Mohon tunggu...
Dessy Yasmita
Dessy Yasmita Mohon Tunggu... Desainer - valar morghulis

If you want to be a good author, study Game of Thrones.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badai: Sani 01

4 November 2019   05:17 Diperbarui: 5 November 2019   20:22 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

O-ho-ho-ho! Kulihat lagi sejumput keirian di wajahmu, tampak begitu tepat menghiasi kebodohanmu, dengan wajahmu yang ternganga atas instingku yang tepat. Jangan terlalu kau bawa ke hati. Seseorang yang dekat dengan kematian yang terukur, sering membuat lelucon yang lucu untuk dirinya sendiri. Mungkin, karena hanya begitu dia merasa sedikit bisa lengang dari bau ketakutan.

Willa -- kita kembali padanya -- dengan segala ekspresi dan emosinya entah kenapa memberiku rasa nyaman. Mungkin, kesendirian di kota besar seperti ini yang mendorongku merasa butuh kehadiran perempuan. Tapi jika dipikir-pikir, aku sudah terbiasa dengan keheningan. Mungkin tepatnya sunyi. Orang bilang, bahkan di dalam keramaian, kita bisa merasa sunyi. Mungkin bukan sunyi, tapi hampa. Orang bilang, kehampaan itu menggerogoti ketika kita terputus dari dunia. Tentu saja orang-orang bijak ini tidak bermaksud menyindir masa laluku, tapi lebih kurang, dalam kejujuran yang terbatas ini, harus kuakui ada betulnya.

Hei, entah kenapa, tiba-tiba saja tercuat pertanyaan ini: apakah aku pernah mencintainya? Mungkin. Mungkin tidak. Mungkin semua perasaan yang bercampur-baur itu adalah cinta. Mungkin juga aku hanya memanfaatkan dirinya yang memberi sandaran diri. Mungkin awalnya aku hanya memanfaatkannya lalu kemudian aku sungguh mencintainya.

Katamu, kita bisa mengukur perasaanku pada Willa sekarang. Apa yang kurasakan sekarang saat membayangkannya? Yang terlontar dari ingatanku adalah taburan air matanya ketika melihatnya dari balik kaca, seminggu yang lalu. Wajah itu tak bisa menyembunyikan siksaan perasaan yang selama ini dengan keteguhan berhasil ia simpan. Bagaimana ia melewati barisan pers yang memotretnya untuk mengunjungiku, harus kuakui dia gagah berani. Mungkin, begitulah semua perempuan bertabiat. Mereka hanya seolah-olah lemah. Namun di saat yang dibutuhkan, mereka bertindak beringas, dan setelah sampai pada puncaknya, barulah kelelahannya terlihat jujur.

Apakah aku mencintainya? Kurasa, aku harus merenungkan itu sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun