Ada hal-hal yang tak sempat kita pahami saat masih bersama.
Seperti bagaimana diam bisa lebih nyaring daripada kata,
atau bagaimana tawa yang sederhana bisa menjadi nyawa dari sebuah rumah.
Ayah, aku masih mengingat setiap subuh yang kita bagi.
Kau duduk di kursi kayu, dengan kopi yang mengepul pelan,
sementara aku menghitung bayanganmu di dinding.
Di situ, waktu terasa lunak---
seolah semesta berhenti sebentar agar kita bisa saling memahami tanpa bicara.
Kau bukan orang yang pandai berkata lembut,
tapi aku tahu kasihmu bersembunyi di balik cara dunia mengeraskanmu.
Dari caramu berjalan, aku belajar tabah.
Dari caramu diam, aku belajar memahami.
Dan dari caramu pergi... aku belajar kehilangan.
Ketika tanah memeluk jasadmu,
aku berpikir segalanya telah berhenti.
Tapi ternyata tidak.
Waktu terus berjalan, menelan pagi, siang, dan malam tanpa jeda.
Namun di antara gemeretak detik itu,
aku masih mendengar suaramu--- samar,
seperti gema dari ruang yang tak punya jarak.
Aku sering menatap langit,
bertanya apakah di sana kau juga menatapku.
Mungkin kita tidak lagi berbagi meja dan kopi,
tapi masih berbagi langit yang sama,
hanya terpisah oleh dimensi yang tidak bisa dijembatani oleh langkah.
Kini aku mengerti, Ayah:
kau tidak pernah benar-benar pergi.
Kau hanya menjadi bagian dari waktu---
menyusup di antara detik-detik yang kualami,
berdiam di sela napas dan doa.
Dan pada akhirnya aku menyadari sesuatu yang sederhana,
namun terasa seperti rahasia besar semesta:
Aku dan Ayah hanya menyelami waktu 474 juta detik, tidak kurang, tidak lebih.
Sisa hidupku hanyalah riak dari waktu yang pernah kita bagi,
gelombang kecil yang terus mencari tepi,
di samudra yang pernah kita sebut: kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI