Namun kelemahan ini justru memperkuat posisi buku sebagai suara kolektif, bukan sekadar karya individu. Ia penting karena merekam---bukan hanya menghibur.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani bercermin pada ruang kelasnya sendiri. Di sana, kita melihat wajah guru honorer---lelah, renta, tapi tetap tersenyum.
Kita melihat pula wajah anak-anak Banggai yang menatap penuh mimpi.
Puisi-puisi dalam buku ini adalah pelangi: tiap warna mewakili kisah. Ada warna luka, ada warna rindu, ada warna harapan.
Bila disatukan, mereka membentuk lengkung cahaya di langit Banggai---miniatur Indonesia yang lebih luas.
Maka, membaca buku ini adalah membaca diri kita sendiri. Menyadari bahwa penghormatan pada guru dan pada budaya lokal bukanlah romantisme, melainkan kewajiban moral untuk menjaga peradaban.
Selama lilin masih menyala di ruang kelas terpencil. Selama pelangi masih dilukis di langit Banggai, selama itu pula harapan bangsa ini tidak akan padam.***
Jakarta, 18 Agustus 2025
Referensi
Paulo Freire. Pedagogy of the Oppressed. Continuum International Publishing Group, 1970.
-000-