Ada banyak hal yang tidak bisa aku sukai begitu saja, seperti sound horeg dan dangdut koplo, alih-alih asyik didengar, justru keduanya sama-sama berisik dan membuat telingaku sakit.
"Hei, Bro. Sini ngopi, aku sudah pindah kerja di Kedai Kopi Nusantara, ada tester kopi gratis," Ujar Bram melalui pesan WhatsApp yang kuterima baru saja."
"Oke, shareloc, please!. Otw 5 menit lagi," jawabku singkat.
Kukenakan rompi andalanku, dan sepatu sneakers yang membuat penampilanku 5 tahun lebih muda, tak lupa cincin tanpa pola yang ada di jari manis kiriku dan parfum beraroma kopi arabika kusemprot di pergelangan tangan dan leherku.
Aku mengikuti saran dari Bram dan membuka aplikasi GMaps, di sana aku diarahkan menuju Jalan Merdeka, setelah perempatan ada Jalan Soekarno-Hatta, lalu ada Jalan Cendana yang di kanan kirinya banyak bangunan mewah, lalu belok kanan menuju jalan Ahmad Yani, belum juga sampai, aku masih harus melewati jalan S. Parman, hingga akhirnya sampailah aku di jalan Perjuangan dan menemukan sebuah kedai kopi tempat di mana Bram Bekerja.
Kedai kopi ini bukan seperti kedai kopi besar, mungkin hanya berkapasitas 12 orang saja, tidak terlalu ramai, karena mungkin baru buka 2 minggu, dan belum banyak influencer kopi yang membantu mengendorse kedai kopi tersebut.
"Hei, bro akhirnya datang juga, silakan duduk,"Â ucap Bram.
Aku memilih tempat duduk di dekat meja barista. Suasana kedai masih sepi, maklum harga kopi katanya sedang tinggi-tingginya, masyarakat khususnya anak muda pasti memilih minuman yang lebih murah, yakni es teh jumbo 3 ribuan.
"Mana kopinya?" Tanyaku pada Bram
"Tenang, ini ada kopi enak racikanku sendiri, jadi aku mencampurkan biji kopi dari sabang sampai Merauke secara acak,"
"Awas kalau nggak enak kopinya," ancamku