"Alfian, aku hamil"
"Apa? Lalu aku harus meminta orang tuaku untuk datang ke kampungmu itu untuk melamar kamu? "
"Memang itu seharusnya? Ini anak kamu."
Alfian tidak mengakui anak yang aku kandung adalah anaknya. Dia lari. Lari dari kenyataan. Aku sudah buram, memilih jalan yang aku ingin pijak, yang tak berkerikil atau yang hitam beraspal. Lepas kulit melepuh ketika Alfian pun pergi entah kemana. Tak ada kabar yang mesti ku tunggu. Luput dari segala kenistaan, gadis desa yang tak punya moral, gadis desa yang menebar dosa di istana emaknya. Aku tak pantas lagi hidup di dunia ini. Seperti kain lusuh yang robek dan sebentar lagi dibuang ke tempat sampah dan tak mungkin ada yang memungutnya. Meski pengemis yang paling miskinpun tak sudi memungut barang seperti itu.
 "Aku sudah berbuat semua ini karena kamu. Aku sudah tak mungkin lagi pulang ke kampung dalam keadaan seperti ini." Aku berteriak menghempas kekecewaan.
"Lantas?"
"Aku minta tanggung jawabmu. Biarkan aku tinggal di sini sampai..."
"Sampai kapan?"
Aku tak bisa melanjutkan kata-kata itu pada Olih. Karena pikirku semuanya akan sia-sia. Jika teruspun aku tetap di Jakarta, lalu siapa yang bisa membantuku untuk selanjutnya. Tubuhku membeku dalam lamunan yang panas. Memanggil emak yang tak mungkin lagi mau menerima keadaanku sekarang ini.
"Sebaiknya kamu pulang, nih ambil uang ini sebagai rasa tanggung jawabku padamu. Nanti kalau bertemu Alfian akan aku suruh menemuimu di kampung. "
***