Mohon tunggu...
Dessy Yasmita
Dessy Yasmita Mohon Tunggu... Desainer - valar morghulis

If you want to be a good author, study Game of Thrones.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badai: Sani 01

4 November 2019   05:17 Diperbarui: 5 November 2019   20:22 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kau dekat dengan kematian, kau akan menapak-tilas kehidupanmu. Setiap detik dan nafas menjadi penting bagimu karena di dalamnya ada banyak memori yang berlompatan ke permukaan arena ingatan, bergerak terburu-buru, mencuat dan tenggelam. Ketika kau dekat dengan kematian, waktu menjadi sangat terukur. Kenangan yang buram dan jelas, tumpang-tindih membuat barisan pertanyaan, kegembiraan, kesedihan, kelegaan, dan penyesalan.

Orang bilang, kita tak boleh hidup dalam penyesalan karena apa yang telah terjadi adalah apa yang kita tindaki dahulu. Kenyataannya, kita hidup dalam penyesalan-penyesalan, di sela-sela keberhasilan kita. Ada orang-orang, kejadian-kejadian, harapan-harapan; yang terjadi, terlupakan, terbencikan, terabaikan, terdendamkan, dan terlewatkan.

Hidupku telah terukur dengan kematian yang sudah ditetapkan waktunya. Dalam penjara bau pesing ini, aku diharapkan bertobat dengan kematianku yang telah menyebabkan kematian orang lain, dalam keyakinan mereka. Mungkin mereka benar. Mungkin aku memang membunuhnya. Kurasa aku memang membunuhnya. Dalam hidupku yang telah terukur ini, keheningan memaksaku mengingat-ingat masa lalu yang telah kunajiskan dalam-dalam. Seperti dosa-dosa berhantu, satu-satu menyeruak menuntut keadilanku.

Tapi, keadilan apa yang bisa kuberi jika hidup bukan untuk mencapai keadilan?

Ketika hidupmu terpapar dosa kecemburuan, pengkhianatan, dan kebencian; kartumu menuju surga telah terbakar, bahkan sebelum iblis bermaksud menarikmu ke neraka. Meski kau menyesali semua kejahatanmu, kau tahu, pintu-pintu surga telah dikunci rapat-rapat dan kepalamu telah distempel tanda silang. Kau takkan punya tujuan ke manapun selain neraka. Apakah di sana Iblis dan monster akan menertawaimu atau tidak, kau belum lagi tahu.

Ketika kesempatan tak lagi mungkin ditawarkan padamu, maukah kau melakukan sebuah kegilaan, melawan gravitasi, mencari lubang kelinci, mencari gerbang dimensi, melawan akal? Maukah kau menciptakan sendiri kesempatanmu?

Sebelum diskusi sinting ini berlanjut, untuk yang terlambat bergabung, biarkan kukabari lagi tentang diriku:

Namaku Sani, Sani Siwattari. Nomorku 9152421. Kejahatanku adalah membunuh seorang pengusaha--sebut saja, bernuansa politik. Pekerjaanku di masa lalu adalah menjadi manusia berontak yang melawan ketidakadilan dalam sebuah organisasi--yang lagi-lagi kata mereka: garis keras. Kehidupanku sebelum itu adalah mahasiswa bidang politik dan kemanusiaan.

Aku bukan orang asli ibu kota. Aku ke sini untuk menikmati kebebasan sebagai manusia, lepas dari pengapnya kota kecil seperti Kota M. Di sini, di ibu kota, aku tinggal di pondokan mahasiswa dan jatuh cinta pada seorang mahasiswi berwajah mulus dengan kesempurnaan wajah.

Oh, tentu saja aku harus menyeringai karena wajahmu yang tak bisa menyembunyikan kedengkian itu terlihat begitu bodoh, lalu sekarang kau kelihatan semakin dungu dengan wajah masammu karena komentarku barusan. Kau terima sajalah kata-kataku. Toh, tak ada salahnya memberi sedikit kebahagiaan pada orang yang tak jauh dari lalat dan belatung. Mereka memang belum memutuskan aku akan mati seperti apa. Dugaanku, mereka akan menyiapkan regu tembak dan membuang tubuhku di tempat rahasia. Dugaanku, aku akan dibuang ke gorong-gorong terbengkalai atau semudah-mudahnya ya ke laut.

Sebelum kau muntah membayangkan belatung di atas tubuh yang akan bengkak ini, mari kita kembali pada topik pembicaraan kita. Kekasihku itu bernama Willa. Sekarang, jika kupikir-pikir, namanya selalu mengiangkan nama lain dari seseorang yang pernah kukenal. Namun, sebelum kita sampai ke sana, mari kita bahas Willa. Willa memiliki mata besar, seolah-olah jagat raya muat di matanya. Kegelapan di pupilnya, dengan semburat pantulan cahaya membuat keseluruhan matanya menjadi dalam. Aku senang menikmati matanya. Matanya sering terasa hendak menyerapku, sebuah mata yang asing, yang ingin menggodaku meninggalkan bumi. Meskipun demikian, Willa tidak pernah berusaha menculikku dengan hipnotisnya. Hidup dalam keluarga terhormat, ia mengambil jurusan sosial. Tuturannya halus, tapi penuh emosi. Dalam suasana hati tertentu ia bisa begitu manja, bukan karena hidupnya manja, tapi semacam kebutuhannya untuk dekat. Kurasa, itu yang mengikatku kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun