Mohon tunggu...
Denny_JA Fanpage
Denny_JA Fanpage Mohon Tunggu... Akun dikelola oleh fanpage Denny Ja

Kumpulan Esai Denny Ja soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku film dan lagu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasib Guru Honorer Dan Dokumen Kultural Dari Sulawesi Tenggara

18 Agustus 2025   06:59 Diperbarui: 18 Agustus 2025   06:59 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gajinya setipis embun di ujung daun,
jatuh sebelum sempat membasahi tanah,
tapi hatinya tetap mengakar,
setia mengajar meski perutnya berbincang dengan lapar."

Di bait terakhir, sang guru digambarkan sebagai "sebatang lilin yang melawan malam, membakar diri agar dunia tetap terang."

Di sinilah letak kedalaman puisi. Guru honorer tidak hanya sosok sosial, melainkan metafora eksistensial---api kecil yang menopang terang sebuah bangsa.

-000-

Membaca puisi Guru Honorer yang ditulis oleh Rastono Sumardi dalam buku bersama Satupena Sulawesi Tengah, saya duduk terdiam. Lama. Sedih tapi bangga. Bangga tapi sedih.

Langsung terbayang wajah banyak guru honorer di seluruh pelosok Indonesia. Juga terbayang wajah guru SD saya di Palembang, lebih dari 50 tahun lalu.

Lebih dari separuh guru di Indonesia masih berstatus honorer. Jumlahnya sekitar 2,06 juta orang, atau 56% dari total 4,21 juta guru nasional.

Ironisnya, mereka justru menjadi penopang utama pendidikan di desa-desa terpencil.

Namun gaji mereka kerap di bawah standar: antara Rp300.000 hingga Rp1.500.000 per bulan, bahkan masih banyak yang menerima lebih rendah dari itu.

Meski pemerintah berjanji menaikkan tunjangan profesi pada 2025, mayoritas tetap hidup dengan penghasilan minim, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian status.

Mereka mengajar bukan karena dijanjikan kesejahteraan, tetapi karena mencintai anak-anak yang menatap mereka dengan mata penuh harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun