Di sini kita bertemu dengan paradoks besar: bangsa yang begitu bangga menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Tetapi di balik retorika, guru honorer masih diperlakukan sebagai kelas pinggiran dalam birokrasi pendidikan.
Mengapa kondisi ini terus berulang? Ada tiga alasan utama:
1.Status yang tak jelas --- puluhan tahun mengabdi, banyak guru tak kunjung diangkat jadi ASN.
2.Keterbatasan anggaran daerah --- gaji mereka bergantung pada dana BOS yang makin tergerus.
3.Pandangan kultural --- bahwa guru adalah profesi pengabdian, sehingga layak dibayar rendah.
Filosofi pahit ini melahirkan luka struktural: guru diminta membangun bangsa, tetapi kehidupannya sendiri tidak pernah dibangun dengan layak.
-000-
Dalam tradisi Nusantara, lilin bukan sekadar benda penerang, tetapi lambang pengorbanan. Ia menyala dengan cara menghabiskan dirinya sendiri.
Puisi Rastono menghidupkan kembali simbol itu---bahwa guru honorer adalah lilin peradaban. Mereka tidak menunggu tepuk tangan; mereka rela habis demi cahaya anak-anak bangsa.
Namun, apakah sebuah bangsa berhak membiarkan lilin-lilin itu padam dalam kesepian, tanpa minyak, tanpa perlindungan, tanpa ruang untuk tetap menyala?