O-ho-ho-ho! Kulihat lagi sejumput keirian di wajahmu, tampak begitu tepat menghiasi kebodohanmu, dengan wajahmu yang ternganga atas instingku yang tepat. Jangan terlalu kau bawa ke hati. Seseorang yang dekat dengan kematian yang terukur, sering membuat lelucon yang lucu untuk dirinya sendiri. Mungkin, karena hanya begitu dia merasa sedikit bisa lengang dari bau ketakutan.
Willa -- kita kembali padanya -- dengan segala ekspresi dan emosinya entah kenapa memberiku rasa nyaman. Mungkin, kesendirian di kota besar seperti ini yang mendorongku merasa butuh kehadiran perempuan. Tapi jika dipikir-pikir, aku sudah terbiasa dengan keheningan. Mungkin tepatnya sunyi. Orang bilang, bahkan di dalam keramaian, kita bisa merasa sunyi. Mungkin bukan sunyi, tapi hampa. Orang bilang, kehampaan itu menggerogoti ketika kita terputus dari dunia. Tentu saja orang-orang bijak ini tidak bermaksud menyindir masa laluku, tapi lebih kurang, dalam kejujuran yang terbatas ini, harus kuakui ada betulnya.
Hei, entah kenapa, tiba-tiba saja tercuat pertanyaan ini: apakah aku pernah mencintainya? Mungkin. Mungkin tidak. Mungkin semua perasaan yang bercampur-baur itu adalah cinta. Mungkin juga aku hanya memanfaatkan dirinya yang memberi sandaran diri. Mungkin awalnya aku hanya memanfaatkannya lalu kemudian aku sungguh mencintainya.
Katamu, kita bisa mengukur perasaanku pada Willa sekarang. Apa yang kurasakan sekarang saat membayangkannya? Yang terlontar dari ingatanku adalah taburan air matanya ketika melihatnya dari balik kaca, seminggu yang lalu. Wajah itu tak bisa menyembunyikan siksaan perasaan yang selama ini dengan keteguhan berhasil ia simpan. Bagaimana ia melewati barisan pers yang memotretnya untuk mengunjungiku, harus kuakui dia gagah berani. Mungkin, begitulah semua perempuan bertabiat. Mereka hanya seolah-olah lemah. Namun di saat yang dibutuhkan, mereka bertindak beringas, dan setelah sampai pada puncaknya, barulah kelelahannya terlihat jujur.
Apakah aku mencintainya? Kurasa, aku harus merenungkan itu sekarang.