Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Bukan Anak Emak Lagi

10 Oktober 2021   10:25 Diperbarui: 10 Oktober 2021   10:28 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tating (Aku Bukan Anak Emak Lagi) 

(ADS)

 "Aku hamil. Aku bukan anak emak lagi. Laki-laki itu telah melucuti harga diriku. Dan dia membawaku ke Jakarta untuk dijadikan pelacur."

 Terkutuklah bagi orang-orang yang tak berhati. Berlanjut dalam kisah yang tak berarang. Dalam ketukan waktu ternyata hidup itu tak pernah mengenal rasa, bahkan hidup itu buta. Aku mengenalnya dengan baik.. Sekarang, hidup itu mulai tak menampakkan diri karena malu akan dirinya yang mengobral janji. Dengan janjinya yang indah, janjinya yang penuh dengan keadilan, atau janji akan selalu membawaku dalam kebahagiaan. Dan alhasil aku seperti ini, seperti orang mati namun masih bernyawa. Jasadku sudah terkubur malam, namun rohku tetap saja menantikan keajaiban hidup. Pikirku yang terus mendengungkan kata-kata yang bisa membunuhku perlahan-lahan tanpa senjata tajam.

"Ting, makan dulu nanti bayi yang dalam kandunganmu kelaparan. Emak sudah buatkan makanan kesukaanmu"

Namun kenyataan telah membalikannya putih menjadi hitam. Tetap saja seorang emak masih menyayangi anaknya yang telah membuatnya kecewa. Aku memang seorang gadis yang masih menyukai permainan hidup.

"Ting, kamu sudah mulai dewasa, dan sudah semestinya mengetahui jalan yang bakal ditempuh. Jagalah penampilanmu, janganlah memperlihatkan lekukan betismu jika keluar rumah." Nasihat pertama kali yang emak ucapkan sebelum Tating berangkat ke kota Bandung untuk mencari kerja.

***

Tetapi banyak hikmah yang memberikan cahaya saat menapaki kota Bandung. Di dalam kehidupan itu terdapat persaingan, kesombongan, harkat dan martabat, suka dan duka, sampai harga diri. Beberapa bulan hidup merantau dan bekerja di sebuah pabrik tekstil dengan gaji yang lumayan untuk membelikan kain buat emak.

Hinggap dalam auramu. Penelusuran malammu menjadi bagian dari kepuasan bathin hidupku. Aku terlena dengan aroma kota dalam waktu beberapa bulan. Ya, sangat memuaskan terjang kaki melangkah dengan pasti mengukir kebahagiaan, mengetuk gerbang di sepanjang jalan berkelip lampu hias bahkan lampu merah, kuning, dan hijau menjadi nafas dalam diri seorang pekerja di sebuah pabrik tekstil.

Entahlah, apa aku menikmati dengan rasa capeknya bekerja di kota yang sama sekali tidak mengundang kecupan angin segar dengan penghijauan seperti di desaku. Karena aku datang menjemput asa dari temanku yang sudah berhasil atau bahagia dapat bekerja dan sekaligus mendapat jatah untuk menghidupi diriku sendiri dan keluarga. Mereka hanya mendengar cerita yang dapat membuahkan penasaran tentang kota itu yang penuh dengan keajaiban cinta dari tempat-tempat yang bertata modern.

Tetapi sebenarnya saat itu niatku hanya ingin mencabut derita yang menancap dalam nasibku barang sebentar. Meski akhirnya aku menyadari, aku menjejaki tindakan yang salah telah memaksakan diri pergi dari rumah. Akan kunyanyikan lagu tentang desaku dengan berbagai keindahannya, gadis lugunya, makanan emaknya, atau istiadatnya yang melaju menjauhiku bersama dengan petualanganku. Tak lelah. Tak ada hambatan. Semua melirikku dengan tajam. Seperti saat aku pulang kerja dan berbicara dengan teman kost ku.

Aku bekerja hanya menjabat tangan menggulung benang-benang dengan gemuruh suara mesin untuk memintalnya yang menjadi jemputan mengisi hari-hariku. Tak ada kekeringan dengan panasnya. Tak ada kelembaban atas hujannya. Tak ada racun atas polusinya. Dalam dua dunia, seperti bayangan dalam cermin. Antara mimpi atau tidak. Selama ini aku tergelincir dalam sosok yang membosankan. Persawahan hijau, rumah panggung, dan bercanda dengan teman pengajianku yang tak dapat mengangkat susuk derita dalam bathinku. Kesibukan itu menambah beban yang tak ada gunanya. Karena aku hanya anak dari seorang petani yang miskin di salah satu kampung di Garut Selatan.

Ini nyata. Itu bayanganku dalam cermin. Semuanya persis sama seperti yang aku lakukan. "Akan aku sentuh kekejaman dunia dan aku bantu emak agar menjadi emak yang berpakaian bagus dan adik-adikku bisa bersekolah tinggi tidak seperti aku". Itulah harapanku, seruku dalam cermin hatiku. Tak akan berakhir dengan cepat. Perubahan tindak yang bakal menjamin keutuhan dan kesempurnaan hidupku. Mudah-mudahan cermin itu tidak akan retak. Dan akan aku jaga dengan naluriku.

Setiap bulan sekali aku mengirimkan uang buat emak dan adik-adikku setelah aku dapat gaji. Mereka tidak mengetahui kabarku yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar bahwa aku bekerja enak dengan gaji yang lumayan. Sehingga mereka dapat meni'mati penghasilan keringatku.

Aku ternyata bisa mengenal seorang laki-laki bernama Olih. Selang lama kemudian Olih semakin akrab denganku. Olih seorang lelaki yang datang dari kota metropolitan. Dia datang ke Bandung hanya mengisi liburan saja, katanya.

"Kamu mau bekerja denganku di Jakarta?" ucapnya laksana ajakan yang bakal merubah nasibku.

"Jakarta?"

"Ya, Jakarta. Kota yang akan membuatmu lebih dari seorang Tating sekarang ini"

***

Aku pergi ke Jakarta tanpa pamitan pada emak. Aku takut emak khawatir. Setelah di Jakarta memang sebenarnya keadaanku harus dikhawatirkan. Ternyata Olih telah memberikan pekerjaan yang tidak baik. Aku gadis desa yang tidak mengerti apa-apa. Olih telah melunglaikan hatiku untuk menuruti keinginannya. Perhatian Olih hanya sekadar politiknya untuk membawaku ke Jakarta dan menjadikan aku pekerja di kafe miliknya.

Di Jakarta aku bekerja di sebuah kafe sebagai seorang pelayan pengantar minuman, dan juga pengantar laki-laki hidung belang ke kamar. Tetapi aku hanya mengatakan bekerja di sebuah restoran pada emak sebagai pelayan saja. Memang benar sebagi pelayan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku jauh dari keluarga dan teman-teman. Langit murung turut menyesali tindakanku, monas yang selama ini bersinar karena kilauan emasnya tampak pucat melihat aku tak berdaya. Mungkin karena iba.

Dosa tak pernah aku hiraukan lagi. Aku dapat memberikan kepuasan nafsu laki-laki dan aku berpikir itu tidak termasuk dosa malah sebuah amal kebaikan. Tidak tahu gemerlap kota Jakarta telah mengantarku menjadi seorang perempuan yang memakai pemikiran modern. Keluar masuk hotel. Dan bisa membandingkan gemerlapnya bintang malam hari dengan lampu-lampu jalan yang remang-remang mematikan perasaanku akan sebuah dosa.

"Namaku Tating." Di lain waktu aku mengenalkan diriku pada seorang pengunjung kafe.

"Cantik sekali kamu, aku ingin menjilat betismu yang mulus itu" sambil menjulurkan lidahnya pada telingaku.

"Aku Alfian, senang bisa melihat gadis secantik kamu." Lanjutnya.

Akhirnya, aku dan dia menjadi pengunjung di salah satu hotel ternama di Jakarta. Tanpa basa-basi. Aku melayani Alfian semalaman agar dia mendapat kepuasan. Pagi mengocak hari dengan mentarinya. Aku masih tertidur pulas di sela-sela selimut tebal. Tubuhku telanjang bulat dengan keringat yang kubasuh dengan dinginnya ruangan kamar itu. Keberadaanku seperti pemain film kamasutra yang menebar seks di dalamnya. Alangkah menangisnya emak jika mengetahui keadaanku sekarang ini. Mungkin emak tidak akan mengakui Tating sebagai anaknya lagi. Emak tidak akan memaafkanku akan tindakan bodoh yang kulakukan. Aku telah melanggarnya.

Sudah hampir setahun aku menjajaki pekerjaan di Jakarta. Setiap bulan tetap aku mengirimi uang ke kampungku untuk keluarga. Pernah aku pulang ke desaku satu kali, saat lebaran tahun lalu. Aku membohongi emak. Aku berpenampilan bak seorang gadis desa, yang pasti ada sedikit perubahan dalam cara aku berdandan. Tapi semua itu tidak membuat keluargaku curiga, bahkan emak menganggapku menjadi perempuan baik dan masih menjaga kehormatannya. Aku tak pelak menghadapi omongan dan nasehat emak.

"Ting, syukurlah kamu dapat menjaga diri dan teruslah bertahan sampai kamu mendapatkan jodoh" Pesan emak terlihat meneteskan airmatanya di saat aku akan berpamitan lagi ke kota.

Tak ayal aku tetap saja memperlakukan diri ini tak berharga. Lalu aku harus mensucikan diri sekarang. Terlanjur dalam pikirku. Olih yang menjadi bossku dan sekaligus pacarku yang dihiasi cinta dengan nafsu menjadi salah seorang laki-laki yang aku ceritakan pada keluargaku. Aku tersenyum dengan kebohongan itu. Lekas ku berlalu meninggalkan kampung itu untuk menuai uang yang ditanam dari keringat nafsu laki-laki yang meniduriku. O, apa aku tetap Tating anak emak?

Menyeburkan diri ini ke dalam kolam yang berair kenistaan. Lumpur yang hitam. Terjerembab ke dalam jurang kemaksiatan. Meneguk segelas air putih yang ditawarkan Olih padaku.

"Sepertinya kamu cemas, kenapa?" Sesaat menyodorkan kembali tissu putih karena melihat airmataku mulai melumer dilekukan pipiku.

"Aku berdosa, aku akan berhenti dari pekerjaan nista ini" Tak terasa butir bening jatuh menetes di atas pahaku yang dari tadi kedinginan karena aku memakai rok mini yang sangat minim.

"Lalu kamu akan kembali ke kampungmu, bahkan emakmu tak akan menerimamu setelah kamu ceritakan semuanya" hasutan yang berdalih agar aku tetap bekerja sebagai wanita malam di kafe miliknya.

"Sekarang kamu istirahat saja" lekasnya.

O, Jakarta jangan rampas emakku yang menjadi pengayom hidupku. Aku tak akan pernah membuat emak mengatakan aku bukan anaknya lagi. Setiap waktu kata-kata emak menjadi penghalang dari gerakku. Kerap ku melupakannya dengan bersenang-senang bersama Olih dan laki-laki lain yang tetap menghiburku dengan kecaman bahwa mereka menjadi bagian dari hidupku. Sekian lama aku mengalami kepulihan kembali melakukan pekerjaan seperti biasanya, mengisi hari-hariku dibarengi menumbuk pikranku tentang emak. Tating adalah perempuan desa yang naik martabatnya, itu dalam pikirku.

***

"Emak, teh Tating cantik pisan"

"Makanya, kamu harus bisa mawas diri sebagai gadis desa yang cantik luar dalam, biar seperti teh Tating "

Dalam cuaca yang ngecrek hujan, adikku membicarakanku dan menanyakan tentang aku kepada emak. Emak sangat jeli menceritakannya. Memang ritual di kampungku atau lebih tepatnya di rumahku adalah ngerumpi dan saling bercerita dengan keluarga, bahkan selalu mengulang cerita masa lalu.

Lemak di pinggir jalan yang becek. Mengecuprak anak-anak kecil bermain hujan-hujanan. Bersemburan air, dengan baju yang lusuh ditambah lusuh lagi. Ibu mereka mendiamkan kelakuannya. Hal yang lumrah, yang tak akan mnenyerang tubuh mereka dengan sakit gara-gara hujan. Tak seperti anak-anak kota yang manja, hanya karena kepala ketiban air hujan lima rintikan langsung jatuh sakit demam tinggi atau langsung influenza.  Adikku bagian dari mereka. Seorang anak kecil laki-laki yang masih hangat-hangatnya masa bermain. Karena kenakalannya aku pernah membuatnya menangis, tapi aku juga menyesalinya, tak kuat airmata mengucur dari keluguannya.

Bunyi katak yang menggemparkan malam dalam kesunyian. Atau jangkrik-jangkrik yang berdenyit mencari sosok malam yang tak kunjung rembulan datang. Hanya cahaya kunang-kunang yang menjadi hiasan dinding langit yang gelap. Di kelelapan tidur orang-orang kampung tanpa ada kericuhan orang-orang yang gempar mencari udara malam.

***

Aku sangat jauh menyongsong jalan yang tak berarah. Aku seperti tersambar petir yang datang dari   kawalat akan do'a emak ketika aku mengetahui bahwa aku sudah positif hamil. Langit terguncang, ingin kiamat itu terjadi sekarang juga walaupun dosa-dosaku belum aku taubatkan.  Aku mengadu pada dunia yang bernyawa yang memiliki cipta yang hadir untuk menggoreskan jalan hidupku.

"Alfian, aku hamil"

"Apa? Lalu aku harus meminta orang tuaku untuk datang ke kampungmu itu untuk melamar kamu? "

"Memang itu seharusnya? Ini anak kamu."

Alfian tidak mengakui anak yang aku kandung adalah anaknya. Dia lari. Lari dari kenyataan. Aku sudah buram, memilih jalan yang aku ingin pijak, yang tak berkerikil atau yang hitam beraspal. Lepas kulit melepuh ketika Alfian pun pergi entah kemana. Tak ada kabar yang mesti ku tunggu. Luput dari segala kenistaan, gadis desa yang tak punya moral, gadis desa yang menebar dosa di istana emaknya. Aku tak pantas lagi hidup di dunia ini. Seperti kain lusuh yang robek dan sebentar lagi dibuang ke tempat sampah dan tak mungkin ada yang memungutnya. Meski pengemis yang paling miskinpun tak sudi memungut barang seperti itu.

 "Aku sudah berbuat semua ini karena kamu. Aku sudah tak mungkin lagi pulang ke kampung dalam keadaan seperti ini." Aku berteriak menghempas kekecewaan.

"Lantas?"

"Aku minta tanggung jawabmu. Biarkan aku tinggal di sini sampai..."

"Sampai kapan?"

Aku tak bisa melanjutkan kata-kata itu pada Olih. Karena pikirku semuanya akan sia-sia. Jika teruspun aku tetap di Jakarta, lalu siapa yang bisa membantuku untuk selanjutnya. Tubuhku membeku dalam lamunan yang panas. Memanggil emak yang tak mungkin lagi mau menerima keadaanku sekarang ini.

"Sebaiknya kamu pulang, nih ambil uang ini sebagai rasa tanggung jawabku padamu. Nanti kalau bertemu Alfian akan aku suruh menemuimu di kampung. "

***

Selama dalam perjalanan aku tak pernah lelap dalam lamunanku. Aku menatap pandangan kosong. Aroma padi yang mulai menguning telah tercium di depanku. Aku tertunduk di hadapan rumahku sendiri di kampung.

            "Emak, teh Tating pulang"

            "Ting, alah kamu kok mau pulang tidak memberi kabar"

            "Maafkan Tating emak!"

            Segala kecerian keluarga tergugah dengan airmataku di bawah kaki emak. Rasa heran dari mereka mengunjungi pikiran mereka dengan berbagai pertanyaan. Aku bersujud. Menceritakan semuanya. O, emak aku tak tahan dengan airmata yang menjadi mutiara dari kelopak mata emak. Dengan kerudung birunya emak mengusap tetesan airmata itu. Aku seperti mengiris tanganku sendiri karena melibatkan emak dalam masalahku.

            "Ting, kamu..."

            "Ya emak!"

            Aku akan menerima segala hukumannya atas segala kesalahanku. Di kampungku terlalu cepat berita itu menyebar. Tetangga-tetangga pun melihat jijik terhadapku. Bisa-bisanya aku memperbudak diriku sendiri.

            "Alah buat apa banyak uang kalau ujungnya menyakitakan. Mending mengaji saja dan hidup di kampung." celoteh seorang tetangga menyindirku.

            "Untung anakku rajin mengaji, tidak apa-apa miskin juga tetapi punya harga diri." Sahut tetangga yang lain.

            Ternyata aku mempunyai anak jadah. Itu yang dikatakan ibu-ibu di lingkungan rumahku. Menyelusup beban dalam benak emak. Mengikatkan rantai dalam ruang gerak emak. Emak tetap memperlihatkan satu rimbunan kebahagiaan kepadaku. Emak tidak mempedulikan kisahku masa lalu. Aku masih dianggap anak emak yang dulu, gadis lugu yang rajin mengaji.

            Rawan menjadi awan. Tombak menjadi ombak. Dalam keindahan hidup tak memberi keutuhan yang akan membawa kebahagiaan sejati. Sekarang atau nanti, semuanya telah ditentukan oleh Yang Maha Pengatur. Tunjuk satu kesempatan dalam celah yang sangat berarti. Alang-alang melengkung di ladang dekat rumahku. Burung-burung berkerinyit mematok padi yang mulai menguning. Orang-orang menggebrak dengan untaian tali yang diikatkan kaleng di tengah sawah untuk mengusirnya. Sehingga berbunyi breng...breng...!

***

-- Cerita ini hanya fiksi belaka. Jika ada persamaan tokoh dan setting hanya kebetulan belaka. --

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun