Tapi, Mas,..."

Kembali ia tersenyum dan pergi menghampiri lelaki berkacamata itu. Mereka akhirnya meninggalkan gereja  dengan mobil berwarna hitam.

Kukejar mobil itu. Aku berlari sekuat tenaga. Namun, tak mampu kukejar. Kembali mobil hitam itu terseret sejauh 50 meter di depan gereja. Saat ada sebuah bus besar melaju kencang dan menabrak mobil rombongan Bimo 

Segera kuhampiri mobil itu. Kutarik tubuh besar Bimo, namun aku tak mampu menahan perginya. Ia tetap meninggalkanku, berlumuran darah dan memeluk erat jasadnya. 

Tiba-tiba kembali aku terbangun dari tidurku. Hal yang sama terulang lagi. Ruang rias itu, gaun pesta itu, lagu Ave Maria itu, lelaki yang berdiri itu, semua sama. Persis seperti dalam mimpiku. 

De Javu.

 Aku kembali duduk di anak tangga dan menunggu Bimo menyapa.

"Hai, ..." suara yang kutunggu kini menyapaku.

Kali ini tak kubalas dengan senyuman. Aku menatapnya dalam-dalam. Saat itu, angin bertiup pelan dari arah taman, memasuki ruang gereja. Hembusannya tak membuatku melepas pandangan darinya. 

"Lupa ya? Atau, perlukah kita berkenalan lagi?" sapanya lembut namun berwibawa.

Tak sepatah kata pun kujawab. Aku tetap menatapnya dalam-dalam. Ia pun terdiam. Kami membiarkan angin lembut siang itu membelai wajah kami berdua. 

"Jangan pergi lagi, Mas," pintaku lirih. "Jangan lepaskan tanganku. Aku ingin Mas Bimo tetap di sini," suaraku semakin tak terdengar, tertelan air mata yang mengalir di pipiku.

Ia menatapku. Dilepaskannya tanganku pelan. Ditariknya aku ke dalam pelukannya. Entah ia mengerti atau tidak, tapi aku merasakan kelembutan dalam pelukannya.

Tak ada kata-kata, hanya angin yang berbicara lembut menyampaikan bahasa cinta pada kami berdua. 

Lama ia memelukku. Dibiarkannya aku menangis di dadanya yang bidang. 

"Bim!! Ayo cepat nanti kita..." suara lelaki itu tiba-tiba terhenti. 

Aku masih dalam pelukan Bimo. Sesaat semesta seperti terhenti. Bumi seakan berhenti berputar. Jarum jam berhenti bergerak. Waktu terhenti seketika.

Aku mendengar detak jantung Bimo, begitu indah seiring dengan hembusan angin aneh yang menyertai nafas Bimo yang hangat  dalam pelukannya. 

Lalu sekejap waktu kembali bergulir. Bimo melepaskan pelukannya. Tangannya kini mengusap lembut air mataku yang jatuh. 

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah bus yang melaju kencang di depan gereja. Berlalu begitu saja. Aku tersenyum melihatnya. Lalu kulihat kembali Mas Bimo tersenyum.

"Pulang sama-sama yuk," ajaknya. "Mobilku masih muat kalo nambah satu wanita cantik sepertimu, Ver. Lagi pula kamu masih berhutang traktir aku makan, kan?" lanjutnya.

Senyum itu, sorot mata elang itu, dada bidang itu, semua masih kumiliki. Jemarinya kini ada diantara jemariku. Hangat, tanpa lumuran darah. Dan, aku tak akan melepaskannya lagi. Tak akan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun