"Gajinya setipis embun di ujung daun,
jatuh sebelum sempat membasahi tanah,
tapi hatinya tetap mengakar,
setia mengajar meski perutnya berbincang dengan lapar."
Di bait terakhir, sang guru digambarkan sebagai "sebatang lilin yang melawan malam, membakar diri agar dunia tetap terang."
Di sinilah letak kedalaman puisi. Guru honorer tidak hanya sosok sosial, melainkan metafora eksistensial---api kecil yang menopang terang sebuah bangsa.
-000-
Membaca puisi Guru Honorer yang ditulis oleh Rastono Sumardi dalam buku bersama Satupena Sulawesi Tengah, saya duduk terdiam. Lama. Sedih tapi bangga. Bangga tapi sedih.
Langsung terbayang wajah banyak guru honorer di seluruh pelosok Indonesia. Juga terbayang wajah guru SD saya di Palembang, lebih dari 50 tahun lalu.
Lebih dari separuh guru di Indonesia masih berstatus honorer. Jumlahnya sekitar 2,06 juta orang, atau 56% dari total 4,21 juta guru nasional.
Ironisnya, mereka justru menjadi penopang utama pendidikan di desa-desa terpencil.
Namun gaji mereka kerap di bawah standar: antara Rp300.000 hingga Rp1.500.000 per bulan, bahkan masih banyak yang menerima lebih rendah dari itu.
Meski pemerintah berjanji menaikkan tunjangan profesi pada 2025, mayoritas tetap hidup dengan penghasilan minim, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian status.
Mereka mengajar bukan karena dijanjikan kesejahteraan, tetapi karena mencintai anak-anak yang menatap mereka dengan mata penuh harapan.