Puisi ini, bila direnungkan dalam-dalam, adalah alarm moral. Ia menegur kita bahwa penghargaan sejati kepada guru bukanlah pujian atau peringatan Hari Guru, melainkan memberi mereka hak hidup yang layak.
Karena tanpa guru yang kuat, sebuah bangsa hanyalah rumah tanpa pondasi.
Nasib guru honorer sesungguhnya merefleksikan kontradiksi modernitas Indonesia: pembangunan fisik melaju cepat, tetapi pembangunan manusia sering tertinggal.
Membaca puisi ini berarti menuntut keadilan struktural, agar pendidikan tidak hanya menjadi slogan, melainkan fondasi konkret bagi masa depan bangsa.
-000-
Puisi soal Guru Honorer di atas hanya salah satu saja dari begitu banyak puisi dalam buku perkumpulan penulis Satupena Sulawesi Tengah ini.
Tapi buku Melukis Pelangi di Bumi Banggai lebih dari sekadar kumpulan puisi. Ia sebuah dokumen kultural.
Lebih dari 30 penulis ikut menyumbangkan suara---dari guru, siswa, penulis lokal, hingga penulis tamu seperti Hamri Manoppo.
Tema-temanya melingkupi enam spektrum besar:
1.Alam dan lingkungan --- hutan yang ditebang, air yang merintih, maleo sebagai simbol adat Banggai.
2.Pendidikan dan guru --- dari lilin guru honorer hingga cahaya era digital.